03 July 2013

Movie Review: Despicable Me 2 (2013)


Tiga anak perempuan sibling yatim piatu, di adopsi oleh seorang pria botak berhidung mancung yang berupaya mencuri bulan bersama sekumpulan makhluk aneh berbentuk banana. Despicable Me, sebuah hit di tahun 2010 yang memang tidak dapat mengguncang keperkasaan Toy Story 3, namun dengan sangat mudah berhasil meninggalkan sebuah kenangan impresif bagi penontonnya, mereka fokus, menggemaskan, menyentuh, dan tampil lucu lewat tingkah konyol. Despicable Me 2, lucu, namun kehilangan beberapa materi dari kenangan tadi.

Margo (Miranda Cosgrove), Edith (Dana Gaier), dan Agnes (Elsie Fisher) sepertinya telah menjadi prioritas utama dari Gru (Steve Carell) dalam kehidupannya. Penjahat super jahat itu kini telah beralih profesi, alih-alih menguasai dunia ia kini memutuskan untuk menjadi pengusaha jeli dan selai. Keputusan Gru untuk berubah tanpa ia sadari ikut memberikan dampak pada orang disekitarnya. Dr. Nefario (Russell Brand), professor yang selama ini menjadi otak dari semua perlengkapan Gru tidak lagi melihat ambisi dari Gru, ia rindu menjadi seorang penjahat jahat, dan memutuskan keluar.

Tanggung jawab yang begitu besar pada akhirnya memaksa Gru untuk bersatu dengan Lucy Wilde (Kristen Wiig), agen The Anti-Villain League (AVL) yang dipimpin oleh Silas Ramsbottom (Steve Coogan). Sejarah Gru sebagai penjahat yang menjadikan mereka tertarik, dan memberikan sebuah tugas yang sebenarnya tidak begitu megah, menjadi spy untuk menemukan sebuah serum berbahaya yang dicurigai di simpan pada salah satu kios di sebuah mall.


Apa yang anda harapkan ketika datang ke bioskop untuk menyaksikan Despicable Me 2? Jika jawabnya “hanya” untuk melihat para minion lucu dan konyol beraksi, maka jaminan utamanya adalah anda akan merasa terpuaskan. Ken Daurio dan Cinco Paul sepertinya sadar betul pada potensi utama “sebenarnya” yang dimiliki film oleh ini setelah kehadirannya tiga tahun lalu, dimana secara mengejutkan para minion berhasil mencuri atensi para penonton dalam kadar yang sama besarnya dengan para karakter utama. Maka tidak heran jika pada Despicable Me 2 porsi mereka ditekan lebih besar oleh Ken Daurio dan Cinco Paul.

Lantas apakah film ini menarik? Ya, menarik, dari sisi komedi, terlebih dengan eksekusi yang diberikan oleh Pierre Coffin dan Chris Renaud pada para minion. Mayoritas joke slapstick yang dihadirkan melalui para minion bekerja dengan sangat sangat baik, dimana Coffin serta Renaud sepertinya sudah paham betul bagaimana cara terbaik membentuk ikon baru dunia animasi ini. Ini memberikan sebuah fakta yang tidak dapat dipungkiri dimana kehadiran mereka di layar yang sebenarnya sangat dinantikan oleh penontonnya. Ya, ini alasan kenapa begitu banyak kata “minions” diawal review kali ini, karena mereka bintang utama, yang sayangnya justru harus menutupi kinerja beberapa elemen kunci lainnya.

Mati, banyak elemen cerita yang mengandung materi menyenangkan lainnya yang dimiliki oleh film pertama hilang di film ini. Dampak paling nyata dirasakan oleh Gru, yang bahkan sudah terlihat dengan jelas dari misi yang diberikan padanya. Tidak ada lagi sebuah “goal” besar yang menjadikan anda sebagai penonton ikut merasakan keasyikan dari misi yang diemban oleh Gru, terlebih dengan hilangnya sosok villain seperti Vector, yang kali ini diganti dengan Eduardo Perez (Benjamin Bratt) dan Floyd Eagle-san (Ken Jeong). Tidak ada lagi catch and run yang dikemas dengan menarik, terasa datar dan bahkan tidak fokus. Ya, tidak fokus, dan ini terjadi pula dibagian lainnya.


Pesona dari Margo, Edith, Agnes tidak hadir di film ini. Keputusan Gru untuk tobat justru tidak menghadirkan benang merah yang rapi pada cerita selanjutnya terutama dalam kasus hubungan ayah dan anak. Gru seperti sibuk sendiri, dan meninggalkan Margo bermain dengan asmara yang kurang menarik, Edith yang bergerak random dan absurd, serta Agnes yang masih mencoba tampil imut dan polos. Tiga karakter ini seperti kurang diperdulikan, porsi minim dan tidak dibentuk dengan baik. Hal yang sama juga dialami oleh Lucy, karakter mentah dengan kontribusi yang tidak mumpuni pada cerita, begitupula dengan Eduardo Perez yang tidak mampu mencuri perhatian, karakter yang sebenarnya mengemban tugas cukup berat untuk menggantikan Vector.

