15 February 2015

Movie Review: Jupiter Ascending (2015)


"Some lives will always matter more than others."

Karya terbaru dari creator The Matrix trilogy ini merupakan contoh paling baru bagaimana ekspektasi berperan besar pada penilaian akhir setiap penonton pada hiburan yang baru saja mereka peroleh. Film ini dijadwalkan rilis pada bulan juli tahun lalu namun secara mendadak yang juga sukses menghasilkan kejutan adalah ia lantas di tendang jauh kebelakang untuk kemudian rilis pada awal bulan ini. Boom, pasti kualitasnya buruk, begitu penilaian paling klasik dari para penikmat film, termasuk saya yang akhirnya tidak memasang ekspektasi rendah namun justru menaruhnya di titik paling rendah, keputusan yang ternyata terhitung tidak buruk. Jupiter Ascending: space telenovela without Ana, Marimar, Esmeralda, Paulina, Rosalinda, and of course Betty La Fea.

Jupiter Jones (Mila Kunis) adalah seorang wanita dengan nasib yang ternyata tidak seindah rupa yang ia miliki. Setiap pagi Jupiter harus bangun dengan cara dipaksa bukan hanya oleh bunyi alarm namun juga suara ibunya yang kemudian memaksanya bangkit dan melaksanakan tugas pertamanya, menyediakan sarapan pagi. Tidak berhenti disitu, berikutnya mereka kemudian menuju tugas utama mereka sebagai janitor, membersihkan apartemen dari menata lemari pakaian pemilik hingga membersihkan toilet. Namun suatu ketika nasib Jupiter berubah, tapi celakanya ia tidak hanya memperoleh perubahan skala kecil namun berada di level yang sangat ekstrim. 

Berawal dari melihat sekelompok sosok aneh Jupiter akhirnya di culik oleh seseorang bernama Caine Wise (Channing Tatum), pria yang mengatakan dirinya merupakan setengah manusia dan setengah serigala dan berasal dari planet lain. Tapi ternyata hal tersebut bukan kejutan terbesar yang ia informasikan kepada Jupiter, melainkan sebuah fakta lain terkait Jupiter yang menjadi sumber masalah dari pertikaian diantara penguasa "planet lain" tadi, keluarga Abrasax yang terdiri dari Balem Abrasax (Eddie Redmayne), Titus Abrasax (Douglas Booth), dan Kalique Abrasax (Tuppence Middleton). Tugas yang ia miliki juga tidak mudah karena bukan hanya berdampak pada keluarga Abrasax namun juga pada eksistensi manusia di bumi.


Ekspektasi rendah? Ya, ketimbang mengantisipasi seberapa megah presentasi yang akan diberikan oleh The Wachowskis di film ini saya justru melakukan hal sebaliknya, mempersiapkan diri pada kemungkinan terburuk dari kualitas Jupiter Ascending. Alasannya? Sangat sederhana, penundaan jadwal rilis yang mungkin terkesan seperti sesuatu yang kecil namun sesungguhnya menimbulkan dampak yang cukup besar, terlebih terhadap film-film yang mengandalkan visual effect seperti ini. Tapi ternyata ada kejutan yang diberikan oleh The Wachowskis disini, dan itu hadir di babak awal. Tidak dapat dikatakan buruk bahkan, dari bagaimana cara mereka “meletakkan” karakter kehadapan penontonnya serta mencoba membangun masalah dengan perlahan, babak awal terhitung menarik terlebih dengan adegan action kejar-kejaran yang mengasyikkan itu, anda dapat merasakan fantasi dan imajinasi yang The Wachowskis ingin berikan di bagian ini, intens, liar, namun terkendali. Bukan hanya manis, bagian ini bahkan terasa sangat manis.

Ya, manis, apalagi setelah bagian tersebut kita kemudian akan mengerti maksud utama yang ingin The Wachowskis tampilkan disini, hadir sebuah ide yang menarik untuk ditelisik karena kesan berani dan ambisius yang ia tunjukkan. Tapi celakanya hasil yang tercipta justru berbeda, ketimbang menjadi sebuah pertempuran luar angkasa dalam wujud raksasa film ini justru perlahan terlihat seperti sebuah drama keluarga kelas telenovela. Benar, lucu memang bahkan terasa menggelikan bagaimana dibalik segala eksekusi kelas atas dan tidak jarang terasa memukau di sektor visual The Wachowskis justru kurang begitu berhasil melengkapinya dengan cerita yang menarik, cerita yang bukan hanya mampu menjadi sebuah eksposisi pada apa yang terjadi namun juga cerita yang juga mampu meninggalkan kesan dan makna yang menarik dibalik segala aksi mondar-mandir yang ia lakukan. Jupiter Ascending terluka cukup besar di bagian tersebut, meskipun sesekali ia berhasil bersinar dan memancarkan energi yang menarik pada imajinasi namun setelah itu ia kembali jatuh menjadi drama tanpa emosi.


