28 July 2013

Movie Review: Mud (2012)


What is love? Sebuah pertanyaan sederhana namun punya tingkat kesulitan yang cukup tinggi, sulit untuk dijabarkan, dan tidak mudah untuk dimengerti. Apakah cinta harus saling memiliki, meskipun harus terus diwarnai permasalahan? Apakah cinta sebenarnya tidak harus memiliki, cukup dengan melihat sosok yang anda cintai merasakan bahagia? Mud, two young boys, a bounty hunters, seeking for the meaning of love.

Ellis (Tye Sheridan), remaja berusia 14 tahun, menerima ajakan sahabatnya, Neckbone (Jacob Lofland), untuk pergi kesebuah pulau kecil di Sungai Mississippi, tempat dimana Neckbone menemukan sebuah kapal yang tersangkut diatas pohon akibat banjir besar yang pernah terjadi. Namun sayangnya mereka bukanlah orang pertama yang menemukan kapal tersebut, karena seorang pria dengan penampilan yang sangat tidak terawat, Mud (Matthew McConaughey), telah menjadikan kapal tersebut sebagai tempat tinggalnya. Mud menawarkan sebuah perjanjian dengan imbalan kapal tersebut kepada Ellis dan Neckbone, akibat keterbatasan ruang gerak yang ia miliki.

Sederhana, Mud ingin bertemu kembali dengan kekasihnya, Juniper (Reese Witherspoon), yang juga menjadi satu-satunya alasan dari kehadirannya di Arkansas. Anehnya, tanpa rasa ragu Ellis menerima tawaran tersebut, juga dengan satu alasan sederhana, ia melihat ada sebuah cinta yang sangat besar antara Mud dan kekasihnya, sesuatu yang tidak dia dapatkan pada kedua orangtuanya, Senior (Ray McKinnon) dan Mary Lee (Sarah Paulson). Status sebagai tangan kanan dari Mud mereka peroleh, yang tanpa mereka sadari ternyata telah mengancam nyawa mereka dari radar seorang pria bernama Tom Blankenship (Sam Shepard).


Mud merupakan pembuktian dari Jeff Nichols bahwa keahlian yang ia miliki adalah menghadirkan tontonan yang punya cita rasa unik, seperti Take ShelterMud adalah sebuah kisah coming-of-age yang sederhana, punya pondasi yang kuat, namun tetap memiliki satu kelebihan yang telah Nichols tunjukkan di dua filmnya terdahulu, rasa percaya diri yang begitu besar pada materi yang ia miliki. Kali ini Nichols mencoba mengangkat tema isu sosial, sebuah proses pencarian identitas diri yang berjalan sejajar dengan pertanyaan utama pada konsep “apa itu cinta?”, yang uniknya tidak sepenuhnya dibangun berdasarkan pengalaman yang diberikan langsung kepada karakter, melainkan menggunakan sudut pandang karakter utama terhadap penggambaran kisah dari lingkungan sekitarnya.

Sebenarnya ini adalah formula yang sangat ampuh, jika karakter berhasil dikembangkan dengan baik, hal yang berhasil dilakukan oleh Nichols. Karakter berhasil dibangun dengan efektif, dan fokus, sama seperti konsistensi yang ia tunjukkan pada fokus cerita yang secara mengejutkan bertumpu pada sosok Ellis. Salah satu keberhasilan Nichols tercermin pada script yang ia ciptakan, menciptakan karakter utama yang masih berada dalam jerat kebimbangan, yang kemudian ditempatkan tepat ditengah empat karakter yang memberikannya dua opsi tentang cinta, baik dan buruk. Fokus pada perspektif Ellis ini yang kemudian menjadikan permasalahan rumit dari karakter dewasa tidak tenggelam begitu saja, yang disisi lain tidak memberikan sebuah rasa monoton pada konflik utama.

Memang setelah cukup jauh berjalan ia akan sedikit terkesan mondar-mandir, namun itu sebenarnya adalah upaya lain dari Nichols untuk menciptakan banyak ruang bermain yang memudahkan penontonnya untuk melakukan penilaian terhadap studi karakter yang ia berikan tentang cinta yang dihadirkan lewat banyak hubungan antar karakter. Sayangnya hal tersebut terkadang berdampak negatif.  Nichols cukup banyak mempresentasikan pandangannya tentang cinta, yang di beberapa bagian subplot tidak berkembang dengan baik dan harus berakhir mentah karena penggambaran halus yang ia miliki justru menjadikan dampak yang mereka berikan pada cerita tidak terasa kuat, terlebih fokus yang ia tunjukkan di awal mulai tergerus.

Mungkin ini salah satu keunikan dari film yang mengandalkan perspektif sebagai senjata utamanya. Sama seperti Beasts of the Southern Wild, Mud menggunakan karakter yang masih polos pada problem yang ia hadapi, dibalut dengan cinematography yang mumpuni, anda dapat menangkap main point yang ingin ia sampaikan lewat penggambaran yang mampu terus menjaga tempo yang ia miliki, tampil menyenangkan dan jauh dari kondisi membosankan, namun diakhir cerita semua yang ia berikan tersebut tidak terasa begitu megah. Sebuah sindiran terhadap konsep dari cinta yang menjadi fokus utama Nichols tidak tampil kokoh diakhir cerita.

McConaughey mendapatkan karakter yang menyatu dengan baik dengan dirinya, ia tahu materi apa yang ia punya, dan ia tahu cara membangun materi tersebut. Yang mengejutkan justru Sheridan, mampu menghadirkan permainan emosional yang cukup menarik lewat wajah yang ekspresif. Begitupula dengan Lofland, meskipun punya porsi kecil tapi tidak pernah kehilangan atensi ketika ia hadir. Karakter lain menjadi korban dari keputusan Nichols yang terlalu asyik mengembangkan cerita, kesempatan yang mereka peroleh sangat kecil, kontribusi pada cerita tidak begitu besar, salah satunya Michael Shannon yang berperan sebagai Galen, seperti hanya sebuah pemanis yang dipaksakan.


Overall, Mud adalah film yang memuaskan. Mud adalah sebuah kemasan yang bersenjatakan banyak materi dasar dari sebuah film berkualitas, dari script hingga hal teknis. Sayangnya ia menerima sebuah boomerang hasil dari keputusan yang ia pilih, yang bagi beberapa orang mungkin akan memberikan dampak yang terasa sangat sangat minim. Film yang menarik, petualangan yang menyenangkan, akting yang memikat, namun minim permainan emosional yang menawan.











2 comments :