07 January 2015

Movie Review: Paddington (2014)


"Families always stick together."

Film yang merupakan kolaborasi dua production company dari UK dan Perancis (Heyday Films dan StudioCanal) dimana satu diantara mereka merupakan sosok penting di balik salah satu film series paling popular bernama Harry Potter ini seperti jawaban atas kerinduan penonton pada sebuah film keluarga di akhir tahun. Bukan menandakan bahwa beberapa tahun terakhir tipe family movie menjadi arena yang kering namun sulit untuk menemukan film yang mampu membawa kita kembali merasakan hiburan akhir tahun misalnya seperti yang di berikan Home Alone di layar televisi Indonesia hampir setiap tahunnya, hiburan yang sederhana dan menyenangkan. Paddington, a fun adventure with happy little bear.

Pastuzo (Michael Gambon) dan Lucy (Imelda Staunton) merupakan dua ekor beruang di pedalaman hutan belantara Peru yang dapat berbicara layaknya manusia, kemampuan yang mereka peroleh dari seorang penjelajah bernama Montgomery Clyde, pria yang selalu mengatakan bahwa suatu saat Pastuzo dan Lucy harus mencoba untuk datang ke London, kota yang ia janjikan akan memberikan sambutan hangat kepada mereka berdua. Konsep tersebut berlanjut ke generasi selanjutnya, lebih tepatnya keponakan Pastuzo dan Lucy yang hidup bersama mereka. Namun suatu ketika bencana besar melanda hutan tempat mereka tinggal yang menjadikan Lucy memaksa keponakan mereka itu pergi ke London. 

Menumpang sebuah kapal kargo dengan dibekali puluhan botol marmalade, akhirnya beruang kecil itu tiba di London dan hebatnya langsung menarik perhatian sebuah keluarga. Atas desakan istrinya, Mary Brown (Sally Hawkins), Henry Brown (Hugh Bonneville) mengizinkan beruang kecil yang ia, istri, dan kedua anak  mereka, Judy (Madeleine Harris) dan Jonathan (Samuel Joslin) namai Paddington (Ben Whishaw) untuk tinggal bersama mereka sampai Paddington berhasil menemukan sosok penjelajah tadi. Yang menjadi masalah adalah ada seorang wanita bernama Millicent (Nicole Kidman) yang hendak menggunakan Paddington untuk mewujudkan ambisi pribadinya.


Butuh sedikit kesabaran memang untuk dapat menikmati film ini karena pesona dari cerita yang ia bentuk ulang bersama Hamish McColl itu seperti di set oleh Paul King untuk mekar atau tumbuh secara perlahan. Sedikit sulit untuk merasa klik dengan cerita dan juga karakter di bagian awal sekalipun ia menampilkan visual yang berhasil memanjakan dan mempermainkan mata dan imajinasi lewat detail yang lembut dan halus, daya tarik karakter utama belum begitu kuat sehingga tidak heran jika di bagian ini anda akan cukup sering berjumpa dengan beberapa lelucon yang pada dasarnya matang tapi justru tidak terasa lucu ketika disampaikan, hingga cerita yang terkesan terburu-buru dan pemalas dalam menciptakan pondasi awal bagi konflik dan juga karakter. Tapi boom, semua berubah secara perlahan, terus bergerak kearah positif hingga mencapai titik akhir dan meninggalkan penontonnya dengan impresi yang hangat dan kuat.

Sangat suka pada impresi yang diberikan oleh film ini kepada penontonnya, membawa kita bergeser dengan cepat dari satu bagian menuju ke bagian lain dengan berbagai rasa yang berbeda sehingga mampu untuk terus menonjolkan kesan segar di balik sederhanaan yang ia miliki di bagian cerita. Awalnya mungkin standard tapi setelah itu kita akan bertemu dengan narasi yang seolah mencoba menggabungkan style Wes Anderson dengan energi Mission Impossible yang lalu ia bungkus bersama gerak santai dan liar layaknya Home Alone. Tiga formula itu silih berganti hadir dalam struktur atau penempatan yang cerdik dengan sesekali menyelipkan sedikit drama dengan kehangatan yang pas, menciptakan petualangan yang ketat, padat, bahkan dapat dikatakan teras cukup sesak dibalik durasinya yang tidak gemuk itu. Tapi kesuksesan utamanya bukan itu, Paddington berhasil menjauh dari potensi menjadi hiburan konyol yang ia miliki di awal. 


