17 August 2014

Movie Review: Teenage Mutant Ninja Turtles (2014)


“Remember, nothing is as strong as family.”

Hadirnya reboot dari film-film dengan elemen ikonik seperti ini merupakan sesuatu yang harus disambut dengan tangan terbuka, tentu saja terlepas dari misi yang ia bawa, bisa menjadi sebuah update yang baik, sebuah pesta bagi para fans, pengeruk keuntungan semata, atau justru hanya topeng dari terbatasnya ide segar yang dimiliki insan perfilman. Celakanya film ini tidak mampu mengkombinasikan hal-hal tersebut dengan cermat, Teenage Mutant Ninja Turtles, a soulless and charmless entertainment from ninjutsu warriors. Cowabummer!    

Wanita yang berprofesi sebagai reporter di Channel 6 bernama April O'Neil (Megan Fox) suatu ketika mengatakan kepada rekan kameramen nya, Vernon Fenwick (Will Arnett), bahwa ia telah bosan dengan liputan sederhana yang mereka lakukan. Ternyata dewi keberuntungan mendengar keluhan tersebut, dengan menggunakan sepeda miliknya pada malam hari April menjadi saksi dari aksi kejahatan yang dilakukan oleh Foot Clan, sindikat penjahat yang dipimpin oleh Shredder (Tohoru Masamune), dan berencana untuk mengambil alih kota New York.

Sayangnya peran kecil yang ia punya selama ini menjadikan laporan terkait insiden tersebut dianggap sebagai sebuah lelucon oleh pimpinan April, Bernadette (Whoopi Goldberg), hal yang bertolak belakang dengan respon positif dari pria bernama Eric Sacks (William Fichtner) yang percaya pada kesaksian April karena punya kaitan pada studi mutagen yang pernah ia lakukan, bahwa April telah bertemu dengan empat kura-kura dengan ukuran yang lebih besar dari manusia, Michelangelo (Noel Fisher), Donatello (Jeremy Howard), Raphael (Alan Ritchson), dan Leonardo (Johnny Knoxville).


Mengapa ada kata bummer di bagian pembuka tadi? Karena saya tidak mendapatkan apa yang saya inginkan dari film ini, sebuah petualangan dengan cita rasa ringan yang mampu membawa penontonnya bersenang-senang bersama perputaran yang bukan hanya bebas namun juga menarik. Tentu saja Teenage Mutant Ninja Turtles tidak identik dengan cerita yang rumit, cukup hadirkan kekacauan, ciptakan perkelahian skala sedang yang gila, kemudian selipkan aksi saling ejek diantara empat bersaudara yang dilatih tikus bernama Splinter (Tony Shalhoub) dengan sentuhan pizza di dalamnya, tapi masalahnya adalah kisah yang ditulis oleh Josh Appelbaum, André Nemec, dan Evan Daugherty itu tidak berhasil menciptakan wadah agar kekacauan tadi mampu menunjukkan pesona mereka.

Yap, mari mulai dengan charmless. Mayoritas dari kita jelas memutuskan datang menyaksikan film ini karena tertarik dengan kura-kura ninja sebagai jualan utamanya, namun disini dengan racikan dari Jonathan Liebesman kita justru mendapatkan sebuah kesibukan yang terasa canggung dan hambar. Benar, soulless, sangat suka pada animasi pembuka, begitupula dengan keputusan untuk menjadikan TMNT seperti sebuah misteri kecil di awal, tapi anehnya ketika mereka hadir, boom, semua terasa biasa. Kemana pesona itu pergi? Dari tik-tok yang sering kali terasa kaku dan datar itu perlahan hadir rasa jengkel karena identitas dari film ini yang perlahan juga mulai terkuak, sebuah reboot yang penakut.


Okay, tidak perlu menyebutkan nama dari salah satu produsernya, namun potensi menjanjikan diawal tadi dengan cepat berubah menjadi sebuah kebisingan yang pemalas dan tidak peduli dengan makna dari pertunjukkan yang ia hadirkan. Teenage Mutant Ninja Turtles menjalankan dengan baik misi dari reboot di paragraf pembuka tadi, dengan telaten menenun kerja komputer untuk memberikan hiburan visual sebagai senjata pengeruk keuntungan, namun disisi lain ia adalah kemasan pemalas untuk setidaknya meninggalkan hal mengesankan lainnya disamping sebuah update visual dengan adegan menuruni gunung yang tidak dapat dipungkiri sanggup tampil menarik itu.

Ya, sebuah update, menyegarkan memang, tapi tidak meninggalkan kesan yang kuat. Teenage Mutant Ninja Turtles tidak mampu menampilkan pesona yang dimiliki sehingga penonton dapat merasakan kehadiran mereka sebagai sesuatu yang penting, terlebih tidak mampu menjadikan tantangan pada tema persaudaraan yang mereka bawa menjadi menarik. Pada akhirnya kita hanya berputar pada mode petualangan klasik yang dengan semakin banyaknya film action dengan polesan CGI sekarang ini tidak mampu menciptakan kesan special sebagai sebuah kesatuan, mencoba mondar-mandir agar tampak kompleks namun ketika aksi close-up dipenuhi iklan dan lelucon kosong itu mulai tidak memberikan hasil positif, ia tidak menemukan jalan untuk keluar dari jeratan monoton.


Monoton, kesalahan terbesar film ini adalah ketika Jonathan Liebesman takut untuk mengambil sikap di awal, ia seperti ragu apakah ingin menjadikan film ini untuk tampil beda, atau tidak. Letaknya ada pada karakter, karakterisasi yang merupakan hal penting bagi kualitas pesona yang dihasilkan sangat lemah di TMNT, tidak kokoh, terlalu terburu-buru, daya tarik mereka tidak di isi dengan baik, sehingga ketika aksi-aksi standard itu muncul empat bersaudara itu bahkan sering kali harus bertukar posisi dengan dua karakter utama manusia yang at least mampu sesekali mencuri perhatian dan senyum dengan lelucon klise mereka terkait percintaan, sebuah hal yang menjengkelkan jika menilik potensi film ini untuk bukan hanya sekedar menjadi reboot yang super standard.

Namun dibalik berbagai nilai minus tadi jujur saja apa yang diberikan oleh Teenage Mutant Ninja Turtles tidak melenceng terlalu jauh dari ekspektasi saya. Berbagai isu yang hadir jauh sebelum ia rilis terbukti, bahwa perlakuan hormat pada karakter Teenage Mutant Ninja Turtles berpeluang sangat rendah dan ini semata-mata hanya sebuah usaha membuka waralaba baru dari magician Transformers itu. Yap, mereka yang mencintai nama terakhir tadi mungkin akan mudah mencintai film ini, tidak perduli cerita buruk, tidak peduli karakter minim pesona dan hambar, hanya berharap di hibur tindakan ingar-bingar, dan tentu saja Megan Fox yang sibuk menjadi informant untuk menyelamatkan kota New York.


Overall, Teenage Mutant Ninja Turtles adalah film yang kurang memuaskan. Merupakan sebuah update yang cantik dari sisi teknologi, namun sayangnya sikap takut untuk tampil beda menghancurkan potensi film untuk menjadi petualangan ringan yang bukan hanya menyenangkan, tapi juga berkesan. Tidak mampunya ia bercerita at least berada di level yang cukup baik, karakter menjadi lemah, tema persahabatan dan keluarga menjadi ikut melemah, akhirnya pesona mereka tidak berhasil muncul, menghasilkan sisi pahit yang menarik jatuh nilai plus dari elemen visual yang tampil baik itu. Standard.








3 comments :