10 October 2013

Movie Review: Prisoners (2013)


"Pray for the best, prepare for the worst."

Segala sesuatu yang sudah masuk ke lingkup emosi punya potensi yang cukup besar untuk berakhir pada titik terdalam atau tertinggi, baik atau buruk, bahagia ataupun hancur. Titik terlemah dari setiap manusia mayoritas berkaitan dengan emosi, mampu menjadikan mereka lepas kontrol hingga kehilangan rasa peduli. Prisoners, thriller investigasi dengan beberapa plot yang cerdas, psikologis yang obsesif, aksi prosedural yang tidak berhasil meraih potensi tertinggi.

Keller Dover (Hugh Jackman), pria tangguh yang selalu antisipatif dalam segala hal, bersama dengan istrinya Grace Dover (Maria Bello) dan kedua anak mereka, Ralph (Dylan Minnette) serta si mungil Anna (Erin Gerasimovich) memutuskan untuk merayakan hari Thanksgiving di rumah tetangga karib mereka, Franklin Birch (Terrence Howard) dan Nancy (Viola Davis), agar kedua anak mereka dapat bermain dengan sahabatnya, Ralph dengan Eliza Birch (Zoe Borde), dan Anna bersama Joy Birch (Kyla Drew Simmons). Tapi momen yang seharusnya menjadi acara berkumpul yang menyenangkan itu mendadak berubah menjadi malapetaka.

Empat anak tadi berjalan di sekitar rumah yang sedang dingin, kemudian menemukan sebuah mobil RV yang terparkir mencurigakan milik seorang pria bernama Alex Jones (Paul Dano). Celakanya, momen tersebut menjadi saat terakhir bagi Ralph dan Eliza melihat kedua adik mereka, karena setelah itu Anna dan Joy menghilang. Tidak puas dengan kinerja Detektif David Wayne Loki (Jake Gyllenhaal) yang ia anggap bekerja lambat, Keller memutuskan bergerak sendiri, dalam kepanikan yang kemudian berubah menjadi tekanan besar, yang akhirnya kembali bertransformasi dalam bentuk rasa putus asa.


Ketika melangkah keluar studio satu pertanyaan muncul, sejak awal saya tidak tahu berapa durasi film ini, dan terkejut ketika tahu film ini baru saja berjalan selama 153 menit. Ya, terkejut, karena dua jam lebih itu terasa singkat berkat kemampuan Denis Villeneuve memenjarakan anda dalam cerita. Benar, sama seperti judulnya, Prisoners punya kemampuan yang begitu kuat untuk menahan anda dalam sebuah kasus penculikan dengan thrill naik dan turun dalam interval yang tidak begitu besar, terus bergerak dengan penuh misteri, sebuah kekacauan yang dikemas dengan rapi. Tidak perlu melibatkan Mystic River, Zodiac, hingga Silence of the Lambs, Prisoners bergerak di jalur yang sama dengan Incendies, tapi sayangnya hanya setingkat dibawah dalam hal kualitas.

Salah satu kelebihan yang menyelamatkan Prisoners dari kemungkinan berakhir menjadi sebuah thriller standard adalah kemampuan Denis Villeneuve menyusun cerita dengan sangat rapi, yang juga anehnya dibalik gerak lambat yang ia hadirkan itu akan mampu membuat anda terus sabar menanti. Itu belum menghitung bantuan dari cinematography garapan Roger Deakins dengan komposisi gambar yang tidak kalah rapi, teratur dalam menciptakan beberapa ketegangan dibalik dingin dan suramnya kota Pennsylvania dalam cerita. Nah, hal tersebut pula yang mungkin menjadi penyebab banyak penonton kemudian terjerat, seperti terbawa arus, dan akhirnya tidak begitu mempersoalkan cerita yang sebenarnya sedikit berbelit-belit dalam gerak mondar-mandir itu.

Fokus yang ia miliki sederhana atau mungkin dapat dikatakan sempit, dari penculikan, kemudian sedih, menjerat psikologi dengan kemungkinan ledakan, tapi materi itu dibangun terlalu gemuk oleh Aaron Guzikowski. Ini memang sebuah labirin yang menarik, tidak ada plot yang terbuang percuma, terus membuat anda mencoba menebak, namun keputusannya untuk sedikit mengulur waktu dalam gerak lambat yang mungkin sebagai upaya untuk membuat cerita semakin kompleks atau menjadikan anda semakin terhanyut itu kemudian merusak. Sederhana, banyak petak dalam labirin cerita, terjerat, tekanan berkurang, tidak hadir desakan untuk segera, ya, segera menemukan korban, dan berakhir pada daya cengkeram cerita yang jatuh.

