08 November 2015

Review: Brooklyn (2015)


"I want you to stay here with me."

Menarik untuk membuka sebuah review dengan cara seperti ini, memberikan warning bahwa Brooklyn dari luar tampak sangat sederhana namun dibalik itu ia ternyata merupakan sebuah drama romance yang sangat “berbahaya”. Brooklyn berhasil membuat penontonnya tidak hanya merasakan cinta ketika ia hadir di hadapan mereka, kamu akan pulang bersama kehangatan cinta dengan kadar yang lebih besar, kamu akan pulang dengan keinginan yang juga tidak kalah besar untuk tenggelam lebih jauh di dalam cinta. In terms of romance this one not only a top-notch, it’s a killer!

Eilis Lacey (Saoirse Ronan) mengucapkan salam perpisahan dengan ibu dan adiknya untuk pergi melintasi Atlantik menuju USA pada tahun 1951. Wanita asal Irlandia itu akan menetap di Brooklyn dengan harapan utama untuk menemukan pengalaman dan tentu saja kehidupan yang baru. Setelah mendapat pekerjaan sebagai palayan di sebuah department store, Eilis kemudian bertemu dengan Tony Fierrelo (Emory Cohen), pemuda Italia yang sopan dan menawan. Cara Tony meraih atensi dan hati Eilis sangat manis, tidak heran hubungannya dengan wanita pemalu itu melangkah lebih jauh. Namun ketika Eilis di panggil pulang ke Irlandia ia kemudian mengalami gejolak, mana yang harus ia pilih, rumah baru atau rumah lamanya, terlebih rekan kencan settingan Eilis, Jim Farrell (Domhnall Gleeson), merupakan pria yang tak kalah menawan. 



Pada dasarnya cerita film yang mengambil bahan dari novel dengan judul sama karya Colm Tóibín ini sangat sangat sederhana, bahkan dari sinopsis tadi kamu dapat menilai dengan mudah bahwa Brooklyn dari segi cerita merupakan perpaduan berbagai hal klasik dari romance. Brooklyn punya getaran cinta yang baru saja bersemi, lalu terpisahkan dan kemudian membuat medan perang berisikan rasa yang kita kenal dengan rindu, setelah itu ada rasa ragu didalamnya namun sikap teguh yang eksis disisi lain juga tidak kalah besar sehingga sesuatu yang sekilas sederhana jadi tampak seperti gejolak kompleks. Itu, hal tersebut merupaka isi dari film ini, sesuatu yang banyak di alami oleh mereka yang merantau atau menjalani hubungan jarak jauh dengan orang yang mereka cintai.



Lalu apa yang membuat hal klasik dan sederhana tadi terasa istimewa disini? Brooklyn berhasil melakukan apa yang The Theory of Everything lakukan tahun lalu, Her dua tahun lalu, serta The Perks of Being a Wallflower dan Moonrise Kingdom lakukan tiga tahun lalu, sebuah drama romance yang tidak hanya terasa sangat kuat dan sangat hangat, tapi ia berhasil meninggalkan penonton dengan perasaan segar terhadap topic utamanya, yaitu cinta. Menyaksikan Brooklyn seperti berjalan di sebuah hutan kecil yang berada di tengah kota, ada perasaan segar tentang cinta yang akan kamu peroleh. Rasa itu muncul karena Brooklyn seperti terus menghasilkan "oksigen" yang enak untuk di hirup, semua berkat sisi gelap dari masalah yang di alami oleh Eilis ada di kadar yang pas sejak awal hingga akhir.



Hal yang paling saya sukai dari Brooklyn adalah ia sejak tidak mencoba untuk menjadi drama yang epic. Brooklyn punya misi untuk menyampaikan isu home is home, makna dari “rumah” yang lalu ia temani dengan pilihan yang dapat mempengaruhi kehidupan Eilis, tapi itu tersampaikan tanpa menciptakan kesan menggurui. Script yang di tulis oleh Nick Hornby berhasil menciptakan pola utama masalah lengkap dengan karakter-karakter yang charming itu, lalu arahan John Crowley juga sukses menyeimbangkan sisi putih dan hitam yang dimiliki oleh Brooklyn, dari memanfaatkan panorama, fokus pada karakter, bahkan aksi mondar-mandir punya tone yang manis, tapi kekuatan Brooklyn terletak pada kemampuannya membuat satu ruang di sisi Eilis bagi penonton sehingga mereka seperti berjalan bersama Eilis.