Ya, ini yang mengejutkan karena dibalik kesan santai yang ia tampilkan Paddington justru berhasil meninggalkan pesan-pesan kecil klasik tentang keluarga hingga yang lebih luas lagi dengan menarik. Ia tidak mencoba menarik kita menuju isu yang ingin ia sampaikan dan meninggalkan kita bermain-main dalam waktu lama didalam isu tersebut, tidak pernah mencoba menenggelamkan kita melainkan hanya dengan gesekan kecil yang implisit namun tajam, dari kemanusiaan hingga menyentuh budaya serta hubungan anak dan orang tua, mereka dikemas dengan cermat oleh Paul King sehingga tidak mengganggu irama cerita. Seperti bermain tarik dan ulur bersama penonton, kombinasi tiga formula di awal tadi yang tidak hanya sukses membuat penonton yang masih sangat muda untuk terus terpaku mengikuti cerita sesekali melemparkan pertanyaan namun juga menyediakan keceriaan bagi penonton remaja hingga dewasa untuk terus terjaga dan menjauh dari rasa jengkel dan membosankan.

Nah, pada akhirnya semua berujung pada apa yang saya sebutkan di awal tadi, sebuah hiburan sederhana yang menyenangkan. Ini tidak super pintar, ini tidak megah, namun dengan kecermatan dalam teknik bercerita serta memainkan visual yang terasa ekspresif, Paddington berhasil memberikan hiburan yang sukses mencapai sasaran yang mereka inginkan, menjadi sebuah pembuktian bahwa untuk dapat memberikan sebuah hiburan yang menyenangkan bagi keluarga sebuah film tidak perlu mencoba mengolah banyak bagian yang ia miliki secara berlebihan, presisi dan tepat guna maka semua akan berakhir dengan manis. Ya, kelicikan itu yang dimiliki oleh Paddington, fokus utama terus kuat, konflik kecil menghasilkan kekacauan yang menarik di sekitar fokus utama tadi, punya humor yang lucu tapi tidak berlebihan, tahu arah kemana ia akan berjalan sehingga memiliki percaya diri ketika menyuntikkan sedikit drama hingga thrill kedalam cerita.


Namun terlepas dari kepiawaian Paul King bersama tim yang ia miliki di sisi teknis tadi penampilan dari divisi acting juga memiliki kontribusi yang besar pada keberhasilan Paddington menghibur penontonnya. Ben Whishaw menghasilkan suara yang lembut bagi Paddington, klik dengan manis sehingga ia tidak tampak seperti boneka beruang yang berjalan, ada nyawa didalamnya, hal yang juga dilakukan dengan baik oleh Nicole Kidman dan Peter Capaldi. Yang menarik disini adalah bagaimana empat pemeran dari keluarga Brown saling berbagi tanggung jawab dengan baik, saling sokong untuk memajukan cerita. Hubungan sebab-akibat dari cerita juga banyak terbantu oleh pesona yang berhasil ditonjolkan oleh empat pemeran tadi pada karakter mereka, Hugh Bonneville sebagai ayah yang tampak kuno karena rasa sayangnya yang begitu besar pada keluarga, Sally Hawkins sebagai ibu dan istri yang supportif, hingga sikap introvert dari Judy dan jiwa bebas dari Jonathan yang juga terasa menarik berkat penanganan yang pas oleh Madeleine Harris dan Samuel Joslin.


Overall, Paddington adalah film yang memuaskan. Tidak ada sebuah inovasi yang baru di sini namun dengan mengandalkan keseimbangan yang tepat di berbagai elemen yang ia miliki Paddington berhasil mendaurulang rumus klasik dari sebuah family movie menjadi sajian yang segar yang bukan hanya berisikan lelucon konyol dan bodoh namun juga dilengkapi dengan kecerdasan serta pesona yang kuat untuk memperdaya penontonnya. 







2 comments :

  1. Reviewnya bagus bung Rory. Saya selalu mengunjungi blog ini sebelum memutuskan untuk nonton film tertentu. Salam dari Jogjakarta bung

    ReplyDelete