22 February 2014

Movie Review: Vampire Academy (2014)


Mungkin banyak yang beranggapan bahwa premis merupakan faktor kunci dari sebuah film di bagian awal, namun sebenarnya di atas premis ada sesuatu yang jauh lebih penting: konsep. Ya, apa yang ingin ia gambarkan, dan bagaimana cara ia menghadirkan eksekusi pada penggambaran tadi, dua hal dasar yang sangat penting. Hal tersebut yang tidak hadir dalam kapasitas yang kuat pada film ini, seolah terombang-ambing dalam rasa bingung, Vampire Academy, a movie who doesn't know what she wanna be. Frankly to say, they suck from beginning.    

Lissa Dragomir (Lucy Fry), seorang vampire berdarah murni, harus menerima sebuah tragedi kelam ketika seluruh keluarganya tewas pada sebuah kecelakaan. Setelah peristiwa tersebut, sahabatnya Rose Hathaway (Zoey Deutch), wanita berusia 17 tahun yang merupakan salah satu bagian dari kaum dhampir (setengah vampire, setengah manusia), berupaya untuk membawanya keluar dari St. Vladimir's Academy. Alasannya sederhana, karena Rose mulai merasa ada sesuatu yang dapat mengancam nyawa mereka. Sayangnya meskipun berhasil, dua sekawan ini harus kembali dengan terpaksa.

Mereka tertangkap, dan harus kembali ke sekolah yang dibangun untuk menjaga perdamaian itu. Semua yang mereka temukan masih sama, yang kemudian menjadikan Lissa  melakukan sebuah upaya yang memberikannya popularitas dalam waktu singkat. Celakanya salah satu dari hal lama yang masih eksis tersebut adalah ancaman yang dahulu pernah mereka rasakan. Rose sadar akan hal itu terlebih pada atensi terhadap kaum Strigoi, dan bersama dengan Dimitri Belikov (Danila Kozlovsky) ia mulai menyusun rencana untuk melindungi Lissa dari bahaya.


Sebenarnya sebuah kalimat Mean Girls pada poster yang menarik perhatian saya pada film ini, sosok bernama Mark Waters yang kali ini berkolaborasi bersama saudaranya Daniel Waters yang menangani naskah. Saya tidak membaca novel karya Richelle Mead yang menjadi pondasi utama, novel yang berhasil meraih status bestseller dan ternyata bahkan punya lima penerus yang telah siap menanti. Ya, telah siap menanti, karena pada dasarnya film-film dengan tema young adult yang muncul pada periode sekarang ini sudah pasti telah mengusung ambisi untuk meraih tampuk kekuasaan setelah ditinggalkan Harry Potter dan Twilight, dan telah masuknya The Hunger Games ke paruh akhir. Vampire Academy mengusung misi tersebut, tapi sayangnya juga memberikan boomerang dengan dampak destruktif sangat besar.

Sangat mudah untuk melihat betapa Mark Waters dan Daniel Waters berupaya begitu keras agar Vampire Academy dapat menjadi sebuah pembuka series dengan cita rasa yang megah. Sebagai penonton kita seperti dipaksa untuk tertarik pada cerita dan karakter, menggunakan formula berbagai pengulangan seperti dialog sok asyik, humor-humor datar dan canggung, hingga adegan romansa yang chessy dan cenderung konyol. Tidak perlu waktu lama untuk memperoleh kejutan dari film ini, karena sejak awal kita sudah dihadirkan sebuah kesulitan untuk menemukan elemen mana yang bekerja dengan baik dari Vampire Academy. Ya, mungkin karena sejak awal telah menilai ini sebagai pembuka sebuah series baru, menilainya dengan serius, tapi justru hanya mendapatkan parodi dalam kemasan murah.

Benar, parodi, itu mengapa dibagian awal saya menyebutkan Vampire Academy adalah film yang tidak tahu ingin menjadi seperti apa karena materi yang ia tawarkan tidak lebih dari kombinasi berbagai bagian dari film young adult yang sudah pernah eksis. Dua pertama tadi terasa sangat kental, lantas ada nafas Mean Girls dan sentuhan Buffy the Vampire Slayer didalamnya, mereka kemudian di mix tanpa disertai ciri khas baru. Celakanya hasil yang diperoleh tidak manis, anda bayangkan ketika pahit, asam, dan asin hadir secara bersamaan, sebuah bentrokan yang tentu saja tidak dapat memberikan rasa nikmat. Itu yang dihadirkan oleh Vampire Academy, terlebih pada sisi cerita yang ketimbang terlihat keren dengan gaya serius justru tampak konyol dengan berbagai celah yang ia tinggalkan.

