09 April 2014

Movie Review: Rio 2 (2014)


"We're not people, we're birds. We have to get out into wild and be birds, Blu!"

Harus menjadi lebih besar, harus menjadi lebih menarik, harus menjadi lebih menyenangkan, dan masih banyak lagi “harus menjadi lebih” dalam konteks positif yang disandang oleh sebuah film dengan status sekuel. Yang kerap menjadi masalah adalah hal tersebut juga menjadi awal terciptanya beban yang jika tidak dapat di kendalikan dengan baik justru akan membawa dampak negatif. Rio adalah lima besar animasi terbaik versi rorypnm tiga tahun lalu, dan ada sebuah rintangan bagi penerusnya ini untuk mencapai hal yang sama. Rio 2, an unfocused random party animation which seems confused when deliver a lot of important message.

Blu (Jesse Eisenberg) dan istrinya Jewel (Anne Hathaway) sepertinya belum dapat menjauh dari masalah yang terkait hukum. Bersama ketiga anak mereka Blu dan Jewel kini memang telah hidup bahagia di sebuah suaka yang dikelola oleh Linda (Leslie Mann) dan Tulio (Rodrigo Santoro), namun mereka berdua pula yang membawa masalah baru bagi Blu dan keluarganya. Ketika sedang membuat sarapan televisi menyiarkan kabar bahwa Linda dan Tulio yang sedang berpetualang di hutan Amazon telah menemukan eksitensi dari Spix's Macaws lain, jenis dimana Blu dan keluarganya dianggap sebagai satu-satunya yang tersisa.

Uniknya hal tersebut justru dimanfaatkan oleh Jewel. Jewel ingin agar keluarga mereka terbang dari Rio ke hutan Amazon untuk mengenalkan anak-anaknya tentang dunia, bukan hanya sebatas bermain bersama teknologi. Semangat bahkan semakin besar ketika Rafael (George Lopez), Nico (Jamie Foxx), dan Pedro (will.i.am) juga memilih ikut dalam upaya mencari bakat untuk mengisi karnaval yang mereka rencanakan. Namun ternyata sikap enggan yang sejak awal telah Blu tunjukkan punya makna tersendiri, banyak masalah telah menantinya didalam hutan Amazon.


Dalam bentuk sederhana, Rio 2 tidak lebih baik dari Rio. Narasi yang Rio 2 miliki sangat jauh dari kesan rapi, bahkan kasarnya ini dibentuk tanpa disertai sebuah ketulusan, mereka semua tampak memang sengaja dilemparkan dengan bebas dan kemudian dijaga oleh Carlos Saldanha dan rekan-rekannya supaya tetap sempit, tidak bergerak terlalu jauh agar tidak melukai pesta yang sejak awal dengan mudah akan terlihat telah dicanangkan menjadi pusat cerita. Tentu saja aneh jika mengharapkan cerita rumit dari Rio yang telah menyandang ciri khas dari animasi karya Blue Sky Studios yang selalu straightforward,  tapi nilai minus yang tercipta ketika mereka berdiri secara individu itu juga tidak hilang saat konflik-konflik kecil seperti hubungan suami dan mertua, ego dalam keluarga, cinta penuh rasa takut, hingga isu dalam cakupan yang lebih luas seperti lingkungan hidup itu disatukan, berantakan, sering kali terasa terputus.

Ini yang menjadi masalah besar, tidak ada petualangan yang menyenangkan disini. Berbagai pergeseran dan perpindahan penuh lompatan dalam gerak cepat yang ia hadirkan terasa canggung dan kasar, tidak ada alur yang halus karena tiap konflik seperti punya kesibukan masing-masing yang harus mereka ungkapkan. Tentu saja patut memberikan apresiasi pada rasa percaya diri Carlos Saldanha untuk menjadikan Rio 2 semakin luas, namun  hal tersebut juga menghilangkan daya tarik yang telah diciptakan oleh film pertama. Dalam bentuk grafik ini menurun, step by step kita penonton bahkan juga karakter perlahan kehilangan semangat karena penceritaan yang melelahkan, semua terasa campur aduk tapi tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa jalur yang mereka miliki perlahan akan bersatu disatu titik, dan cerita yang menjadi kusut itu juga semakin memperlihatkan rasa ragu yang ia miliki.

