05 October 2013

Movie Review: Violet & Daisy (2013)


Coba anda perhatikan poster di atas, dua wanita dalam usia yang belum begitu dewasa, memiliki paras yang manis, menggenggam permen lollipop dengan warna merah kontras yang mungkin menjadi perumpamaan dari jiwa mereka yang ceria. Benar, mereka ceria, namun yang menjadi fokus utama ternyata adalah latar gelap yang berada di belakang mereka, sebuah kehidupan kelam dari dua gadis muda yang terjerat tindakan kriminal. Violet & Daisy, ketika crime, action, comedy, dan drama mencoba untuk bersekutu dalam sebuah dunia fantasi.

Violet (Alexis Bledel) dan Daisy (Saoirse Ronan), berhasil melakukan tugas mereka untuk menyelamatkan nyawa seorang pria dengan melakukan penyamaran dan masuk kedalam markas para penjahat. Ya, mereka masuk, dan aksi penuh keberanian itu sudah cukup menjelaskan bagaimana kehebatan dua sahabat ini dalam melakukan pekerjaan yang justru tampak seperti sebuah arena bersenang-senang bagi mereka. Namun setelah tugas tersebut ternyata Violet & Daisy memutuskan untuk berhenti sementara dan kemudian memilih berlibur.

Sebuah belokan terjadi, bermula dari "Barbie Sunday", majalah yang menjadi sumber kegilaan yang membuat Violet dan Daisy jatuh cinta pada sebuah gaun. Sayangnya dana mereka terbatas, dan terpaksa kembali menemui Russ (Danny Trejo), orang yang memberikan mereka pekerjaan. Tapi ternyata korban mereka yang berikutnya itu tidak semudah biasanya, dari terjebak permasalahan batin yang menggoyahkan, hingga fakta bahwa sosok Michael (James Gandolfini), pria yang sedang punya permasalahan dengan putrinya, ternyata tidak takut untuk mati.


Violet & Daisy dapat dikatakan sebagai sebuah upaya hit and miss dari Geoffrey S. Fletcher, yang tiga tahun lalu meraih Oscar lewat screenplay adaptasi pada film Precious. Fletcher dengan berani mengambil resiko, memutuskan untuk bermain di dua warna cerita, hitam dan putih, ia menghadirkan dua gadis lucu dan imut dari tampilan luar, namun kemudian memberikan mereka tugas yang berkaitan dengan dunia kriminal. Tapi anehnya hal tersebut justru berhasil dan menjadikan Violet & Daisy berhasil mencuri perhatian di bagian awal, seperti menjanjikan sebuah petualangan di dunia fantasi penuh warna dengan suguhan kisah manis dan pahit yang potensial.

Ya, cukup sulit untuk tidak jatuh hati pada karakter dengan sifat kontras, manis namun bertindak brutal, menembaki musuh layaknya sedang beraksi di permainan simulasi, sampai melakukan penyamaran dengan hal-hal unik dari pizza hingga sepeda roda tiga. Itu belum menghitung banyak plot lucu yang dihadirkan oleh Fletcher untuk memberikan arena show-off bagi dua tokoh utama, namun tanpa melupakan keputusan awalnya tadi. Dari black comedy yang ringan, anjing hitam yang bernama whitey, bermain patty cake, berseluncur di atas darah, hingga hal ekstrim yang berkaitan dengan pendarahan internal dan mandi, ringan dan menyenangkan, memang sedikit childish, sayangnya juga menjadi batas dari nilai positif yang dimiliki Violet & Daisy.

Ada satu hal yang saya antisipasi sejak awal, film ini akan masuk ke dalam lubang yang menjerat mati sebuah film korea berjudul Jackal Is Coming. Mereka punya konsep yang sama, bermain dalam satu ruang, eksekutor yang hendak menjalankan tugasnya, namun kemudian terjebak dalam konflik personal dengan korbannya. Jackal Is Coming mati dibagian tengah, dan Violet & Daisy juga mengalami hal tersebut, cerita mulai bergerak berputar seperti berada didalam sebuah labirin sederhana dan hendak mencari jalan keluar, mencoba melakukan pergeseran tema yang justru menjadikan ia kehilangan irama cerita. 

Menyaksikan Violet & Daisy seperti mengamati penjelasan dari sepuluh bab yang bukannya menjadi satu kesatuan utuh dan kuat namun mayoritas terlihat berdiri sendiri. Maksud yang ia ingin sampaikan dari tiap bagian itu sederhana, konflik batin, coming-of-age, ada pula sedikit sentuhan persahabatan, hingga dua tokoh yang menemukan hal yang selama ini tidak ia peroleh dari diri satu sama lain. Tapi Geoffrey S. Fletcher berupaya mengganti fokusnya pada drama emosional, ia bentuk dengan sederhana dan mudah dimengerti, namun justru di sisi lain menghadirkan sebuah kesulitan bagi penonton untuk tetap menilai mereka masih stabil, karena walaupun tidak mati namun misi utama seperti tidak memiliki sebuah kepastian.

Sederhananya anda akan diberikan konflik A oleh Violet & Daisy, kemudian masuk ke dalam konflik baru yang didalamnya kemudian menghadirkan beberapa konflik baru lagi dalam skala lebih kecil, yang walaupun berhasil menjalankan tugasnya namun tidak mampu tampil sama menariknya dengan bagian pembuka. Ya, bahkan performa yang mumpuni dari Saoirse Ronan dengan konflik batin yang menawan, Gandolfini sebagai objek penguat konflik personal, serta Bledel sebagai sosok yang menjadi variabel pembanding masih tidak mampu menciptakan stabilitas daya tarik karena mereka tidak dituntun dengan maksimal, tidak diberikan sebuah jalur yang kuat untuk bergerak.


Overall, Violet & Daisy adalah film yang cukup memuaskan. Di awal anda seperti dijanjikan sebuah tontonan perpaduan antara Tarantino dan Wes Anderson, kontras dan cantik, namun sebuah pergeseran fokus menjadikan ia terjebak. Ini tidak hancur sejujurnya, namun masalahnya Geoffrey S. Fletcher tahu bahwa konflik utama yang ia angkat tidak sekuat apa yang pernah ia miliki di Precious, tapi ia justru membentuk tema disfungsional yang sederhana dan sempit itu kedalam satu ruang bermain yang sama sederhana dan sempitnya, dan berakhir dengan kehilangan irama dan daya tarik, meskipun masih terselamatkan oleh black comedy yang beberapa masih bekerja cukup baik. Boomerang.



4 comments :

  1. min request review romeo & juliet 2013 please.....*rilis 11 oktober nnt
    douglas booth (´ε` )♡ ♥(ノ´∀`)

    ReplyDelete
  2. Nice review. kadang setuju kadang tidak tp banyakan yg setujunya. Good job.

    ReplyDelete