20 March 2014

Movie Review: The Monuments Men (2014)


"Your lives are more important than a piece of art."

Film ini berhasil menjadi bukti terbaru dari betapa besarnya peran sebuah poster pada upaya membentuk ekspektasi calon penonton. Coba perhatikan poster diatas, sekumpulan pria yang jika anda coba telusuri lebih jauh punya kombinasi belasan nominasi Oscar di kantong mereka, berpakaian layaknya tentara dan seperti menjanjikan sebuah cerita bertemakan peperangan dengan permasalahan yang rumit dan kompleks. Stop, hapus ekspektasi itu, materi perang hanya menjadi sebuah dasar, karena ini adalah petualangan tanpa urgensi. The Monuments Men, it’s not a war battle, it’s just the picnic man.

Pada saat perang dunia kedua yang berlangsung tahun 1943, ketimbang memikirkan hadirnya serangan musuh disertai ledakan bom dan pertarungan senjata, seorang pria bernama Frank Stokes (George Clooney) justru memikirkan sesuatu yang sedikit out of the box. Barang kesenian menjadi concern utamanya, sesuatu yang ia anggap harta karun berharga dan harus diselamatkan dari kehancuran karena dapat menjadi saksi sejarah. Usulnya tersebut diterima oleh Presiden USA, dan Frank diberikan izin untuk membentuk sebuah tim dalam upaya menyelamatkan barang-barang seni di kawasan western, Eropa.

Dalam waktu singkat tim terbentuk, menyandang nama The Monument Men dengan beranggotakan Lt. James (Matt Damon), Sgt. Richard (Bill Murray), Sgt. Walter (John Goodman), Lt. Jean Claude (Jean Dujardin), Pvt. Preston (Bob Balaban), dan Lt. Donald (Hugh Bonneville). Misi mereka tidak sederhana, karena harus berhadapan dengan Nazi yang kala itu masih berada di bawah komando Hitler, keterlibatan Rusia, hingga menyeberang ke Paris, dengan bantuan seorang kurator bernama Claire Simone (Cate Blanchett), terpecah menjadi beberapa tim yang perlahan mulai berteman dengan kesulitan dan rasa frustasi.



Mungkin baru pertama kali ini saya memulai sebuah review dengan mengulas sisi teknis yang sering terlupakan oleh banyak penonton, scoring. Ya, jika dijabarkan secara frontal hanya score dengan nada berat bertemakan marching mengasyikkan dari Alexandre Desplat itu yang berhasil menyajikan sebuah kinerja yang memikat pada The Monument Men, berperan sangat penting pada kontrol terhadap tensi yang dimiliki cerita, bahkan dibanyak bagian ia kerap menjadi faktor penyelamat film dari jurang kehancuran. Benar, kehancuran, karena jika menaruh 5 sebagai angka maksimal dari sebuah elemen film menjalankan tugasnya, bukan hanya mayoritas namun hampir 90% materi yang mengisi The Monument Men hanya bermain-main di angka 2, dan maksimal hanya 3.

Tidak ada dinamika cerita yang menarik disini, cerita yang ditulis oleh George Clooney dan Grant Heslov itu sangat sering kehilangan momentum dan urgensi dari konflik utama. Nah, ini dia masalah yang memberikan nilai minus cukup krusial, dari konsep pencurian tidak terbangun dengan baik, kemudian ditemani dengan berbagai sub-plot yang terjebak tanpa arah yang jelas. Kita mengerti apa yang ingin film ini sampaikan, namun penonton akan merasakan hadirnya sebuah tembok yang menghalangi mereka untuk bergerak lebih dekat pada cerita dan juga karakter, sebuah kesulitan bagi mereka untuk ikut pula mampu merasakan feel dari maksud yang ingin cerita tunjukkan. 

