17 April 2013

Movie Review: To The Wonder (2012)

 

Bagi saya, sebuah film yang mengandalkan bahasa visual adalah sebuah film yang egois. Bukan berarti ia punya tingkat kesulitan dalam cara pemahaman yang berbeda dari film pada umumnya (menurut saya itu sama saja), meskipun ketimbang dipadati dengan dialog-dialog untuk membawa penontonnya masuk dan berpetualang kedalam cerita, ia justru didominasi tampilan visual disertai dialog yang minim. Dampaknya, ia sangat sangat menuntut para penontonnya untuk harus berada dalam kondisi dimana mood mereka sedang baik agar dapat ikut menikmati semua pesan yang ia usung. Menyenangkan, sometimes.

Marina (Olga Kurylenko), seorang janda muda asal Perancis yang memiliki anak perempuan bernama Tatiana (Tatiana Chiline), sedang mencoba membangun kembali kehidupannya. Marina menjalin hubungan dengan Neil (Ben Affleck), pria asal Amerika, pria tenang dan berkarisma yang mampu membuat Marina serta Tatiana lepas dari belenggu masa lalu dan kembali menikmati kehidupan mereka. Sikap yang serius mereka tunjukkan ketika memutuskan untuk ikut bersama Neil hijrah ke Oklahoma.

Sayang, keputusan itu justru menghambat apa yang sudah mereka temukan di tempat asal mereka, serta upaya yang sedang mereka bangun. Marina dan Tatiana ternyata tidak dapat enjoy dengan lingkungan baru mereka. Ini menjadi awal dari semua kebimbangan, baik dari Marina, Neil dengan kehadiran seorang wanita bernama Jane (Rachel McAdams), hingga seorang Pastur Quintana (Javier Bardem), yang terus berupaya mencari tahu jawaban dari pertanyaan yang menghampirinya.


Jujur saja, Terrence Malick seolah tampak mencoba terlalu keras untuk show off di awal film, melalui bahasa gambar yang telah menjadi trademarknya. Akibatnya, bagi saya ruang cerita yang ia kuras diawal cerita cukup menyiksa. Memang indah, namun durasi yang ia pakai terasa terlalu panjang untuk sebuah proses pengenalan cerita serta karakter utama yang sempit. Maksud dari keputusan yang ia ambil tersebut memang dapat dimengerti, tapi dampak yang dihasilkan justru menjadikan ekspektasi yang telah anda pasang memiliki kemungkinan untuk mengalami sedikit degradasi.

Itu yang saya alami, yang sudah memasang ekspektasi cukup tinggi dengan faktor utama yang tidak lain adalah Terrence Malick. Setinggi apa harapan saya? Ya, at least film ini bisa sedikit berada dibawah The Tree of Life mengingat tema serta premis yang usung tidak begitu megah. Semua berawal dari pembukaan yang menyiksa dan cukup mengganggu (ya, saya sendiri merasa aneh mengapa saya mengalami hal tersebut), dan boom semua harapan tadi buyar dengan seketika.

Kelemahan utama film ini terletak pada script yang ia miliki, yang kembali seperti sebuah cerita pribadi dari seorang Terrence Malick. Ia terlalu sempit, sangat sempit malah, dan hasilnya menjadikan cerita tersebut seolah tenggelam diantara kumpulan gambar-gambar cantik yang ia tampilkan. Begitu pula dengan power yang cerita itu miliki, cukup lemah dan akan membawa anda kedalam sebuah kisah yang terasa seperti seorang astronot di kapal luar angkasa, bergerak bebas kesana kemari secara abstrak sebagai wujud sebuah ekperimental dari Malick.


Ya, ini mungkin sebuah misi dari Malick untuk menciptakan pengalaman baru dari sebuah drama romantis. Ia bahkan dengan berani tidak menggunakan elemen-elemen yang sebenarnya sudah menjadi hal yang wajib dimiliki genre tersebut. Tidak mencoba memberikan terlalu jauh dalam hal detail, anda hanya diberikan cerita dalam garis besar, informasi yang sedikit, dan diberikan kebebasan untuk menghayati hal-hal tadi bersama bahasa visual yang ia sajikan. Hasilnya, saya merasa Marina, Neil, hingga Quintana seperti sebuah boneka hidup yang bergerak random, bukan sebagai karakter yang memiliki sebuah konflik pribadi emosional.

Memang dibeberapa bagian anda masih dapat menyaksikan kebahagian, hingga kehancuran yang di sampaikan lewat bahasa visual yang cantik, namun itu tidak cukup untuk menekan lebih dalam kekuatan dari pesan yang ia punya. Memang mengejutkan, setelah The Tree of Life Malick langsung hadir kembali setahun kemudian, dan bahkan dua film sedang dalam tahap pengerjaan. Mungkin Malick ingin merubah pattern yang selama ini ia punya. Resikonya, saya tidak merasakan magic dari film ini seperti yang pernah diberikan oleh Malick, dimana ia terasa kurang intim, cukup abstrak, dan sedikit rapuh.

Tapi anda tidak perlu ragu dengan tampilan visual yang film ini miliki, karena anda masih akan menemukan ciri khas dari seorang Terrence Malick. Bahkan, jika anda adalah salah satu dari mereka yang tidak peduli dengan cerita dari film-film karya Malick, To the Wonder akan memberikan anda sebuah kepuasan yang tinggi, dengan dialog yang minim, dan mayoritas di isi dengan gerak tubuh dari tiap tokoh yang selalu memiliki makna. Yang paling memikat adalah Olga Kurylenko, dimana ia mampu menggambarkan perasaan yang ia miliki dengan baik menggunakan gerak tubuhnya. Sedangkan pemeran lainnya lebih sebagai pion yang membantu Kurylenko untuk menggerakkan cerita.


Overall, To the Wonder adalah film yang cukup memuaskan. Tidak perlu mempertanyakan tampilan visual yang ia miliki, karena Malick masih belum berubah dalam hal ini, cantik dan indah, tetap mampu menghadirkan sebuah pengalaman menonton yang menarik. Sayang, script yang ia punya tidak mampu mendorong film ini untuk bergerak lebih jauh ke posisi atas. Meskipun menyaksikannya dalam kondisi mood yang sangat baik, saya tetap merasa puisi ini kurang mampu menjadikan pesan yang ia bawa memberikan dampak yang besar, baik dalam hal asmara maupun spiritual.



3 comments :