21 March 2015

Movie Review: Run All Night (2015)


“One night, and you’ll never have to see me again.”

Film action terbaru dari Liam Neeson setelah menyatakan pensiun sebagai pria yang berulang kali kehilangan anggota keluarganya ini merupakan kemasan yang ambigu. Diawal ia akan mampu menaikkan ekspektasi anda padanya, membuat anda bergumam “wah, ternyata cukup menarik,” sebuah perpaduan berbagai elemen klasik action thriller dan membentuk kekacauan yang cukup menyenangkan, a good enough mess. Namun sayangnya perlahan ia justru berubah dan menampilkan hasil yang kontradiktif sajian di bagian pembuka itu. Run All Night: like Joker trying to look thoughtful but ends quite dull. 

Jimmy Conlon (Liam Neeson) merupakan seorang pria tua yang sedang mengalami kesulitan terkait uang dan juga minuman keras, hal yang kemudian membuatnya menerima tawaran dari sahabatnya Shawn Maguire (Ed Harris) yang meminta Jimmy untuk berperan sebagai seorang santa claus dalam sebuah acara keluarga di rumah Shawn. Tapi disamping perbedaan dalam hal ekonomi dan kebahagiaan tadi ternyata Jimmy dan Shawn punya sebuah kesamaan, dan itu datang dari peran mereka sebagai seorang ayah terhadap masing-masing putra mereka, Mike Conlon (Joel Kinnaman) dan Danny Maguire (Boyd Holbrook). 

Danny memiliki masalah dengan ayahnya terkait usaha yang ia lakukan untuk membuktikan diri bahwa ia memiliki bakat di bidang usaha yang mereka lakukan. Suatu ketika Danny membawa klien yang sangat potensial bagi ayahnya namun ditolak mentah-mentah oleh Shawn. Sang klien sendiri memiliki hubungan dengan Mike yang bertugas mengantarkan mereka dengan sebuah limousine, menjadi awal mula dari sebuah bencana yang bermula dari tindakan Danny dan pistolnya, lalu kemudian bukan hanya menyeret Mike masuk kedalam masalah namun juga ikut melibatkan Jimmy dan juga Shawn.


Run All Night akan menyapa anda dibagian awal sama persis seperti tipikal film dimana Liam Neeson menjadi bagiannya, ia mampu membuat penonton merasa tertarik tidak peduli seberapa klise dan klasik sinopsis serta isu dan formula yang ia bawa, bahkan kesan predictable yang sudah eksis tidak begitu jauh dari garis start itu juga awalnya tidak akan mengganggu pikiran dan fokus anda. Harus diakui ada ketegangan yang menarik ketika Run All Night masih mencoba membangun urutan masalah, ada beat yang cukup oke dari film ini dibawah kendali Jaume Collet-Serra, terlebih dengan pilihan yang cerdik ketika membawa anda berpindah dari satu scene menuju scene lainnya dengan penerapan metoda layaknya Google Earth yang terhitung sukses membuat saya tersenyum di paruh pertama. Ya, di paruh pertama.

Bagaimana setelah paruh pertama? Tunggu dulu, mari bahas nilai positif lain film ini yang sesungguhnya tidak hanya datang dari permainan visual tadi, tapi juga cerita dan karakter. Saya suka dengan tik-tok antar masalah personal yang sederhana, bahkan secara mengejutkan ada emosi yang cukup baik diantara Jimmy dan Mike disini. Tidak hanya itu adegan action juga tidak dapat dikatakan buruk, ada sensasi yang oke meskipun sentuhan editing sendiri tidak berhasil menciptakan struktur yang terasa halus untuk dinikmati. Di bagian ini Jaume Collet-Serra akan tampak cerdik, ia tahu bagiamana menciptakan ruang bagi karakter untuk bermain namun juga ikut mengundang anda didalamnya, penggunaan berbagai interaksi juga sama efektifnya sehingga menjadikan anda seolah terlibat didalam masalah Jimmy dan Mike. Ya, ia berhasil membuat penonton peduli dengan eksistensi karakter, tapi lagi-lagi itu hanya tampil di bagian awal.


