09 January 2015

Review: A Most Violent Year (2014)


“If they offer coffee or tea, say tea.”

A Most Violent Year saya saksikan pada tanggal 31 desember tahun lalu, dan ketika saya melangkah keluar saya membawa sebuah senyuman yang sangat lebar di wajah saya yang kala itu seperti tidak mau berhenti memancarkan kebahagiaan. Ya, bagaimana tidak karena kala itu saya baru saja mendapatkan sebuah film yang sangat memikat untuk menutup movie experience saya di tahun 2014, sebuah drama yang mencekam dibalik ketenangan, kuat dari cerita, eksekusi, hingga kinerja pemeran, sebuah drama bertemakan criminal yang cantik dan indah secara bersamaan. Darn, another very good movie from 2014.

Abel Morales (Oscar Isaac) merupakan seorang pengusaha ambisius yang sedang berupaya membeli sebuah fasilitas untuk memperluas kerajaan bisnis yang ia beli dari ayah istrinya, Anna Morales (Jessica Chastain). Namun ambisi pria imigran yang pintar bermain dengan intrik yang ia pelajari ketika dahulu masih menjadi sopir ini mendapati bahwa ada pihak yang hendak meruntuhkannya. Dari pembajakan truk hingga serangkaian serangan lainnya membuka mata Abel bahwa ia kini berada dalam sebuah peperangan dalam kompetisi bisnis yang ia jalani. 



Saya tidak ingin mengatakan kalau keberhasilan film ini memuaskan saya lebih di karenakan faktor J. C. Chandor, sutradara yang dua film terdahulunya juga berhasil meninggalkan impressi yang kuat bagi saya, Margin Call dan All Is Lost. Sulit memang untuk meninggalkan sikap subjektif dalam kasus seperti itu tapi walaupun harus benar-benar menilai secara objektif saya tidak ragu untuk mengatakan bahwa A Most Violent Year adalah salah satu film terbaik tahun lalu, dan tanpa mencoba merendahkan kandidat lain yang juga sama kuatnya jika berbicara masalah drama ini adalah kemasan yang paling komplit. Ya, saya lupa sudah berapa kali mengatakan kata komplit dalam review yang saya tuliskan dan tidak etis pula jika mengatakan ini hiburan komplit yang terbaik, namun ia berada di posisi atas di dalam daftar film paling komplit.



Oke, mari lepas dari masalah komplit tadi. Apa yang saya suka dari A Most Violent Year adalah ia menyediakan kita elemen-elemen penunjang sebuah drama dalam kuantitas dan kualitas yang cantik. Ya, cantik, dari segi cerita saja film ini bukan cuma membuat kita merasa bahwa apa yang akan ia berikan tampak menjanjikan, tapi juga ada pesona di dalamnya sehingga apa yang ia berikan selanjutnya akan dengan mudah menyerap kedalam pikiran bahkan imajinasi penontonnya. Berikutnya adalah kepiawaian dari J. C. Chandor dalam mengeksekusi cerita tadi. Bukan hanya dari cerita tapi juga hal-hal teknis di sekitarnya, dari score sampai dengan permainan gambar, pelengkap yang sedap bagi narasi yang meskipun berjalan lambat tetap memberikan kita setruman kecil yang menggigit. Manis, kesan misteriusnya itu eksis tapi tanpa eksploitasi yang berlebihan, memberikan kita ketegangan dalam ketenangan.


Itu mengapa A Most Violent Year akan meninggalkan kesan mendalam bagi penonton yang mencintai proses, kesabaran dalam menanti tanpa harus lupa juga untuk menikmati mereka. Ia tidak mencoba menginspirasi, ia juga tidak membuat kita mencari-cari jawaban di dalam cerita, hanya menikmati proses yang mengalir dengan lembut, punya energy yang kuat, mencampur action, drama, dan thriller yang mungkin akan hit pada mereka yang sudah terombang-ambing bersamanya sejak awal. Hypnotic memang, seperti versi yang lebih baik lagi dari A Most Wanted Man, pusat yang kuat dengan berbagai perangkap yang juga kuat di sekitarnya, tidak pernah mencoba tampil overdo tapi dibalik rasa stabil yang ia berikan ia tetap mampu membuat kita penontonnya terus merasa gregetan dengan godaan yang silih berganti hadir.



Tapi di balik segala kelebihan tadi terasa kurang lengkap kalau tidak membahas kontribusi dari para pemeran, terutama dua pemeran utamanya yang diberikan ruang dan sokongan mumpuni dari J. C. Chandor untuk berekspresi, tampil seperti mesin yang tidak pernah berhenti menghasilkan listrik, seperti lokomotif yang pengapiannya terus menerus diisi dengan kayu. Oscar Isaac di sini seperti Llewyn Davis yang telah sukses dan telah dewasa, terus membara tapi kali ini dilengkapi dengan karisma yang cantik. Tapi di sampingnya Jessica Chastain juga tampil sama baiknya, memberikan kita kejutan lewat tindakan cepat dan brutal yang memikat, dan bersama Oscar Isaac konsisten memberikan penonton momen-momen kuat yang menjadikan film semakin terasa kuat.



A Most Violent Year mungkin datang paling akhir tapi bukan berarti ia akan sulit untuk mendapatkan tempat di daftar film terbaik yang saya tonton tahun lalu. Bukan hanya masuk namun saya yakin ini sangat layak untuk ikut dalam pertarungan film terbaik 2014, sebuah kemasan yang dewasa dengan fokus yang kuat, karakter dan cerita sama-sama memikat, bergerak perlahan namun terus merayap masuk kedalam pikiran, crime dan character study bersanding harmonis, drama dengan thrill yang cerdas, rapi, segar, menegangkan, bersama dua penampilan akting berhasil menyajikan sebuah cerita kejahatan dengan gabungan cita rasa klasik dan modern yang memukau.






1 comment :

  1. Kalo sempat review PREDESTINATION. Bingung sama film ini .:))

    ReplyDelete