08 September 2015

Review: No Escape [2015]


"Dad, are people trying to kill us?"

Hal berikut ini memang tidak dapat di generalisasi sehingga tidak mencerminkan secara keseluruhan sudut pandang negara mereka, tapi dari informasi beberapa sahabat saya yang pernah tinggal disana mereka mengatakan bahwa banyak penduduk Amerika Serikat yang menilai bahwa mereka merupakan bangsa terkuat di dunia secara mutlak, dan tidak ada yang bisa mengalahkan mereka. Eropa mereka nilai sebagai pemain kedua, dan Asia yang notabene sekarang mulai merajai beberapa industri justru masih sering dianggap sebagai dunia ketiga. Sesuatu yang terasa kontroversial itu merupakan isi dari No Escape, sebuah action thriller dimana “American awesome, Asian awful.” Menariknya ini cukup lucu.

Seorang engineering asal USA bernama Jack Dwyer (Owen Wilson) membawa serta istrinya Annie (Lake Bell) serta dua putri mereka Lucy (Sterling Jerins) dan Beeze (Claire Geare) menuju sebuah negara di kawasan Asia Tenggara dimana ia akan mencoba membangun karir barunya. Segala sesuatu sudah tidak bersahabat sejak mereka tiba di bandara. Meskipun pada akhirnya sampai di hotel berkat bantuan pria misterius bernama Hammond (Pierce Brosnan), masalah tidak menjauh dari Jack. Televisi, lampu, dan telepon dikamar hotel mereka tidak berfungsi dengan baik, bahkan untuk mencari koran USA Today saja sulit. Celakanya ketika hendak memenuhi hal terakhir tadi Jack bencana datang menghampiri Jack, hal yang memaksa ia dan keluarganya untuk mencari jalan keluar dari negara yang sudah seperti zona perang itu. 



Di bagian awal kamu bisa nilai kalau apa yang ingin John Erick Dowdle dan Drew Dowdle disini sebenarnya baik, dari sinopsis saja sudah hadir kesan bahwa cerita ingin memberikan kita bagaimana berharganya keluarga bagi kita, tapi sayangnya yang terjadi setelah itu adalah sebuah petualangan loyo dan lesu yang membuat judul yang ia gunakan jadi terasa konyol. Dari impresi awal tadi dengan cepat ini berubah menjadi apa yang saya sebutkan di awal tadi, si kuat dan si lemah, dan uniknya John Erick Dowdle dan Drew Dowdle tidak takut dalam menggambarkan hal ini, mereka bawa masuk kekerasan dengan berlandaskan isu rasial yang terasa begitu kental sekalipun mereka sudah berusaha sembunyikan, seperti tidak mengatakan nama negara yang Jack kunjungi misalnya.



Apakah masalah rasial itu begitu mengganggu? Tergantung bagaimana hal itu tinggal di pikiran kamu karena sepanjang cerita frekuensi kehadiran mereka stabil, tidak seperti sinematografi dan narasi. Saya sendiri tidak begitu terganggu dengan isu tadi, tapi sayangnya setelah lepas dari masalah itu yang saya temukan justru sebuah film yang bingung dan monoton. Sumber bingung disini berasal dari Dowdle bersaudara, mereka kurang berhasil menemukan perpaduan yang tepat antara thriller, action, drama, horror, bahkan komedi. Hasilnya semua itu saling menumpuk, walaupun thrill yang ia punya terhitung oke tapi ia tidak punya daya stimulate yang oke, saya tidak memperoleh titik tertinggi yang mampu membuat saya menahan nafas dan waspada. Menggelikan, hal yang wajar jika judulnya adalah Escape, bukan No Escape.



Dari sana pula rasa monoton muncul, dan itu berasal dari cerita yang bergerak cepat. No Escape sebenarnya punya peluang besar untuk menghibur penonton dengan memberikan mereka kegelisahan pada cerita dan karakter, tapi disini Dowdle bersaudara terlalu santai, mereka buat semuanya tampak sederhana dan minimalis. Sistem No Escape ini tidak salah tapi terasa lemah, kita dibawa masuk ke ruang A dan bertemu dengan serangan di kamar hotel, masuk ke ruang B dan bertemu serangan dari udara, masuk ke ruang C dan menerima serangan dari kendaraan lapis baja, dan seterusnya. Tekanan untuk lolos pada karakter utama tidak kuat, rintangan yang ia hadapi tidak kuat, tekanan dari antagonis tidak kuat, kepanikan dan aksi ekstrim yang seharusnya tampak menyeramkan justru terasa datar.