Film ini mungkin mengemban sebuah misi lain, menjadi sebuah pertaruhan sebagai pembuka dari film Minions yang akan hadir tahun depan. It’s all about minions, separuh fokus dihabiskan untuk membentuk formula baru agar para karakter banana ini dapat tampil lucu dan menarik serta semakin meninggalkan impresi yang besar pada penonton. Dampaknya, ruang cerita bagi mereka semakin besar yang ikut menggerus jatah bagian lainnya. Cerita yang tidak tersusun dengan solid menjadi problem utama, lemah dan seperti bingung untuk selanjutnya hadir dalam bentuk apa. Dan jika harus jujur, adegan tanpa minions didalamnya mayoritas terasa datar.

Despicable Me 2 jelas bukan sebuah film animasi yang mengecewakan, terlebih ia tidak punya momen yang membosankan, meskipun tampil kurang inovatif. Dia berhasil menaikkan sisi lucu yang ia miliki, namun jika berbicara tentang cerita maka film pertama masih lebih baik. Ya, sebut saja film ini menjadi korban untuk membuka lembaran baru dunia minions. Eksekusi yang setengah hati untuk hal-hal diluar minion tampak pula pada jajaran pengisi suara. Hanya dan masih Steve Carell yang tampil impresif, sedangkan tiga anak perempuannya tidak berhasil tampil menarik, dan Kristen Wiig tidak memperoleh dialog yang menarik. Scene stealer kali ini menjadi milik Russell Brand.


Overall, Despicable Me 2 adalah film yang cukup memuaskan. Kembali ke pertanyaan diawal film, apa yang anda cari dari film ini? Jika hanya minions, maka ini akan menjadi sebuah tontonan yang menyenangkan, terlebih dengan jatah yang semakin besar yang diperoleh karakter banana itu. Namun diluar elemen tersebut, film ini datar, kurang total, dan tidak fokus. Ini adalah petualangan yang penuh mix sejak awal hingga menjelang akhir, namun Pierre Coffin dan Chris Renaud tahu cara yang sangat tepat untuk menutupnya. Yak, satu kata untuk lagu “underwear” itu, gila, yang juga menjadi sebuah pintu masuk kedalam dunia baru para minion.



4 comments :

  1. UNDERWEAARRR~

    :)))))

    Anjis, aku belom pernah ngakak sampe berair mata pas nonton di bioskop. Baru All 4 One versi Minion ini yang bisa~!

    Yaa emang, di luar Minion, film ini cuma cerita simple dan minim konflik.
    NAmanya juga film untuk segmen anak-anak, jadinya simple.

    Yang jelas, Illumination Studios berhasil bikin satu trademark entertainment baru dengan sosok Minions ini.

    Mereka berhasil nyiptain tokoh yang dicintai berbagai kalangan.

    ain't nobody will hate the minion.
    :)))

    To put it simply : Despicable Me 2 is a Miniontertainment.

    Ahahahaa, PAPOI~!

    ReplyDelete
  2. @Adhitya Teguh Nugraha: Berarti benar pertanyaannya, "apa yang dicari dari film ini?"
    Yang datang untuk lihat Minions pasti puas, tapi akan ada rasa kecewa bagi mereka yang masih ingin tahu kelanjutan kisahnya Gru, dan tiga anak perempuannya (yang imo punya daya tarik yang sama besarnya dengan Minions, sayang gak dikasih kesempatan yang sama besar). :)

    ReplyDelete
  3. @rory pinem: Pas laah porsi Gru dan minions ini. Soalnya endingnya juga tentang nyari Ibu untuk 3 anak itu.

    Tapi orang yang belom pernah nonton Despicable Me pertama juga bisa terhibur kok dengan cerita di DM2 ini. Ya semua karena Minion.

    ain't nobody will hate the minions :)))

    ReplyDelete
  4. @Adhitya Teguh Nugraha: Memang ada di singgung ama Agnes cs, tapi aku gak melihat ada pergerakan dari Gru yang menjadikan “misi” itu berkembang, tiba-tiba udah bersatu aja diakhir. Porsi mungkin subjektif sih, tapi kalau dari daya tarik beda jauh banget, lebih besar punya Minions. Aku malah belum yakin kalau Minions udah mampu berdiri sendiri tanpa empat karakter utama.

    ReplyDelete