Dapat dikatakan bagian ini yang paling menyiksa jika dibandingkan dengan tingkah-tingkah menjengkelkan dari karakter yang beberapa diantaranya masih mampu memberikan sedikit unsur fun. Disini sangat terlihat bahwa Vampire Academy merupakan service bagi mereka yang telah membaca bukunya, dalam alur yang berantakan ia menghadirkan berbagai subplot yang dirangkai dengan sangat kasar. Cerita dan karakter tidak berkembang sekalipun ia telah menjejalkan backstory dengan berbagai referensi, mereka dikemas dalam cakupan yang sangat luas, tidak ada kedalaman yang sebenarnya dapat menjadi jalan untuk mendekatkan penonton pada cerita dan karakter. Sangat terkesan menggurui, memaksa penonton untuk paham setiap materi yang ia lempar, bergerak sesuka hati tanpa rasa peduli.

Ini yang menjengkelkan, kita seperti diajarkan sebuah sejarah yang tidak dikemas dengan menarik di tengah hutan belantara dalam gelapnya malam. Ketimbang berupaya untuk memperoleh pencapaian yang kokoh pada daya tarik di sektor cerita dan karakter, Mark Waters dan Daniel Waters lebih fokus untuk mencapai kesuksesan dengan membentuk semua konten yang dimiliki, tidak peduli sekalipun ia tampil kaku, bahkan di beberapa bagian seperti dikebut tanpa memberikan penjelasan yang mumpuni dari kerumitan yang ia ciptakan. Pada akhirnya seperti tidak ada alasan yang kuat dari semua yang karakter lakukan, bahkan Rose Hathaway juga merasa bingung dengan apa yang ia lakukan, satu-satunya karakter yang mampu tampil menarik berkat kemampuan Zoey Deutch yang tampil lincah dan cukup lucu.


Overall, Vampire Academy adalah film yang tidak memuaskan. Just take it as a parody, karena dengan mengesampingkan materi-materi serius yang ia lemparkan mungkin dapat sedikit meningkatkan nilai yang ia punya karena ada beberapa unsur fun dibalik kekacauan yang ia hadirkan, dari konsep yang tidak kuat hingga script yang lemah. Sangat membingungkan untuk menjabarkan konklusi dari penilaian pada film ini, mungkin tagline yang ia usung sudah cukup mewakili, they suck.



5 comments :

  1. 4 kegedean cuy. 3,5 lah. Gatau apa maksud dari filmnya ini. Namanya akademi pasti tempat ngelatih bakat2 kan. Itu pikiran pertama sebelum masuk bioskop. Pas udah nonton. 'Ini apaan'. Kalo bukan karena niat pengen ngelahap abis semua film di 2014, gakan kayanya sampai kelar itu nonton. *Sigh

    ReplyDelete
    Replies
    1. VA ini mungkin salah satu yang terkena dampak sistem "waktu tonton" kali ya. Ini saya tonton setelah Endless Love & I, Frankenstein, dan VA masih lebih baik, jadi ya ngak layak sejajar, masih ada fun minim di beberapa bagian. Lagipula tipis kok, kalau score nya 5 mungkin baru ngak benar. :)

      Delete
  2. Menurut saya vampire academy bagus kok kak ceritanya terkesan cepat dan romance nya tetap ada walaupun ringan. Saya pertama nonton film nya dulu baru novelnya. Jadinya novel itu udah saya baca sampai 2 kali karena bagus banget. 10 kaakk perf banget

    ReplyDelete
  3. ada academy vampir yg ke 2 nggak?

    ReplyDelete
  4. Aku blm nntn sih tp aku suka sama novelnya. Aku udh baca sampe novel ke 4. Novel ke 5 dan 6 blm ada terjemahannya. Walau gitu aku msh tetap suka ngikutin cerita VA. :)

    ReplyDelete