28 August 2013

Movie Review: The Mortal Instruments: City of Bones (2013)


“Well if I'm not a human then what am I?”

Momen itu masih ada, ruang kosong yang punya potensi besar untuk di eksplorasi, situasi dimana jutaan penggemar Harry Potter dan Twilight mulai mencoba move on dari karakter yang mereka "cintai", dan mulai mencari tokoh baru yang layak untuk mendapatkan cinta mereka. Yap, layak, karena tidak perduli seberapa terkenal novel tersebut, mentransfer ratusan lembar menjadi sajian berdurasi dua jam merupakan tugas yang tidak mudah. The Mortal Instruments: City of Bones, torture movie, tidak mengecewakan, super boring.

Clary Fray (Lily Collins), mulai mengalami hal aneh ketika ia dapat melihat sebuah simbol yang intensitas kehadirannya mulai meningkat, namun celakanya turut merubah perilaku Clary, dan mengundang atensi dari ibunya Jocelyn Fray (Lena Headey), serta sahabat ibunya, Luke Garroway (Aidan Turner). Ternyata simbol tersebut membawa Clary masuk kedalam fakta yang sesungguhnya tentang dirinya, menjadikan ia memperoleh akses masuk kedalam sebuah klub malam bersama teman prianya, Simon Lewis (Robert Sheehan), tempat yang ia gemparkan ketika melihat Jace Wayland (Jamie Campbell Bower) beraksi.

Kala itu Jace, bersama dua temannya, Alec Lightwood (Kevin Zegers) dan Isabelle Lightwood (Jemima West), sedang membunuh seorang pria, namun anehnya tidak memperoleh respon dari keramaian yang ada, menjadikan teriakan Clary menjadi sebuah kejutan bagi mereka, dan ketika diculik oleh Emil Pangborn (Kevin Durand) mengingatkan Clary tentang Valentine Morgenstern (Jonathan Rhys Meyers), pria yang menculik ibunya. Demi menyelamatkan ibunya Clary terpaksa bergabung dengan Shadowhunters, dibawah pimpinan Hodge Starkweather (Jared Harris), namun ternyata menjadi sosok terpilih yang menjadi kunci pertarungan dunia lain dibawah New York yang disebut Downworld.


Sebagai peringatan awal, anda mungkin akan banyak menemukan nafas Twilight dan Harry Potter dalam film ini, karena apa, karena The Mortal Instruments: City of Bones dengan sangat jelas dan mudah akan tampak seperti kemasan baru yang berisikan perpaduan dua film tadi, kisah cinta segitiga yang dibalut dengan sebuah petualangan dalam upaya mencari sesuatu yang hilang. Yap, sejak awal MI:CB memang sudah tampak tidak meyakinkan, berpusat pada prediksi banyak pihak yang menganggap film ini akan menjadi another failure dari upaya Hollywood menjejalkan adaptasi kisah fantasi remaja baru untuk mengisi kekosongan di genre ini yang masih belum menemukan sosok kuat baru yang sulit tertandingi.

Tidak perlu pertimbangan yang rumit untuk mengatakan "gagal" kepada film ini. Tapi pertanyaannya apakah film ini sekacau itu? Apakah ia memang secara total tidak punya potensi sama sekali? Sebenarnya tidak. Di 20 menit pertama, mungkin hingga setengah jam dari durasinya yang panjang itu, MI:CB masih berada di zona yang forgiveable. Karakter masih berupaya memperkenalkan dirinya, membangun konflik bersama misteri yang sebenarnya masih menarik di tahapan tersebut, menghasilkan permainan alur cerita yang masih aman. Celakanya, layaknya mengendarai roller coaster, anda secara mengejutkan akan dibawa turun dengan kecepatan yang sangat cepat, tanpa dibarengi lagi kehadiran jalur mendaki, datar, sedikit turun, dan seterusnya.

Ya, ini adalah film yang membosankan, hambar, datar, diolah dengan cara yang bodoh. Cassandra Clare pasti akan merasakan sebuah kesedihan yang sangat mendalam ketika mendapati novel City of Bones miliknya diterjemahkan dengan cara yang tampak asal-asalan. Ini seperti film yang bergerak tanpa naskah, dimana para aktor hanya di bekali kerangka kasar dari petualangan konyol yang akan mereka bangun. Ditaburi dialog-dialog yang jauh dari kesan berkualitas, Jessica Postigo Paquette menyusun sebuah alur cerita yang tersesat di jalur lurus, mondar-mandir dan berbelit-belit dengan materi yang punya impact kurang penting, tampak seperti berupaya untuk membangun kompleksitas dari mitologi yang ia punya, namun justru lebih terlihat sebagai usaha untuk mengulur waktu agar memiliki durasi panjang dan terlihat sebagai sebuah film yang megah.