Hal minus tadi semakin parah karena tujuan utama The Monument Men pada dasarnya sangat sederhana, perjuangan menyelamatkan nilai seni. Disamping itu tidak ada lagi materi lain yang dapat mewarnai atau at least memberikan gesekan berupa konflik pendukung, George Clooney seperti ingin fokus dan terus fokus pada upaya agar sisi heroik dari pasukan penyelematan barang seni dan menemukan Madonna of Bruges itu dapat tergambarkan dengan megah, hal yang kemudian membentuk cerita yang panjang dan berputar-putar untuk menciptakan sebuah penceritaan yang kompleks. Hasilnya adalah sebuah kisah yang berbelit-belit, beberapa bagian terkesan melompat dengan random, kemudian menemani sebuah proses menunggu yang monoton untuk datangnya sebuah konklusi.


Yap, monoton. Penonton seperti diajak melompat dari satu sketsa menuju sketsa lainnya. Editing menjadi sumber utama kekacauan film ini. Tidak ada sebuah alur yang padat dan mengalir, sering terasa terputus-putus dan memisahkan kisah menjadi beberapa tanpa kehadiran sebuah koneksi yang mumpuni, hal yang seharusnya tidak boleh terjadi mengingat visi utama mereka sebagai sebuah tim. Pada akhirnya cerita yang bermain di banyak bagian terpisah itu terasa sangat canggung ketika coba digabungkan menjadi sebuah kesatuan, terasa dipaksakan. Celakanya banyak diantara mereka justru terkesan kurang penting, bukan hanya terkesan dangkal namun juga tidak mengandung sebuah point yang menarik. 

Banyak informasi menarik disini, namun sayangnya tidak diolah dengan baik. Ceroboh mungkin lebih tepatnya, sehingga ekplorasi yang dilakukan seperti tidak menyokong misi utama yang mereka bawa, ia kurang mampu memberikan eksekusi yang pas pada teknik mendongeng yang digunakan sehingga transisi kerap terasa kasar. Pergerakan cerita sebenarnya cukup baik, namun bagaimana mana cara mereka ditempatkan dalam membentuk sebuah struktur cerita yang terasa salah. Kuantitas, itu yang menjadi masalah, The Monument Men punya banyak sub-plot terpisah yang celakanya mereka tidak memperoleh kesempatan yang cukup besar dalam hal waktu untuk dapat tumbuh dan berkembang sehingga sanggup menebar daya tarik dan memperoleh atensi dari penontonnya. 

Sedikit disayangkan memang karena selain penceritaan yang buruk sebenarnya elemen lain berada di level potensial. Sebut saja itu seperti teknik pengambilan gambar yang tampak manis, bahkan kualitas akting dari para pemeran juga tidak buruk, namun seperti sebuah kalimat great actor doing bad movies, tidak peduli seberapa hebat sang aktor mereka tetap akan jatuh jika tidak disokong dengan materi yang mumpuni. Yang berhasil mencuri perhatian disini justru hanya Bill Murray dan Bob Balaban, mampu membentuk sebuah duet dipenuhi saling ejek yang terkadang menyenangkan. Selain itu kurang kuat, George Clooney kurang meyakinkan sebagai pemimpin, sedangkan Matt Damon seperti diberikan liburan ketimbang menjadi seorang utusan yang mencari informasi.


Overall, The Monument Men adalah film yang kurang memuaskan. Potensi jelas ada, namun George Clooney tidak mampu menciptakan sebuah dinamika cerita yang hidup dengan momentum yang mumpuni. Akhirnya ketimbang melihatnya sebagai sebuah film penuh perjuangan heroik menyelamatkan barang seni, ini lebih tampak seperti sekumpulan pria putus asa tanpa semangat yang menjalankan misinya tanpa tekanan. Piknik!! The Monument Men bahkan mungkin dapat terasa jauh lebih menyenangkan jika Clooney mau memberikan elemen komedi porsi yang sedikit lebih besar, karena banyak dari mereka memiliki potensi untuk memberikan sesuatu yang menyenangkan.





1 comment :

  1. Setuju, kemaren baru nonton film nya, cukup membosankan dan kadang ada adegan-adegan yang kurang jelas..

    ReplyDelete