05 November 2013

Movie Review: Very Ordinary Couple (2013)


"Even divorced people get remarried."

Saya tersenyum miris ketika sedang berada di sebuah tempat perbelanjaan dan berjalan tepat dibelakang sepasang kekasih muda yang sepertinya sedang kasmaran tingkat tinggi. Mereka berbincang, dan si pria mungkin mencoba untuk memikat wanitanya dan tiba-tiba berbicara dengan nada setengah berteriak, yang kemudian menjadikan kami di baris belakang mendengar kalimat pusaka miliknya, “All you need is love.” Oh my, lol for him. Very Ordinary Couple (Yeonaeui Wondo), sebuah rom-com bernada gelap, adalah representasi dari situasi tadi, dengan pertanyaan dimana tidak peduli seberapa besar usaha yang diberikan, apakah sebuah relationship akan bertahan lama hanya dengan murni mengandalkan kekuatan cinta?

Jang Young (Kim Min-Hee) dan Lee Dong-Hee (Lee Min-Ki), bekerja sebagai karyawan di sebuah bank yang sama, menjalani rutinitas yang juga sama tiap harinya, meja mereka tidak terpisah sampai puluhan langkah, dapat saling melihat dan tersenyum satu sama lain. Namun sebuah aturan melarang sesama karyawan untuk menjalin hubungan asmara, sebuah aturan yang justru dilanggar oleh Young dan Dong-Hee. Mereka sudah berpacaran selama tiga tahun, dan hanya rekan mereka bernama Park (Kim Gang-Hyun) yang tahu tentang rahasia tersebut.   

Tapi suatu ketika mereka memutuskan berpisah, dan dengan penuh percaya diri percaya bahwa masalah tersebut tidak akan berpengaruh besar pada pekerjaan mereka. Namun berawal dari tawaran dari manager Son (Ra Mi-Ran) untuk memperkenalkan Young pada seorang pria, Dong-Hee mulai sadar bahwa ada sesuatu yang tertinggal dan belum selesai dari hubungan tersebut. Begitu pula dengan Young, ketika ia mengetahui kehadiran seorang wanita muda yang lebih cantik darinya, Hyo-Sun (Ha Yeon-Soo), yang menjadi awal mula gesekan saling menjatuhkan. 


Peringatan dini yang harus anda ketahui bahwa Very Ordinary Couple bukanlah sebuah kisah romantis yang biasa. Dibalik poster manis yang ia tampilkan, formula standard yang familiar, sejak awal penulis sekaligus sutradara, Roh Deok, tampak tidak ingin menjadikan film debutnya ini mempermainkan emosi penontonnya dengan nada yang cerah. Ini justru terasa sebagai ironi dalam kisah cinta, menjadi penggambaran dari sebuah relationship yang sudah salah sejak awal karena tidak memiliki pondasi yang kokoh, namun juga sebuah hubungan yang mereka sebut cinta yang sesungguhnya karena dipenuhi perjuangan dan cobaan.

Ya, hal tersebut punya potensi mengecoh karena dibagian awal Very Ordinary Couple akan tampak seperti kemasan klasik dari komedi romantis pada umumnya, namun setelah itu ia berubah menjadi kisah yang jauh lebih gelap pada elemen cerita, penuh dengan pertengkaran yang intens, saling menikam dari belakang dengan menggunakan hal-hal dari masa lalu serta upaya untuk saling merusak potensi bagi masa depan, hingga terjerat pada memori lama seperti akun facebook serta obat medis. Terdengar konyol memang, namun yang menjadikan film ini menarik adalah ia mampu membangun fakta dengan cara yang berani, lembut, dan tampak nyata.

Tampak nyata, menyaksikan Very Ordinary Couple seperti masuk kedalam proses berdurasi 112 menit dimana anda akan mengamati dinamika cinta penuh ironi dari sepasang kekasih yang diakhir pertengkaran selalu lupa alasan yang menjadikan mereka bertengkar. Irama cerita yang mengalir dengan manis dan terasa pas itu menjadikan emosi yang ditampilkan dua karakter utama tidak pernah terkesan dipaksakan, baik itu dalam konflik yang gelap maupun terang. Namun disisi lain film ini juga berhasil menyentil beberapa hal yang belakangan ini mulai menjadi hal yang umum, rasa percaya satu sama lain yang kelewat tinggi, dari sandi akun facebook, hingga membuat kontrak telepon seluler bersama.