Ya, mungkin durasinya sendiri yang dikemas cukup panjang itu merupakan upaya untuk membangun secara bertahap kehancuran emosional, berhasil, namun memberikan dampak negatif. Anda akan mengerti bahwa permainan berbelit-belit yang ia pakai itu sebagai jalan untuk membawa anda menuju bagian penutup yang tidak dapat dipungkiri berhasil tampil memikat, namun cukup sulit untuk merasakan cengkeraman dari kasus utama di pertengahan  cerita, secara stabil. Rasa putus asa tidak kuat, konflik internal batin juga kurang mampu hadir untuk mencuri perhatian, anda justru akan mulai merasakan hal lain yang karakter rasakan, mulai sedikit lelah dalam aksi menebak yang tidak dibuka dengan lebar itu.

Betul, sedikit tertutup dan kurang mampu menaruh penonton untuk ikut serta dalam cerita, Prisoners memilih bermain pada sebuah ekplorasi dari kehancuran yang gelap bernuansa muram, hal yang akhirnya menjadikan ending yang sebenarnya merupakan salah satu dari tipe favorit saya itu tidak begitu berhasil menutup kisah panjang ini di titik tertinggi. Ya, padahal ia berhasil menggambarkan dengan sangat sangat baik bagaimana dibalik tubuh atau mungkin perawakan yang kokoh dan perkasa sekalipun setiap manusia pasti punya sisi emosional yang lemah, bagian yang dengan sedikit tekanan dapat merubah seseorang berbalik 180 derajat, dari puppy yang jinak menjadi sesosok serigala buas yang menakutkan dan bergerak liar tanpa peduli semua yang ada disekitarnya.

Menghadirkan script tricky, adalah sesuatu yang tricky. Prisoners adalah contoh dari sebuah kemasan script manipulatif yang berhasil, ia rapi, namun sayangnya seiring berkurangnya kepadatan ia akibat kehadiran red herring yang cukup banyak dalam upaya mengalihkan masalah, perlahan nafasnya seperti mengendur dan hal serupa juga dialami oleh cerita yang mengalami beberapa minus minor. Fokus pada dua tokoh utama pria, dan dengan berani mengesampingkan pemeran pendukung lainnya, termasuk para istri, yang sesungguhnya dapat dipergunakan untuk lebih memperdalam konflik emosional, menjadikan ini semua tergantung pada Jackman dan Gyllenhaal, bahkan ketika mereka mulai menurun sekalipun tidak ada bantuan yang diberikan untuk menjadi cover dalam upaya mempertahankan daya tarik yang telah ia ciptakan dibagian awal.

Jackman mungkin bertindak sebagai pemeran utama, namun Jake Gyllenhaal adalah pencuri atensi, sebuah penawar yang manis dalam cerita, tokoh yang memadukan tato salib dengan cincin freemason, kemudian menerima beban dari banyak arah, yang dengan tindakan prosedurial berhasil membuka masuk jalan frustasi bagi tokoh utama. Jackman sendiri memainkan Keller layaknya perpaduan Jean Valjean yang sendu dengan Wolverine yang ganas, dan keduanya berkombinasi dengan baik. Ya, divisi akting sangat kuat, memberi nilai positif cukup besar, yang mungkin dapat semakin memuaskan andai saja Terrence Howard, Viola Davis, Maria Bello, hingga Mellissa Leo dapat memperoleh screentime yang sedikit saja lebih banyak karena peran mereka dalam cerita juga potensial.


Overall, Prisoners adalah sebuah film yang memuaskan. Sebuah misteri sederhana yang kemudian dijahit dengan rapi, menghasilkan sebuah tontonan berdurasi hampir dua setengah jam yang jauh dari kata membosankan. Sayangnya ada satu keputusan yang menjadikan ia masuk ke dalam kategori film misteri yang sulit untuk saya cintai, menawarkan misteri tanpa membuka jalan masuk bagi penontonnya untuk setidaknya bergerak lebih dekat pada harta karun yang ia sembunyikan. Jika anda suka dengan film yang hanya menyuapi anda dengan misteri serta menuntun tanpa melepaskan anda sepanjang ia berjalan, Prisoners adalah pilihan yang, sangat tepat.









1 comment :