19 March 2015

Movie Review: The Divergent Series: Insurgent (2015)


“Mankind wait for you, with hope, beyond the wall.”

Tahun lalu saya menyebut Divergent sebagai film tentang pemberontakan yang terlalu lembut, kurang bergairah, monoton, dan sedikit membosankan. Tidak hanya itu ia juga tidak memiliki petualangan dalam gerak cekatan sehingga tampak seperti membangun drama dengan bumbu adegan sci-fi dan action, ketimbang menjadi kodratnya sebagai sebuah film sci-fi action dengan dukungan drama. Well, hal tersebut yang kemudian meninggalkan saya speechless ketika melangkah keluar sesaat setelah kejutan dari Naomi Watts yang berdiri dibelakang Kate Winslet. The Divergent Series: Insurgent: when kids from Nickelodeon start a rebellion.

Setelah berhasil mencegah upaya yang dilakukan oleh Jeanine Matthews (Kate Winslet), Tris (Shailene Woodley), Caleb (Ansel Elgort), Four (Theo James), dan Peter (Miles Teller) kini telah berada di lingkungan Amity yang berada dibawah komando Johanna Reyes (Octavia Spencer), tempat paling aman dibalik darurat militer yang telah aktif di reruntuhan kota Chicago. Tapi masalahnya tidak hanya itu karena disamping mimpi buruk yang terus menghantuinya dengan memutuskan melarikan diri Tris dan teman-temannya kini juga menyandang status buronan dari pasukan yang dipimpin oleh Eric Coulter (Jai Courtney) yang melakukan patroli untuk menemukan seorang Divergent.

Permintaan tersebut berasal dari Jeanine dimana ia membutuhkan seorang Divergent yang dapat menaklukkan semua tantangan dari sebuah kotak misterius yang ia temukan di reruntuhan rumah orangtua Tris. Jeanine sendiri sangat yakin bahwa kotak tersebut berisikan pesan yang merupakan sebuah rahasia besar dan berharga yang dapat menolongnya untuk memusnahkan semua Divergent, sosok yang selama ini ia anggap sebagai sebuah ancaman yang sangat berbahaya. Sekilas Tris memang tampak tidak memiliki masalah dengan ambisi Jeanine tadi, tapi dengan sebuah kelicikan yang Jeanine selipkan kedalam kaum Factionless yang dipimpin oleh Evelyn Johnson-Eaton (Naomi Watts) memaksa Tris untuk keluar dari tempat persembunyiannya.



Sesungguhnya menggambarkan apa yang diberikan oleh Insurgent sangat mudah, cukup dengan menyebutkan Divergent dalam kemasan yang serupa dan sedikit diperbaharui. Ceritanya tentu saja berbeda tapi cita rasa yang di tampilkan film kedua yang berganti nahkoda ketangan Robert Schwentke ini masih sama saja dengan kakaknya yang hadir satu tahun lalu itu, sebuah kisah yang bercerita tentang pemberontakan tapi kurang berhasil tampak seperti sebuah “pemberontakan”. Hal tersebut yang menjadi induk dari berbagai nilai minus lain yang akan anda dapatkan dari Insurgent, bagaimana tema utama yang di film pertamanya dahulu seperti masih malu-malu untuk maju ke posisi tertinggi kali ini bukannya semakin bergerak ke atas justru harus semakin tenggelam. Dan ini akan terasa membosankan, Divergent adalah sahabat satu kelas dengan The Hunger Games, dan kewajiban utamanya adalah membuat penonton terbakar dengan semangat isu utamanya.

So, dengan cara bermain yang masih identik dengan film pertamanya maka jangan heran jika anda akan menemukan kata atau kalimat yang pernah anda baca di review Divergent tahun lalu. Salah satu penyakit Divergent yang masih hadir di Insurgent adalah begitu miskinnya energi dan pesona di dalam cerita, meskipun ada sedikit perubahan positif dari naskah hasil racikan Brian Duffield, Akiva Goldsman, dan Mark Bomback namun dengan eksekusi yang masih terlalu tenang dari Schwentke termasuk editing yang kurang mumpuni justru menjadikan Insurgent seperti sebuah film yang sedang mencari tahu ingin menjadi seperti apa. Start yang tidak begitu empuk dari film pertama meninggalkan Insurgent sebuah tugas besar yang celakanya harus ia lakukan dengan materi yang terbilang sangat tipis, baik itu dari konsep yang masih melayang-layang, rasa percaya diri, motivasi, hingga pada karakter dan juga cerita yang tidak memberikan sebuah pergerakan mengesankan.


Hal lain yang juga terasa menjengkelkan disini adalah Insurgent sebenarnya punya dua opsi yang dapat ia lakukan, pertama menampilkan perubahan positif skala besar, atau berikutnya at least menjadi sebuah jembatan penghubung yang mampu menjaga dan kemudian mempercepat laju The Divergent Series. Namun celakanya Insurgent tidak memilih satupun dari dua opsi tersebut sehingga hasilnya sebuah sekuel yang stagnan di minus yang sama. Anda akan dengan sangat mudah merasakan bahwa tidak banyak yang terjadi didalam cerita, sejak sinopsis awal hanya berputar-putar pada sebuah dilemma sederhana dan berlarut-larut untuk kemudian di tutup dengan sebuah konklusi yang tidak meninggalkan kesan bahwa anda semakin dekat dengan garis finish (Divergent dan Insurgent layak dijadikan satu film, btw). Tapi ada satu hal lain yang jauh lebih mudah untuk anda rasakan: nyawa, soul dari cerita dan juga karakter, Insurgent sangat miskin dalam hal ini.