Tapi tenang karena di bagian akhir No Escape ternyata ingat dengan tujuan utama mereka tentang keluarga, meskipun terasa sangat lemah, sama seperti cerita, thrill, dan kontribusi karakter Hammond yang seperti terbuang percuma. Pada akhirnya yang tersisa dari film ini adalah masalah utama yang mereka ciptakan di bagian awal tadi, isu rasial yang berhasil eksis dengan "baik" akibat konflik yang tidak mampu di gunakan dengan tepat. Tapi ini cukup lucu, dan itu sedikit nilai positif, karena tidak merasakan cengkeraman yang kuat kuantitas saya tersenyum geli menyaksikan aksi Owen Wilson yang mencoba begitu keras agar tampak seperti Liam Neeson itu cukup besar. Oh, jika kamu suka dengan film John Erick Dowdle dan Drew Dowdle sebelumnya; As Above, So Below, ini punya peluang besar untuk mampu menghibur kamu. Jika tidak suka? Tenang, setiap studio di bioskop menyediakan penanda exit, tidak "no escape." Segmented.





12 comments :

  1. ulasan anda ttg film ini menarik.. tp klo saya c lumayan dibikin tegang, dibikin ga nyaman, pgn cpt2 udahan gtu, happy ending lah.. tp ternyata ga cpt2 udahan haha.. hbs gtu saya bener2 merinding mendengar musik tradisionalnya, muka2 org lokalnya jg ada kemiripan dgn Indonesia, jd nya bisa ngebayangin bgt suasananya..
    yg paling saya suka ttg kedekatan keluarganya, dalem.. mana anak saya jg 2, dan sama2 perempuan, jd baper dhe nonton nya..
    yg saya ga ngerti, kenapa penduduk lokal nya jg di bantai, kya pegawai hotel, karyawan2 di gedung sebelah.. itu yg saya pgn tau bgt jawabanny..
    dan yg kurang itu mengenai peran pierce brosnan, saya setuju dgn pendapat anda.. kurang greget ya di film ini..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Benar, penonton yg sudah punya anak mungkin akan ada feel yang beda. Masalah di bantai itu karena salah satu sistem saat terjadi perang memang gitu: lu bantu kita kawan, lu ngak bantu kita lawan. :)

      Delete
    2. Benar, sebagai ayah dari 2 orang anak saya juga merasakan apa yang dirasakan anda saat menonton film ini (tegang, ga nyaman, dan ingin cepat selesai pelariannya). Mengenai peran Pierce Brosnan juga saya kurang mengerti, dan juga negara yang terjadi konflik tersebut juga tidak disebutkan.

      Delete
    3. lokasi filmnya disini.. (IMDb source)


      * Chiang Mai, Thailand
      (The Imperial Lotus Hotel & Airport)

      * Vietnam
      (the end)

      * Lampang, Thailand

      * Cambodia
      (streets, markets, advertisements & Khmer signages)

      Delete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  3. Dr awal smpe akhr tgang bro,, mgkin lbh ngena klo kita ud pny ank..
    Sma ky bro diatas, ane pny ank 1, ngbyangin klo posisi klrga ane bgtu, sumpahh, extrimm..
    Iya peran hammond itu mubazir, karakter sekeren pierce cm bgtu aja,,

    ReplyDelete
  4. Yg jadi pertanyaan keamanan negara tersebut seperti polisi dan militer kemana? Masa bisa kalah?

    ReplyDelete
  5. Thailand saja tidak berbatasan dengan Vietnam -_-

    ReplyDelete
  6. Ga setuju nilai cuma 5. Tegang dan seru. Nilai 7 pantas utk film ini.... mantap

    ReplyDelete
  7. aneh panjang lebar ngasi review film tapi skor ny 5 doang lol
    yg jelas si intinya akting mrk ga sampah tulisan lu bro dan kalo bole gue rate tulisan lo nilainya 2/10

    ReplyDelete
  8. film menegangkan kayak gini dibilang lemah, cobak deh lu buat film yang kayak gini cobak , palingan buatan lu cuma nyampah aja :D

    ReplyDelete
  9. Hmmm kurang setuju...

    Tapi silahkanlah...
    Bebas2 saja menilai.
    Tapi bagi aku film ini punya adrenalin rush.

    Mungkin penulis terlalu sering menonton action thriller sehingga hukum gossen berlaku

    ReplyDelete