Keputusan untuk membuat karakter sedekat mungkin dengan penonton yang menjadikan kepedihan yang dialami oleh Eilis terasa nyata, begitupula dengan kebahagiaan yang ia peroleh. Brooklyn seperti studi karakter yang sangat serius tapi santai. Konflik antara rumah baru dan rumah lama punya charm yang sangat kuat sehingga penonton dapat merasakan bagaimana sulitnya Eilis mengambil keputusan. Dibantu dengan kinerja editing yang oke John Crowley cermat dalam mengatur komposisi disini, wanita yang terperangkap di antara dua negara, dua cinta, dan dua sisi dirinya diolah dengan baik jadi alur tidak pernah terasa stuck. Ia juga sangat baik dalam menyatukan drama dan komedi, ada momen menyentuh dan emosional yang dapat menyulitkan kamu menahan air mata, tapi humor lembut juga kerap menciptakan sensasi kecil yang asyik.



Dan semua keindahan itu eksis berkat kemampuan cast menghidupkan setiap karakter. Penampilan Jim Broadbent stabil, tapi Julie Walters tidak karena ia jadi kejutan yang menyenangkan. Dua karakter utama pria dimainkan dengan baik oleh Emory Cohen dan Domhnall Gleeson. Kesuksesan mereka serupa, sukses membangun chemistry yang kuat dengan karakter Eilis sehingga disatu sisi kamu dibuat rooting dengan hubungan mereka tapi disisi yang lain kamu perlahan menjadi seperti Eilis, bingung memilih yang mana. Dan mari berikan nominasi Oscars kedua bagi Saoirse Ronan. Ia mengendalikan karakter di sekitarnya, ia mengendalikan penonton untuk berinvestasi emosi pada Eilis, transisi Eilis dari pemalu menjadi wanita mandiri terasa cantik, tidak ada kesan kasar. Dan saya sangat suka bagaimana Saoirse melenyapkan kesan “lemah” Eilis dan mengubah posisi, dari awalnya sekedar “cinta” mana yang harus Eilis pilih, menjadi “cinta” mana yang layak mendapatkan “cinta” dari Eilis.



Di Irlandia Eilis punya sejarah, di Amerika ia punya masa depan, jika kamu di tempatkan di situasi tersebut mana yang akan kamu pilih? Itu pola awal saja karena dari sana muncul sebuah drama romance yang kompleks namun ringan. Benar, kompleks namun ringan karena Brooklyn seperti pertarungan dua sisi dimana tidak ada si jahat yang eksis disana sehingga sulit mengambil keputusan karena dua sisi itu dipersenjatai dengan emosi yang cantik. Dilema itu yang digunakan dengan cerdas oleh John Crowley, dari kisah coming-of-age dibumbui asmara yang di bakar dengan tempo oke hingga hal sederhana seperti ekspresi karakter, Brooklyn berhasil menjadi sebuah kisah cinta segitiga standard yang terasa special. Cantik. Segmented.












Thanks to: rory pinem

7 comments :

  1. Dimana ini nontonnya, author?? Gak sabar banget!!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hallo Dean dan Ammy. Film ini saya tonton di AMC Loews Lincoln Square 13, NY. :)

      Delete
  2. hahaha,pertanyaan yang sama, nonton dimana??

    ReplyDelete
  3. Di indonesia belum adaaaa!!! Dari liat trailer nya udh lama, eh belum muncul di indonesia!!

    ReplyDelete
  4. Apakah ada film sejenis Brooklyn lagi?

    ReplyDelete
  5. Silahkan nonton di fox movies premium tanggal 26 september ini..

    ReplyDelete