10 December 2014

Movie Review: Stand by Me Doraemon (2014)


“Will you be okay without me?”

Jika anda tidak memiliki masalah atau pertentangan dengan kalimat yang mengatakan tidak ada yang abadi, anda pasti mengerti bahwa akan muncul perpisahan dari segala sesuatu yang eksis di dunia ini. Robot yang datang dari masa depan dalam wujud kucing dengan sebuah kantung ajaib yang menjadi primadona di kawasan asia ini telah berada di tahap akhir tadi pada kategori feature film yang berlandaskan manga series miliknya, sebuah perpisahan penuh warna dan rasa selama 95 menit. Stand by Me Doraemon: smiles, laughs, and tears in sayonara without goodbye.

Anak laki-laki dengan tingkah laku kikuk yang mudah di intimidasi oleh sahabatnya Gian (Subaru Kimura) dan Suneo (Tomokazu Seki), sosok pemalas yang bukan hanya kesulitan dalam hal pelajaran tapi juga terkait asmara pada teman sekelasnya dengan wajah manis bernama Shizuka (Yumi Kakazu), keberuntungan justru mendadak menghampiri Nobita (Megumi Ohara). Segala kekurangan yang ketidakmampuan yang ia miliki membuat anak laki-laki lain bernama Sewashi (Yoshiko Kamei) muncul dari dalam meja belajar untuk datang menghampiri Nobita bersama robot ajaib yang dapat mewujudkan semua permintaan yang diberikan kepadanya dengan menggunakan kantung ajaib miliknya, Doraemon (Wasabi Mizuta). 

Sewashi sendiri bukan sosok biasa, ia merupakan cucu dari cucu Nobita yang datang menggunakan mesin waktu dari abad ke-22, dan tujuan utamanya adalah untuk membantu Nobita kembali ke dalam kehidupan yang lebih baik, yang tentu saja akan ikut mengubah apa yang terjadi masa depan untuk menjadi lebih baik, salah satunya menghindari pernikahannya dengan perempuan dari sosok yang sangat ia takuti. Untuk mewujudkan hal tersebut Sewashi menugaskan Doraemon untuk tinggal bersama Nobita dan dengan menggunakan alat-alat dari saku miliknya menjalankan sebuah misi sederhana, membuat Nobita menemukan kebahagiaannya, syarat mutlak yang secara otomatis akan membawa Doraemon kembali ke masa depan.


Sangat sulit untuk bersikap benar-benar objektif, atau sekedar menyeimbangkannya dengan sikap subjektif dalam memberikan penilaian pada bagian penutup petualangan Doraemon yang mengambil langkah berani untuk keluar dari kebiasaannya dan tampil dalam wujud 3D ini, karena meskipun tidak mengikuti semua filmnya robot kucing yang takut tikus itu merupakan bagian dari masa kecil saya. Muncul di layar televisi setiap minggu pagi pukul delapan, film ini seperti memutar kembali kenangan itu dengan tingkah laku konyol, santai, bahkan manis yang ditampilkan oleh karakter dengan sangat kuat, dari drama sederhana yang selalu berhasil meninggalkan berbagai pesan penting yang sederhana namun tajam dan efektif, hingga humor dengan menggunakan aksi slapstick gerak cepat penuh energi yang disamping menciptakan tawa lepas yang menyenangkan juga sanggup membuat karakter tampak konyol dan adorable secara bersamaan.

Itu yang menjadi kekuatan utama Doraemon, dan seolah paham betul dengan materi yang ia jual serta apa yang penonton inginkan dua sutradara Takashi Yamazaki dan Ryūichi Yagi memperoleh keuntungan dari sikap simple mereka untuk tidak membawa hal-hal baru yang sangat mengganggu kedalam petualangan ini. Dari sisi cerita Stand by Me Doraemon adalah standard dari apa yang kita inginkan dari Doraemon dan teman-temannya, namun konsep dasar yang merupakan penggabungan dari beberapa cerita pendek dengan menampilkan berbagai alat-alat canggih yang menarik itu justru menjadi sebuah keunggulan bagi film ini, semua terbentuk dengan cepat, padat, dan tepat. Sinopsis yang ia miliki terasa sedikit tipis memang, terasa episodik serta seolah di jaga untuk tidak bergerak terlalu dalam, namun berbagai potongan kecil itu berhasil dirangkai oleh Takashi Yamazaki dan Ryūichi Yagi untuk membawa penonton merasakan misi utama yang mereka ingin sampaikan.