Nah, bagian awal yang menarik itu sayangnya tidak mampu bertahan hingga akhir, mungkin tepat di sepertiga awal cerita Run All Night perlahan mulai terjebak didalam salah satu kelemahan dari seorang Jaume Collet-Serra, film yang ia kendalikan akan kehilangan “kendali” ketika karakter mulai kehilangan daya tariknya. Tidak seperti Orphan dan Non-Stop yang memiliki karakter dengan kemampuan mengikat penonton hingga akhir yang mumpuni film ini bergabung dengan dua film Collet-Serra lainnya, Goal II: Living the Dream dan Unknown, dua film yang perlahan membuat penonton mulai kehilangan ketertarikan pada karakter dan cerita. Cukup disayangkan memang karena sejak awal acuan dari hit atau miss film milik Collet-Serra bagi saya apakah ia mampu mempertahankan daya tarik karakter. Di sini bukan hanya satu namun tiga karakter utama jatuh secara bersamaan, dan itu belum menghitung Common yang kehadirannya seperti robot tanpa nyawa.

Cukup sulit memang jika hendak menyalahkan cerita karena sejak awal ia juga sudah terkesan tidak ingin mencoba memberikan sesuatu yang berbeda. Sebuah adegan dari dalam limousin menjadi kunci utama dan titik balik mulai berkurangnya daya tarik saya terhadap Run All Night, mambuat anda akan mengerti bagaimana ini akan diakhiri sejak dini. Sebenarnya hal tersebut tidak akan menjadi masalah jika setelah itu ia masih mampu membuat penonton terombang-ambing dalam sebuah hiburan action thriller yang memberikan sensasi yang menarik, sesuatu yang celakanya juga tidak berhasil dilakukan oleh Run All Night. Ia memang bergerak cepat penuh kegelisahan dari segi visual tapi tetap tidak mampu memberikan sensasi yang mumpuni, cerita yang berkembang secara formulaic dengan kesan kikuk kerap menciptakan mode menunggu bagi penonton yang celakanya seperti yang saya sebutkan tadi, sudah tahu bagaimana ini akan berakhir.


Ambisi dan fokus juga menjadi sumber dari kegagalan Run All Night untuk setidaknya menjadi sajian action thriller standard yang menghibur. Run All Night seperti ingin membawa anda kedalam sebuah inspirasi tentang hubungan orangtua dan anaknya, tapi push yang usaha yang ia lakukan terasa sangat minim terutama dengan karakter yang pesonanya perlahan macet dan melemah sehingga impact yang diberikan bagian ini terasa kurang kuat. Yang disayangkan adalah elemen action yang sesungguhnya kurang potensial justru di push begitu kuat namun dengan perlakuan yang begitu kasar, gerak yang sangat liar namun perlahan terasa melelahkan, sebuah kepanikan yang sulit untuk terasa menyenangkan. Bagaimana dengan para pemeran? Sama saja, meskipun Liam Neeson dan Ed Harris sempat menghasilkan gesekan dingin yang oke walaupun hanya memiliki porsi kecil sehingga menghilang ketika mereka mulai bergerak masing-masing.


Overall, Run All Night adalah film yang kurang memuaskan. Sebenarnya Run All Night punya cara paling praktis untuk mampu menjadi sebuah hiburan action thriller yang mumpuni dibalik materi yang tidak begitu mumpuni: berikan one man show bagi Liam Neeson. Namun yang dilakukan oleh Jaume Collet-Serra disini berbeda dan terasa ambigu sehingga menjadikannya tampak seperti Joker yang mencoba tampil super serius, ingin menjadi action thriller yang thoughtful tanpa terlebih dahulu membekali dirinya dengan materi yang akan menolong dan memudahkannya untuk tidak hanya mampu menciptakan tapi juga mampu mempertahankan appeal untuk terus stabil sehingga membuat penonton tertarik sampai garis akhir.








1 comment :

  1. Liam Neeson, bless his old heart, has truly got a charisma and gravitas that give his action movies an inherent quality.

    ReplyDelete