The Mortal Instruments: City of Bones adalah film yang berupaya sangat keras untuk dapat terlihat megah. Tidak dapat menyalahkan Harald Zwart ketika materi yang ia tawarkan banyak memiliki referensi pada Harry Potter, namun kedangkalan yang ia ciptakan pada identitas yang dimiliki oleh film ini tidak dapat dimaafkan. Kurang begitu paham dengan cara Zwart membangun materi yang ia miliki, memasukkan manusia serigala, vampire, hingga penyihir kedalam Underworld, menggunakan formula paling klise di genre ini, apakah ia sudah kehabisan kreatifitas, atau sebegitu rendahkan ia memandang kualitas para remaja saat ini dengan anggapan mereka akan dengan mudahnya mencintai sajian konyol dan rapuh yang ia tawarkan.

Sejak awal The Mortal Instruments: City of Bones sudah rapuh, menumpuk banyak plot tipis tanpa menyuntikkan informasi yang kuat didalamnya, membiarkan plot terbuka dengan menghadirkan pertanyaan tanpa membuka jalan untuk hadirnya sebuah jawaban, bergerak absurd dan bingung, tidak fokus, dan ketika ia mulai stuck anda akan merasakan sebuah kesulitan untuk menaruh atensi pada cerita. Ya, pada cerita saja sudah sulit, apalagi pada karakter yang tidak berkembang, tidak menunjukkan motivasi dan juga ancaman dari masalah yang mereka hadapi, datar, sama datarnya dengan unsur pemanis dalam bentuk komedi dan romance yang kaku dan berakhir awkward.

Lantas apa sisi menarik yang ditawarkan film ini? Kasar memang, namun jawabnya adalah tidak ada. Visual efek? Hanya permainan unik bersama air di Portal Institute yang benar-benar menarik, selebihnya tidak ada yang memikat. Harapan lain pada sebuah kisah cinta segitiga juga tidak berhasil mencapai ekspektasi. I love Lily Collins, tapi sorry aktingnya sangat tidak impresif sebagai Clary. Begitupula pada chemistry yang dibangun dengan Jamie Campbell Bower (yang lebih sering terlihat sebagai model yang tersesat, mentah). Yang menarik justru satu hal yang mungkin akan teringat dengan mudah ketika film berakhir, sebuah jalinan terlarang yang mengejutkan.


Overall, The Mortal Instruments: City of Bones adalah film yang tidak memuaskan. Kembali ke paragraf awal, ini jelas bukan film yang mengecewakan karena ekspektasi awal yang sudah begitu rendah. Yap, torture movie, menyiksa dengan perpaduan materi membosankan dan durasi yang panjang. Film ini sangat layak dijadikan pilihan jika anda jenuh dengan film-film berkualitas, seperti yang pernah saya sebutkan sebelumnya sebagai secangkir teh agar anda mengingat betapa nikmatnya sebuah wiski. Bergabung dengan Beautiful Creatures, Percy Jackson, dan jika menarik sedikit kebelakang ada I Am Number Four, semakin menambah panjang rasa penasaran bagaimana cara Hollywood membangun film young-adult agar tidak berakhir mengecewakan. That means, The Hunger Games is awesome.




5 comments :

  1. wah...kacau ya filmnya padahal novelnya bagus :( kalo film pertama udah kayak gini gmn seri yg lain :(

    ReplyDelete
  2. @katy secret: iya, padahal meskipun ngak semegah Harry Potter novelnya masih menarik bagi saya, tapi filmnya, kacau. :)

    ReplyDelete
  3. Tapi apa ada kemungkinan segi pandang orang yg dengan sekilas menyimpulkan film ini layak diacungi jempol, atau sekadar pelepas jenuh di saat pasokan film lainnya sudah habis?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bagaimana caranya ya mengambil kesimpulan hanya dari pengamatan sekilas? Pertanyaan anda tidak punya “fokus” yang jelas, jadi tidak bisa saya jawab. Thanks kunjungannya. :)

      Delete
  4. Yang bikin saya betah menyelesaikan film ini cuma karena Yang jadi Jace agak cute dan kece.. Sisanya beneran boring dan maksa banget..

    ReplyDelete