Persahabatan, semua berputar disana dengan cara yang menyenangkan. Plot terasa bijak tanpa berupaya untuk menciptakan sesuatu yang kompleks, cara mereka menciptakan batasan sangat tepat sehingga mampu untuk selalu memberikan penonton alur yang mengalir dengan nikmat penuh kebebasan tapi juga tidak sampai keluar dari lintasan, tapi disisi lain ia punya timing yang sangat baik, ketika momen serius itu diperlukan mereka juga ditampilkan dengan sama meyakinkannya. Pergeseran penuh energi diantara dua hal tadi yang menghapus keterbatasan film ini pada sektor cerita diawal tadi, ia seperti terus membawa kita seolah naik menuju level selanjutnya, dan itu banyak dibantu oleh dinamika bercerita yang ia ciptakan, ia mampu mencengkeram penonton pada empat aspek penting dari sebuah film animasi secara bersamaan: dari segi cerita, kemudian mempermainkan emosi, dan yang terakhir pada kemampuannya memanjakan mata serta karakter yang membawa penonton berimajinasi.

Cerita yang tersusun dengan manis juga punya tahapan yang baik, beberapa pesan terkait kasih sayang secara mengejutkan juga tersampaikan lewat hubungan sederhana antar karakter, seperti antara Shizuka dan ayahnya, atau antara Nobita dan Shizuka. Hal terakhir tadi sebenarnya punya double effect, disamping nilai positif eksplorasi pada relationship mereka di beberapa bagian terasa terlalu “lembut”, terasa monoton, dan yang lebih berbahaya bagian ini dapat menggerus fokus anda pada Doraemon itu sendiri, pada hubungan antara Doraemon dan Nobita. Ini mungkin satu dari dua kekecewaan saya pada film ini disamping tidak hadirnya kejutan di bagian akhir yang imo akan terasa sangat kuat jika momen “comeback” itu dihilangkan (yeah, too risky). Namun jika berbicara tentang emosi, film ini luar biasa. Seperti sebuah rollercoaster yang bergerak cepat dalam lintasan yang dinamis, penonton memang dibawa bergembira namun kita tetap merasa waspada dengan isu kehilangan yang akan dialami oleh Nobita.


Keberhasilan tersebut memang tidak lepas dari kesan dimana kita seolah menjadi bagian dari keseharian Nobita yang telah tercipta sejak awal, dan itu dampak dari kinerja visual yang sangat memikat. Ini adalah kejutan dimana penonton tidak perlu waktu lama untuk klik dengan karakter dalam “wujud” yang berbeda dari apa yang selama ini kita saksikan, tekstur yang mereka miliki sangat renyah terlebih ada kesan hangat yang memancarkan energi, dan itu bukan hanya sebatas pada detail karakter yang mampu menjadikan Shizuka terasa sangat manis, Doraemon terasa menggemaskan, serta Nobita, Suneo, dan Gian terasa menggelikan, tapi juga pada ekspresi, lelucon slapstick terasa halus dan berhasil membuat kita tertawa, ketika momen sedih itu muncul visual juga berhasil membuat kita merasa terenyuh, dan itu dilengkapi dengan atmosfir cerita yang stabil dan kuat berkat score yang mantap, pengisi suara yang menyuntikkan nyawa pada karakter, serta soundtrack yang manis.



Overall, Stand by Me Doraemon adalah film yang memuaskan. Sebuah perpisahan yang special karena kita tidak mengatakan sayonara dan kemudian melepaskan mereka begitu saja, tapi sebaliknya ini seperti sebuah penghormatan bagi karakter yang telah memberikan kenangan indah bagi banyak orang yang tumbuh di era 90-an, sebuah sayonara yang memoles kenangan itu untuk semakin membekas di memori penonton yang juga diperlakukan dengan hormat, mendapatkan apa yang mereka inginkan dari Doraemon, sebuah petualangan yang bergerak cepat dan terkendali dengan mengandalkan kombinasi antara drama berbalut emosi yang ketat dan padat, ditemani komedi penuh aksi komikal dan slapstick yang tak pernah berhenti berusaha menyebarkan virus bahagia kepada penonton bahkan ketika credit mulai hadir dihadapan mereka. Sayonara.








3 comments :

  1. saya bingung dengan endingnya, jadi doraemonnya balik lagi kah? Tapi kok pas cerita dimasa depan nobitanya tdk bersama doraemon lagi? dan dari shizuka ataupun nobita dewasa menganggap doraemon sudah tdk ada dan hanya teman masa kecil. Jadi menurutku ga sinkron sih. Mungkin karena efek minuman pembohong kali ya..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ternyata benar kalau itu “comeback” bikin ending jadi terasa gak enak. Iya balik lagi, dan alasannya simple, karena mayoritas penonton suka happy ending. Masalah masa depan dan menganggap hanya teman masa kecil itu bagian dari penafsiran imajinasi penonton, dibiarkan bebas oleh mereka, Doraemon kelak menghilang kembali dari kehidupan Nobita karena minuman itu lagi, baterainya rusak, atau melibatkan alien juga bisa. :)

      Delete
  2. entah mengapa buat saya film terasa kurang mengharukan, mungkin karena selama ini yang saya ketahui doraemon itu pada akhirnya akan rusak yang membuat nobita jadi belajar dan berusaha keras untuk memperbaiki doraemon....bagi saya terlalu berlebihan jika mengatakan film ini sebagai film perpisahan. :) doraemon kawan lama selamanya

    ReplyDelete