13 June 2013

Movie Review: The Call (2013)

 

“Is something going wrong? Just call 911.” Tunggu dulu, sebenarnya tidak sesederhana itu. Banyak orang di USA dikenal gemar menghubungi 911 untuk mengadukan masalah dengan alasan yang terasa cukup bodoh. Ya, di negara bebas semua bebas berekpresi, termasuk bagi orang bodoh yang dapat dengan bebas mengekpresikan kebodohannya, tanpa peduli kesulitan yang dialami oleh operator, dari kewajiban untuk selalu fokus, hingga sebuah larangan keras penggunaan F-Bombs. Ini yang coba disampaikan oleh The Call, abduction, error, trauma.  

Jordan Turner (Halle Berry), bekerja sebagai operator 9-1-1 di LAPD, suatu malam menerima panggilan telepon dari seorang gadis bernama Leah Templeton (Evie Thompson) yang mengadukan bahwa ada seorang pria tak dikenal yang mencoba masuk kedalam rumah yang pada saat itu hanya dihuni oleh dia seorang. Leah berhasil menghindari pria tersebut dan bersembunyi berkat instruksi yang diberikan oleh Jordan. Namun sebuah blunder kecil dilakukan oleh Jordan ketika koneksi telepon terputus, dan menciptakan sebuah trauma besar baginya. 

Enam bulan kemudian, Jordan dipindah tugaskan menjadi pengajar yang membimbing calon operator baru. Ketika hendak menjelaskan secara langsung cara operator bekerja, sebuah panggilan masuk diterima oleh seorang rookie, yang ternyata tidak mampu mengatasi masalah tersebut. Casey Welson (Abigail Breslin), diculik oleh seorang pria misterius dari sebuah mall, disekap di bagasi sebuah mobil berwarna merah, dan hanya punya sebuah telepon prepaid wireless yang tidak punya jangkauan GPS. Jordan mengambil alih tugas tersebut, menuntun Petugas Paul Phillips (Morris Chestnut) bersama pasukannya menuju Casey, dengan rasa trauma yang masih menghantuinya.


Sebenarnya formula yang film ini miliki bukanlah sesuatu yang baru, begitu juga dengan cerita yang ia punya, klasik, predictable, bahkan terasa cukup klise. Nicole D'Ovidio, Jon Bokenkamp, dan Richard D'Ovidio tidak menghadirkan sebuah elemen cerita yang baru dan segar, dimana mereka seperti hanya berupaya untuk mencoba meraih kesuksesan dengan menggantungkan harapan pada masih berhasil atau tidak paket klasik ini menangkap atensi penontonnya. Namun hal tadi hanya terjadi pada bagian cerita, karena apa yang screenplay karya Richard D'Ovidio berikan, serta kinerja dari Brad Anderson ternyata cukup memuaskan.

Sejujurnya film ini dibangun dengan cukup rapi oleh Anderson, terlebih dengan hanya mengandalkan dua setting dimana ia mampu mengajak anda sebagai penontonnya untuk ikut bergerak bersama Casey, hingga cara ia menyambung antar konflik yang terasa hidup, tanpa mengalami stuck yang sangat mengganggu. Ruang cerita yang sebenarnya sempit tadi berhasil ditutupi oleh screenplay yang berhasil menjaga tensi cerita dengan baik, bermula dari cara ia membangun ruang cerita itu, hingga cara ia melanjutkan kisah. Jika menilik budget yang ia miliki, bagaimana sensasi dari misteri utama berhasil di sampaikan dengan baik dan mendominasi cerita dapat dikatakan menjadi sebuah kesuksesan tersendiri.

Sayang, hal positif tadi tidak berlanjut hingga akhir cerita. Cerita mengalami sebuah belokan yang terasa cukup kasar dan tajam, baik dari tema utama yang secara mendadak berubah menjadi sebuah kisah bernuansa slasher, hingga cara ia berjalan yang menjadikan film ini kehilangan momentumnya. Ya, ini sebuah keputusan yang sangat buruk. Apa yang telah ia bangun sebelumnya terasa terlupakan begitu saja, padahal sudah dibangun dengan menarik, dimana sebuah penggambaran bagaimana kekuatan wanita dalam menghadapi tekanan dibentuk dengan cukup baik, namun sayangnya harus diakhiri dengan sebuah misi balas dendam.

Film ini mungkin akan berakhir menarik andai saja ia tetap fokus pada Jordan di depan layar computer bersama koneksi telepon dengan Casey, dan tim polisi yang terus berupaya mengejar Michael Foster (Michael Eklund). Sebuah belokan tepat di satu jam durasi tadi justru terasa mengganggu, dimana tensi cerita turun drastis, serta daya tarik kasus perlahan memudar, bila tidak ingin disebut lenyap tak berbekas. Sepertinya Anderson dan rekannya punya maksud tersendiri pada keputusan tersebut, menciptakan ruang untuk menghadirkan keterkaitan cerita di bagian awal, atau bahkan sebagai upaya untuk menjadikan cerita menjadi sedikit lebih kompleks. Tapi, mayoritas penonton pasti juga sadar bahwa daya tarik utama film ini terletak pada aksi catch and run, ya, bahkan jika harus diakhiri dengan cara paling standar sekalipun tanpa mencoba menghadirkan kasus balas dendam tadi mungkin hasilnya akan lebih memuaskan.

Yang cukup mengejutkan adalah penampilan Halle Berry, karena pasti ada antisipasi dari kegagalan yang ia terima di Dark Tide tahun lalu. Halle Berry mampu menjadikan nafas panik dalam cerita terus terasa, walaupun ia kurang berhasil dalam menjadikan karakter Jordan menjadi sosok yang tegar dan kuat. Sedangkan Abigail Breslin berhasil berkontribusi pada proses menjaga tensi cerita tetap tinggi lewat cara ia berteriak dan memohon. Ia juga sanggup menyampaikan banyak informasi yang mungkin dapat menjadi pelajaran bagi penonton bila menghadapi situasi yang sama. Sayang, karakternya, Casey, punya porsi terbatas sehingga sulit untuk berkembang. Kejutan lainnya adalah Michael Eklund, cukup berhasil menjadi musuh menakutkan bertampang psycho penuh misteri.


Overall, The Call adalah film yang cukup memuaskan. Dengan dana yang cukup terbatas, The Call berhasil menjalankan misi utama yang ia usung sejak awal, menghadirkan sensasi dari sebuah tontonan thriller. Meskipun ditutup dengan cara yang buruk, The Call masih mampu menjadi sebuah guilty pleasure. Terlepas dari memuaskan atau tidak, film ini berhasil memberikan sebuah gambaran baru tentang 9-1-1, ya, mungkin untuk mengingatkan penduduk USA yang sering menganggap keisengan yang mereka lakukan sebagai sesuatu yang wajar.



1 comment :

  1. Udah nonton.
    Dan film ini sukses bikin tegang.
    Keren!
    Walaupun endingnya kurang begitu suka~

    ReplyDelete