25 September 2013

Movie Review: Much Ado About Nothing (2013)


“If I do not love her, I am a fool.”

Sebenarnya ini adalah sebuah film yang mengejutkan, bagaimana ketika sutradara yang telah berhasil menghantarkan The Avengers menuju tangga kesuksesan justru memilih untuk melanjutkan petualangannya dengan mencoba mengadaptasi salah satu karya William Shakespeare yang dikemas sangat sederhana, shooting di rumah pribadi miliknya di California hanya dalam kurun waktu 12 hari, dan kemudian dikemas dalam tone hitam-putih. Much Ado About Nothing, ini manis.

Setelah menyelesaikan urusan dengan saudaranya Don John (Sean Maher), Don Pedro (Reed Diamond) memutuskan untuk mengunjungi rumah sahabatnya Leonato (Clark Gregg), tempat dimana putrinya yang bernama Hero (Jillian Morgese) kemudian mulai terpikat pada upaya Claudio (Fran Kranz), perwira Don Pedro yang sejak awal ternyata sudah menaruh hati pada Hero. Atas upaya yang sederhana, mereka berdua memutuskan untuk menyelenggarakan pernikahan di taman belakang rumah Leonato, segera.
  
Disamping itu ternyata Pedro, Cladio, dan Leonato menaruh perhatian lain pada upaya untuk menjodohkan Benedick (Alexis Denisof), perwira yang membenci wanita dan berjanji tidak akan menikah, dengan keponakan Leonato yang bernama Beatrice (Amy Acker), yang celakanya juga membenci laki-laki. Celakanya melihat semua yang ia lakukan telah berjalan lancar menjadikan Pedro sedikit lengah, dimana tanpa ia sadari ada seseorang yang merasa kurang puas dan mencoba menghancurkan semua rencananya dengan sesuatu yang sederhana. 


Sebut saja ini sebagai side project yang rahasia dari seorang Joss Whedon sebagai upaya untuk mewujudkan salah satu yang mungkin menjadi impiannya, dimana ia bahkan sudah menyelesaikan proses shooting sebelum The Avengers masuk post-production. Yap, impresi awal saya bahkan menilai bahwa ini akan menjadi sebuah film amatir yang asal jadi, namun semakin jauh ia berjalan saya merasa bahwa penilaian awal tadi adalah sebuah tindakan yang bodoh. Pastinya anda tidak akan medapatkan apa yang The Great Gatsby berikan, namun Whedon membuktikan bahwa Buffy the Vampire Slayer, Firefly, Serenity, The Cabin in the Woods, dan Toy Story adalah beberapa karya yang berada didalam filmography miliknya.

Ini ditulis dengan baik. Tanpa melupakan nilai estetika, Whedon tetap memegang teguh batasan yang ia ciptakan dengan tidak mau bermain terlalu jauh dengan materi-materi yang punya potensi dapat merusak kenikmatan dari menyaksikan kisah teatrikal. Dialog yang ia tampilkan sangat kental nuansa klasik yang terasa terikat penuh dengan karya Shakespeare, beberapa terasa kaku namun berhasil dimodifikasi dengan cermat sehingga memberikan style modern tanpa melunturkan keanggunan masyarakat zaman dahulu. Ada bahasa Bard dengan penggunaan “My Lord” dan “Signior” yang frequently, berkombinasi dengan DSLR, tuxedo, hingga ipod.

Benar, itu sangat kental, dan sama seperti apa yang dialami oleh Coriolanus pada awalnya akan cukup sulit bagi penonton untuk mengkombinasikan materi-materi zaman dahulu tersebut yang terasa canggung dengan latar zaman modern. Namun apa yang menjadikan Much Ado About Nothing berhasil meraih atensi adalah Whedon tahu memainkan tempo sehingga tidak pernah gagal memanfaatkan tiap momentum untuk menarik keatas daya tarik cerita. Diawal ia sedikit monoton, namun secara bertahap ia mampu menghadirkan situasi teatrikal yang ringan dan menarik, dari drama, komedi, hingga romance, empuk.

Yap, drama yang ia miliki memang tidak begitu solid tapi masih berada dalam level aman, dan itu tidak dialami oleh komedi. Tawa skala besar memang minim, slapstick juga banyak yang terkesan dipaksa, tapi saya suka bagaimana ia berhasil menghadirkan senyuman lewat dialog sederhana yang tajam dengan tingkah-tingkah klasik seperti jatuh dari tangga, kerap kali menjadi pencair dari situasi canggung. Kekonyolan dan situasi serius berhasil ia seimbangkan dan tidak saling membunuh, menjadikan romantisme yang terasa canggung lewat dialog-dialog yang seperti membaca pada awalnya itu perlahan mulai menemukan nafas dan terasa hidup hingga akhir.

Dari divisi akting Amy Acker dan Alexis Denisof adalah penampil terbaik. Chemistry mereka kuat dalam bermain tarik ulur, hitam dan putih karakter yang dibentuk dengan solid sehingga berhasil memancarkan pesona dari kisah mereka. Fran Kranz adalah titik lemah, dan menyebabkan tidak ada gejolak yang menarik dari kisah asmara dirinya dengan Jillian Morgese. Pemeran lain bermain standar sesuai kapasitas yang mereka miliki, namun scene stealer menjadi milik Nathan Fillion yang berperan sebagai polisi bernama Dogberry.


Overall, Much Ado About Nothing adalah film yang memuaskan. Dua pasangan mencoba untuk menemukan cinta dalam sebuah kemasan yang menarik, cerdas, seimbang, santai dan ringan, namun tetap fokus pada inti yang ia miliki walaupun bermain-bermain dengan banyak karakter lewat visual yang menarik. Much Ado About Nothing berhasil menjadi sebuah dongeng romantis dalam sentuhan post-modern yang sederhana, mungkin segmented, tidak megah, tidak spesial, namun memuaskan. Well done, Joss Whedon.



3 comments :

  1. waaa udah nunggu lama film ini!! udah ada torrentnya ya? >.<

    ReplyDelete
  2. @Akbar Saputra: baru kemarin Bar, efek Agents of Shield kali ya. :)

    ReplyDelete
  3. udah lama lihat film ini tp ngk pernah di DL...setelah baca reviewnya kepo juga :)

    ReplyDelete