Bukan hanya karakter Johanna, Evelyn, bahkan Jeanine yang menderita dalam hal pesona disini, namun juga empat karakter utama. Bagaimana caranya sebuah pemberontakan dapat tampil mempesona jika karakter kunci yang ia miliki justru terasa pasif bahkan kerap tampak sebagai karakter sekunder didalam cerita. Bukan hanya intimitas yang gagal bertumbuh disini sehingga penonton yang di film pertama gagal merasakan emosi dan pentingnya perjuangan Tris dan teman-temannya akan mengalami hal serupa, tapi juga intensitas dari perjuangan tersebut. Tris masih gagal menjadi ikon dan pemimpin disini, ia seperti boneka penuh dilemma yang terombang-ambing dengan seorang pria disampingnya yang terus membuka jalan. Shailene Woodley memang berhasil memberikan kompleksitas yang baik pada karakter Tris, naik satu level meskipun tidak punya impact berarti karena titik start yang juga berada di level rendah, hal juga dialami oleh  Theo James.


Satu-satunya karakter yang cukup oke dalam membuat penonton rooting pada aksi yang ia lakukan adalah Peter, yang diolah dengan baik oleh Miles Teller, meskipun dampak yang ia hasilkan tidak cukup mampu menolong. Sebenarnya jika sektor divisi akting sedikit diberi perhatian Insurgent dapat tampil lebih baik dari pendahulunya, karena ketegangan yang ia hasilkan sering kali jatuh akibat karakterisasi yang sangat minim dan motivasi yang lemah, tidak punya kedalaman sehingga membuat eksistensi mereka berarti. Ada sebuah kejutan di babak akhir dan ketika hal tersebut terjadi ada seorang penonton yang tertawa didalam teater, dan itu cukup untuk mewakili minus tersebut. Itu mengapa diawal saya menyebut Insurgent sebagai sekuel yang masih meraba-raba ingin menjadi apa, ia punya beberapa karakter yang menarik dan dipegang oleh pemeran yang berkualitas, tapi setelah mereka ia hidupkan kemudian mereka tidak ia manfaatkan dengan tepat.

Hal pertama yang terlintas di pikiran saya ketika meninggalkan Insurgent adalah The Host, sci-fi rilisan tahun 2013. Yay, serupa, tone masih bermain-main dengan rasa bingung ingin menjadi sebuah sci-fi yang seperti apa, banyak makan waktu untuk komposisi cerita yang terasa di gantung sejak awal hingga akhir dan seolah melayang-layang tanpa tujuan yang jelas, begitupula dengan  pace cerita yang tidak dinamis. Insurgent juga mampu memberikan impresi lewat kualitas visual yang cukup mampu menggoda imajinasi di beberapa bagian walaupun porsi gemuk yang ia miliki seperti upaya untuk mengalihkan perhatian anda dari betapa jenuhnya cerita yang ia punya, proses menunggu yang tidak ditemani dengan sensasi yang menyenangkan. Momentum juga jadi masalah disini, meskipun tidak pernah terasa terputus-putus tapi alur kerap kali terasa canggung sehingga menghasilkan sebuah aksi bercinta yang tidak terasa bergelora.



Overall, The Divergent Series: Insurgent adalah film yang kurang memuaskan. Tahun lalu saya optimis Insurgent dapat tampil lebih baik dari Divergent, namun setelah melihat ia menolak untuk tampil beda dalam kuantitas yang besar dari pendahulunya maka yang akan saya lakukan selanjutnya adalah menantikan sejauh mana series ini akan tenggelam, karena novel Allegiant secara tersirat juga terbagi menjadi dua part, dan bagian awal juga kurang terasa istimewa. Minim intimitas, minim energi yang intens, alur kurang menarik dan sering canggung tanpa motivasi dan urgensi, Insurgent adalah sebuah film pemberontakan yang terlalu lembut serta terasa lemah dan lesu. It’s like watching a group of kids from Nickelodeon start a rebellion.








3 comments :

  1. Terlepas dari permasalahan alur cerita atau konsep, para jajaran cast menurutku tampil cukup menghibur dan profesional tentunya. Rating IMDb juga tidak terlalu buruk. Meskipun reviewers disana kebanyakan mengkritik konsep penceritaannya. Well, udah pada tahu kan kalau ini film adaptasi dari novel ?? Gue berani sumpah mereka yang bisanya cuma mengkritik tidak akan bisa membuat film ini lebih baik. Seharusnya pengkritik juga punya semacam arahan agar tampak seimbang. Ya minimal mereka Actor, Writer, atau Director. Yang jelas kita tidak tahu apa yang dipikirkan Robert Schwentke ketika mengerjakan film ini. Any Director has a style, kira-kira apa yang akan kamu katakan andaikan dulu yang menyutradarai film ini Christopher Nolan ?? Atau David Fincher mungkin ?? Tebakanku mungkin isi review lebih menjurus pada sisi positif nya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saat membaca empat kalimat awal dari komentar anda saya sebenarnya sudah punya gambaran respon yang tepat, tapi ketika menemukan apa yang muncul setelah empat kalimat tadi saya memutuskan untuk sebatas menerima pendapat anda. Thanks komentar dan kunjungannya Bisri. :)

      Delete
  2. Setelah nonton insurgent ini, cuma 1 hal yg ada di benak saya. Duh, 1 jam 59 menit yang sia-sia. Setuju sama om penulis film ini kaya nonton sponge bob minta naik gaji sama tuan krab. Mungkin yang menyelamatkan film ini cuma efeknya yg keren. Padahal ide cerita film ini udah cukup menarik tapi yahh apa daya sebagai penonton cuma bisa ngutruk

    ReplyDelete