Tidak hanya tanpa emosi malah, dengan mudah pula anda mungkin akan merasa kehilangan ketertarikan pada apa yang terjadi diantara karakter-karakter didalam cerita. Bukan berarti narasi yang ia miliki sulit untuk di ikuti tapi mereka kurang begitu menarik untuk di ikuti. Urutan-urutan yang ia tampilkan kerap terasa terputus sehingga daya cengkeram alur pada atensi penonton juga sangat lemah, dan celakanya itu hadir disamping plot yang sangat sederhana bahkan tidak memiliki misteri yang mumpuni namun ditampilkan dengan begitu berbelit-belit. Dari ikatan keluarga kita masuk kedalam bisnis dan persaingan antar keluarga, setelah itu kita juga akan menemukan sub-plot lain terkait ancaman pada bumi, dan itu mereka bungkus dengan sebuah sentuhan romance yang mentah dan dipaksakan. Secara berkala penonton didorong oleh The Wachowskis untuk masuk kedalam tiap bagian dan kemudian meresapi yang sedang terjadi seolah ada sebuah pesan yang begitu menarik disana, tapi sayangnya tidak mereka sajikan dengan komposisi yang padat, komposisi yang mampu membuat penonton berinvestasi pada karakter dan juga cerita.

Mengapa pembahasannya menjadi begitu rumit? Karena The Wachowskis seperti membawa sesuatu yang serius disini, pesan yang seperti coba mereka bentuk menjadi sebuah alarm bagi manusia terkait eksistensi di bumi tapi mereka bumbui dengan kurang cermat. Bukan kurang malah, tapi tidak cermat, seperti ingin menjadikan ini kombinasi antara Speed Racer dan Cloud Atlas, fun ketika bergerak cepat tapi punya cerita yang rumit atau kompleks yang kemudian menghasilkan sebuah punch yang kuat di akhir cerita, formula yang gagal. Masalah besar terletak pada urgensi, dan seperti yang saya singgung tadi ini berjalan ibarat sebuah telenovela, terombang-ambing tapi disini tidak disertai dengan emosi yang mumpuni. Sangat disayangkan memang The Wachowskis tidak menaruh atensi yang lebih besar pada bagian yang seandainya diolah lebih baik akan memberikan dampak yang siginifikan pad kualitas keseluruhan film, ketimbang menciptakan kehebohan visual yang sesungguhnya menawarkan gambar-gambar cantik yang sudah menjadi ibarat makanan sehari-hari bagi para penonton sekarang ini.


Dan akhirnya ini akan terasa menggelikan bagaimana ketika kehadirannya harus ditunda karena alasan visual tapi ternyata hal tersebut pula yang menjadi pedang bermata dua bagi Jupiter Ascending. Disatu sisi ia berhasil menjadi salah satu dari nilai positif dari film ini disamping score yang terhitung oke itu, tapi disisi lain ia pula yang mencuri fokus sehingga atensi pada cerita seperti terkesan seadanya, bahkan terbilang miskin, plot yang sering terputus-putus sehingga eksposisi narasi di warnai dengan lompatan-lompatan yang mengganggu, daya tarik karakter yang dangkal sehingga sulit untuk terus tertarik pada apa yang mereka lakukan dan hadapi, cerita yang sederhana namun mencoba begitu keras untuk tampak rumit tanpa disertai intrik yang baik, hingga divisi akting yang seperti membuang percuma Channing Tatum, Mila Kunis, hingga Stephen Hawking yang sepanjang film justru lebih sering tampak berjuang keras untuk memberikan “nyawa” pada karakter mereka sehingga tidak sebatas menjadi boneka semata.


Overall, Jupiter Ascending adalah film yang kurang memuaskan. Jupiter Ascending akan membuat anda semakin merindukan The Wachowskis yang mengendalikan The Matrix, The Wachowskis yang menggunakan premis sederhana untuk kemudian membawa penonton masuk kedalam narasi penuh lompatan yang menyenangkan. Mereka mencoba bertumbuh ke atas dengan mencoba menciptakan cerita yang terasa kompleks tapi perlahan kegembiraan yang The Wachowskis hasilkan justru bergerak ke bawah, dari eksposisi yang kaku, plot yang terputus-putus, urgensi yang tidak menawarkan kegelisahan yang menarik, karakter dan cerita yang miskin emosi dan daya tarik, sebuah ambisi yang besar untuk menjadi sci-fi epic yang akhirnya hanya sebatas menjadi sebuah visual feast bagi mata tanpa berlanjut ke imajinasi. Seperti telenovela tanpa, ummm, Betty La Fea (?).








1 comment :

  1. saya sependapat....banyak plothole di film ini, apakah film ini ada sekuelnya, sehingga The Wachowskis sengaja membuat plotnya terputus-putus? mila kunis aktingnya jelek || score 2.5/5

    ReplyDelete