Yap, rasa percaya diri itu hanya eksis di awal. Terkadang ini tampak mencoba membawa isu potensial itu bergerak lebih jauh, namun juga kerap berpaling dan kemudian melakukan blunder dengan menyuntikkan komedi mengandalkan karakter yang tidak semua bekerja dengan baik akibat penempatan yang kurang tepat. Rasa ragu ini yang menggerus sisi enjoyable, ia tampak tidak yakin bahwa cara yang akan ia gunakan dapat menyampaikan pesan yang dibawa, berputar-putar seperti bermain tarik dan ulur dengan penonton yang sebenarnya hanya ingin kepastian: menjadi serius atau konyol? Rio 2 terlalu sering mencoba mengolah isu serius agar dapat tampil mendidik tanpa berupaya menggali mereka sedikit lebih dalam, dan fokus yang terbagi itu menjadikan ia tidak mampu menjaga sisi fun yang menjadi penyelamat pendahulunya itu.


Ini yang menyedihkan, karena saya suka Rio, dan sejak awal telah siap ikut dalam petualangan tanpa mempermasalahkan materi klasik dan konvensional yang akan hadir. Kehangatan yang sederhana itu hilang, meskipun sesungguhnya pendekatan yang Carlos Saldanha terapkan pada dasarnya masih sama. Disini Carlos seperti terbebani dengan tugas yang semakin besar sehingga walaupun semakin luas ruang cerita faktanya punya kepadatan yang terasa sesak, ia bahkan banyak menggunakan lagu sebagai media lain untuk menggerakkan plot. Hal tersebut yang menghalangi Rio 2 untuk menghadirkan sesuatu yang mungkin juga telah dinantikan penontonnya, pertumbuhan yang mumpuni dari film pertama. Ya, secara keseluruhan ini sama saja, nilai cerita sedikit menurun, dan hal tersebut di tutupi dengan kinerja visual yang, well, masih menyenangkan.

Jujur saja ketika Amazon mulai menjadi latar utama saya sempat cemas ini akan berakhir hambar seperti produksi Blue Sky Studios tahun lalu, Epic. Tidak megah memang, bahkan kualitas 3D juga punya keseimbangan positif dan negatif dari ekspresif hingga tingkat kecerahan, tapi walaupun beberapa dari mereka tampil menjengkelkan dengan penyatuan yang terasa kikuk, namun sulit untuk menampik hiruk pikuk dari musikal yang dipenuhi koreografi dengan gerakan-gerakan energik itu tidak memberikan kesenangan yang mumpuni. Ini cerdik, visual bekerja sebagai pengalih perhatian penonton, menjadikan mereka sibuk dengan permainan mata dan melupakan krisis karakter yang stuck itu. Salah? Tidak, namun pergerakan penuh warna dan musik dalam cita rasa bebas dari aksi kejar hingga permainan olahraga itu tidak mampu mengimbangi nilai minus yang dihasilkan cerita.

Tapi selain visual ada satu elemen lain yang juga tampil menarik, pengisi suara. Ada energi yang hidup disini, kerap berperan menyelamatkan dialog, cerita, bahkan lelucon yang terasa mentah dan tumpul. Butuh waktu untuk klik lagi dengan Blu, dan ketika Jesse Eisenberg mulai memperoleh irama sisi cemas dan bingung karakter tergambarkan dengan baik. Banyak yang bersinar disini, Anne Hathaway memberikan vokal yang kuat dan khas, duet Leslie Mann - Rodrigo Santoro dan Jamie Foxx - will.i.am juga cukup baik, hingga Andy García dengan suaranya tegas, begitupula dengan Jemaine Clement. Tapi dalam konteks performa memorable menjadi milik Bruno Mars dan Kristin Chenoweth.


Overall, Rio 2 adalah film yang cukup memuaskan. Jika anda hanya melemparkan dua pilihan antara apakah ini memuaskan atau tidak, maka jawabannya adalah Rio 2 worthed untuk dinikmati, terlebih bersama keluarga dan anak. Sekalipun terasa kurang tajam banyak pesan positif yang dibawa film ini, dari keluarga, teknologi, hingga lingkungan, at least mereka tergambarkan walaupun akan terkesan berantakan jika diamati sedikit lebih detail. Hanya satu masalah besar disini, Rio tidak mampu menaikkan standard mereka, tidak mampu menjadi karakter yang bukan hanya sanggup meraup banyak profit namun juga mampu menjadi sosok ikonik, bahkan film kedua ini akan lebih mudah terlupakan dibandingkan dengan pendahulunya.








2 comments :

  1. Jikalau dilemparkan dua pilihan antara theatre oriented atau dvd oriented, ini gimana om rory hehehe... mengingat banyak film most watched di tahun ini, jadi gw kudu seleksi film :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Imo sih jika memang hadir kesempatan film animasi itu wajib di tonton di cinema karena salah satu yang dijualkan visualnya, kecuali punya televisi layar jumbo dan sabar nunggu blu-ray. Korban seleksinya mending drama yang murni ngandelin cerita aja, jangan film animasi dong. :)

      Delete