20 February 2016

Review: How to Be Single (2016)


"Welcome to the party."

Philophobia atau rasa takut untuk jatuh cinta dan terlibat ikatan asmara serta emosional secara mendalam sebenarnya bukan merupakan sesuatu yang aneh, karena tidak semua orang ketika mencoba move on memiliki gejolak emosi yang baik terhadap cinta mereka di masa lalu. Menggunakan konsep “wanita bisa” lalu bermain-main bersama persahabatan serta cinta How to Be Single mencoba untuk menjadi sebuah komedi romantis dengan gaya metropolis.

Setelah lulus dari Universitas Wesleyan, putus dengan pacarnya Josh (Nicholas Braun), dan pindah ke New York, Alice Kepley (Dakota Johnson) bertemu dengan rekan kerja baru bernama Robin (Rebel Wilson). Robin yang memiliki jiwa bebas membantu niat Alice yang ingin memiliki hubungan asmara yang casual dengan memperkenalkannya kepada Tom (Anders Holm). Sayangnya Tom yang bekerja sebagai bartender menyukai Lucy (Alison Brie), wanita yang percaya pada kesempurnaan cinta bahkan sampai-sampai menggunakan algoritma. Sementara itu kakak Alice, Meg (Leslie Mann), yang sebelumnya tidak berniat memiliki pacar kini berubah pikiran namun bukan untuk memiliki pacar tapi untuk langsung memiliki anak. 



Judul yang digunakan film ini begitu menarik, seolah membuat calon penonton bukan hanya sekedar ingin tahu kegilaan macam apa yang akan ia tampilkan setelah melihat jajaran cast tapi lalu kemudian bertanya apa yang ingin film ini sampaikan. Kenyataannya memang benar, sinopsis memang terkesan sederhana di mana wanita sedang berusaha mencari cinta tapi ternyata di bawah arahan Christian Ditter film ini punya ide tentang power yang dimiliki oleh wanita, karakter utama yang sedang kesulitan lalu kemudian mencoba menunjukkan bahwa wanita yang mandiri tidak perlu bantuan para pria untuk dapat menikmati kehidupan. Di awal ide itu terbentuk dengan baik, tapi sayangnya setelah itu yang akan kamu temukan adalah kekacauan.



Kekacauan di sini juga berimbang, ada yang negatif dan ada pula yang positif, punya bagian yang terasa menyenangkan tapi tidak sedikit pula yang terasa terlalu biasa bahkan menjengkelkan. Bagian dari How to Be Single yang kurang terasa menarik adalah cara cerita membuat karakter tumbuh, niat utama ingin menunjukkan sisi “kuat” dari wanita itu justru berubah menjadi aksi bersenang-senang yang bisa saja membuat kamu menilai wanita sebagai sosok yang tidak kuat. Naskah jadi sumber masalah, usaha karakter untuk bergembira tidak digabungkan dengan momentum yang pas oleh Christian Ditte, editing juga kurang mumpuni menyebabkan alur terasa melayang-layang, dan yang terpenting fokus cerita lemah.

How to Be Single ini seperti kombinasi beberapa isu tentang cinta dan wanita yang mencoba menggabungkan sex lives dan rasa percaya diri seperti Sex and the City misal namun dengan usaha manipulasi yang setengah hati. Karakter punya emosi yang terasa mini jadi tidak heran unsur romance film ini terasa biasa bahkan mungkin akan melelahkan bagi beberapa penonton karena karakter lebih sering tampil dua dimensi. Jika How to Be Single tidak mencoba mendorong terlalu serius isu tentang cinta dengan masalah yang begitu mudah tadi dan menaruh fokus lebih pada komedi saja, hasil akhir pasti akan lebih baik. Mengapa? Karena unsur komedi film ini menghasilkan nilai positif yang besar dan mampu menutupi kelemahan tadi.



Disamping wanita yang mengeksplorasi dirinya untuk keluar dari putus asa cinta penonton juga akan bertemu dengan aksi gila dan konyol yang dilakukan empat wanita. Cara main komedi yang liar tidak terasa melelahkan, lelucon yang kadang-kadang vulgar itu tampil modern bukan tradisional. Seperti dilepas bebas dengan menggunakan pola sitkom banyak lelucon yang berhasil hit, seperti memberikan rasa segar yang menyeimbangkan sisi serius dari cerita tadi. Karakter juga tidak terasa dua dimensi ketika melempar lelucon terutama Dakota Johnson dan Rebel Wilson yang sukses menciptakan kombinasi dengan chemistry dan pesona yang menghibur walaupun jika bicara koneksi tidak ada hubungan yang terasa otentik, hanya sebatas lucu dan unik.



Mengusung konsep “wanita bisa” dengan menggunakan asmara dan persahabatan sebagai senjata utama pada akhirnya How to Be Single memang tidak berhasil menjadi rom-com dengan gaya metropolis yang romantis, tidak berhasil menelisik kehidupan mandiri cinta dari perempuan kesepian bersama emosi yang mendalam, namun sulit pula menampik bahwa How to Be Single berhasil menampilkan elemen komedi dengan takaran yang pas. Berbagai cerita tidak menyatu dengan baik, fokus terasa lemah, serta pesona karakter cukup oke, How to Be Single merupakan sebuah eksplorasi diri yang terasa terlalu santai tapi entah mengapa ketika melangkah keluar studio terdapat sebuah senyuman yang menemani. Weird. Segmented.















Thanks to: rory pinem

1 comment :

  1. Sampe nangis btw aku nontonnya, dapet banget pesan yg disampein((: 8/10 boleh lahh

    ReplyDelete