Cukup kagum dengan cara dari Roh Deok mengkombinasi tiap ide yang ia punya, mereka berhasil terlihat walaupun hanya punya porsi singkat, namun mereka jauh dari kesan menggurui apalagi mencuri atensi penontonnya dari konflik utama. Disini anda akan mendapatkan bagaimana hubungan yang sangat lemah dalam menerapkan komitmen, kurangnya komunikasi dan saling kompromi, hingga rasa takut akan melakukan kesalahan yang sama. Isu-isu yang serius tadi dibentuk dengan cermat bersama sentuhan komedi yang walaupun tidak akan mencapai ekpektasi yang diharapkan tetap mampu mewarnai cerita dan menjauhkannya dari situasi membosankan.

Namun ada sedikit nilai minus pada unsur dokumenter yang ia terapkan (yang tidak akan saya bahas). Jika anda mampu mengesampingkan sentuhan dokumenter yang ia punya, elemen yang berpotensi menghadirkan sedikit rasa aneh, kemudian menaruh fokus pada konflik utama mengenai up and down dari sebuah relationship beserta berbagai materi yang sesungguhnya sangat familiar itu, maka Very Ordinary Couple akan mampu membuat anda terpikat, karena ia tampil cermat, hingga akhir, kehadiran roller coaster sebagai sarana refleksi, serta lotre dan memilih makanan di bagian akhir itu yang berhasil menutup petualangan ini dengan pertanyaan antara 3% atau 97%, dan mungkin dengan senyuman.

Kekuatan lain dari Very Ordinary Couple terletak pada dua pemeran utamanya, berhasil membentuk materi klasik yang berpotensi tampil standard itu menjadi kombinasi yang manis. Lee Min-Ki berhasil tampil lucu dan serius lewat perawakan arogan yang yang kadang membuat anda jengkel namun juga menaruh simpati. Begitupula dengan Kim Min-Hee, menampilkan beban batin yang memikat, terasa nyata dalam ekpresi benci, marah, hingga cemburu. Keduanya punya chemistry yang baik, namun seperti judul yang mereka usung tidak membentuk karakter mereka terlalu jauh dan berlebihan.


Overall, Very Ordinary Couple (Yeonaeui Wondo) adalah film yang memuaskan. Ia memang tidak megah, namun Very Ordinary Couple seperti sajian penuh motivasi bertemakan cinta yang diolah dengan implisit. Lucu, pintar, menyentuh dan punya chilling moment yang memikat, mengasyikkan dengan nada gelap, ini membuktikan bahwa sebuah relationship tidak akan pernah bertahan lama hanya dengan murni mengandalkan kekuatan cinta, karena cinta ibarat sebuah ragi, anda bisa mengolahnya menjadi sebuah roti standard, atau menjadi sebuah pizza yang nikmat, hanya dengan cara yang sederhana, belajar.



4 comments :

  1. setelah hampir 2 minggu ngk DL film sama sekali, akhirnya ada yg menarik juga :) tp syg pemainnya krg terkenal :( & kyknya ini tipikal romance2 tragis*sotoy
    thanks min :-*

    ReplyDelete
    Replies
    1. Drama relationship penuh ironi lebih tepatnya. Thanks. :)

      Delete
  2. Saya agak bingung dgn endingnya.. yang mereka berjalan utk makan bersama.. apa dimaksudkan dgn happy ending mreka bersama? Atau bkn happy ending dan tdk akan berpacaran lg?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Memang sengaja dibuat ambigu, jadi ironi dari cinta itu tetap kuat bahkan setelah selesai, dan kamu dibiarkan memilih dari dua opsi yang imo sama-sama baik, mau di sisi 97%, atau justru ingin mereka mencoba lagi seperti lotere yang juga dibahas diakhir dan menukar posisi 3% menjadi 97%. Even divorced people get remarried. :)

      Delete