12 April 2013

Movie Review: Oblivion (2013)


Berbeda genre, beda pula perlakuan yang harus anda berikan dalam menilai baik dan buruknya paket yang ditawarkan oleh sebuah film. Jika saya menilai komedi dilihat dari sukses tidaknya ia membuat saya tertawa, dan siap dengan hal bodoh dan konyol, horror diukur dari tingkat keberhasilannya dalam menakut-nakuti saya, lain pula dengan Sci-fi, dimana saya secara khusus selalu menarik peran cerita sedikit lebih kebelakang, dan lebih mengharapkan sebuah inovasi baru yang mampu membawa saya ikut berimajinasi dalam konteks yang lebih ilmiah ketimbang sebuah fantasi.

Bumi hampir saja hancur akibat invansi alien ditahun 2017 (well, bersiaplah anda), dan menyisakan kondisi yang menyedihkan tepat di tahun 2077, dimana semua manusia telah di evakuasi ke Titan, sebuah bulan milik Saturnus. Ya, bumi memang berhasil direbut kembali, namun apa yang tertinggal dari invansi tersebut tentu tidak dapat dianggap sepele. Maka dibentuklah sebuah tim operasi yang bertujuan untuk membasmi para alien yang mungkin masih bermukim di bumi, memperbaiki robot patroli, serta terus berupaya untuk mengambil sumber daya bumi yang tersisa.

Mereka adalah Jack Harper (Tom Cruise), mekanik yang setiap harinya bertugas naik dan turun menggunakan pesawat dari sebuah menara yang dibangun ribuan kaki dari permukaan bumi, rekannya Victoria Olsen (Andrea Riseborough) yang bertugas sebagai operator, dan Sally (Melissa Leo) komandan yang tiap hari secara periodik memantau perkembangan mereka melalui video call. Namun ada sebuah pertanyaan yang selalu menemani Jack, siapa mereka sebenarnya? Hal tersebut semakin besar setelah ia menemukan Julia Rusakova (Olga Kurylenko) dalam sebuah kapsul di pesawat ruang angkasa yang jatuh di teritorinya, dan juga kaum pemberontak yang dipimpin oleh Malcolm Beech (Morgan Freeman).


Oke, mari sejenak membahas apa yang saya singgung di paragraf pertama, sci-fi dengan inovasi baru dan menciptakan ruang imajinasi yang menyenangkan. Hal tersebut yang saya suka dari sebuah sci-fi, karena dengan mempunyai dua hal tersebut ia akan meninggalkan anda sebuah impresi yang mampu dikenang lama oleh memori anda. Contohnya tiga tahun lalu ada Inception dengan mimpi berlapisnya. Dua tahun lalu ada Melancholia dan Another Earth, serta Source Code. Tahun lalu ada Chronicle, Prometheus, hingga Looper, dan yang terbaru Cloud Atlas. Mereka punya satu hal yang identik, mereka unik.

Itu yang tidak dimiliki oleh Oblivion, proyek ambisius dari Joseph Kosinski, sosok yang tiga tahun lalu menyajikan sebuah dunia gelap penuh cahaya lampu dalam Tron: Legacy. Mengapa saya sebut ambisius, karena selain sebagai produser dan sutradara, ia juga mengangkat cerita dari novel miliknya, dan menggaet Karl Gajdusek, William Monahan (The Departed) dan Michael Arndt (Little Miss Sunshine, Toy Story 3) untuk bersama dengannya menyusun screenplay. Hasilnya, anda akan menemukan sebuah premis yang kuat, dan tidak dapat dipungkiri seperti menjanjikan sesuatu yang menarik.

Namun itu adalah penilaian yang saya berikan sebelum film ini berputar, karena setelah ia berjalan ternyata faktanya justru bertolak belakang. Bahkan saya tidak menemukan apa yang saya harapkan dapat saya temukan dari film dengan budget US$120 juta ini. Dibalik premisnya yang kokoh, ternyata Oblivion tidak menawarkan sesuatu yang baru, bahkan menurut saya ia tidak memiliki hal unik. Tidak perlu menarik terlalu jauh kebelakang karena saya juga tidak ingat secara detail, namun Oblivion ibarat Moon (2009), yang dibalut dengan cita rasa WALL•E (2008). Memang tidak salah, dan mungkin itu merupakan bagian dari materi yang menjadi inspirasi Kosinski dan Arvid Nelson dalam menulis novel grafis mereka. Yang sangat disayangkan, terlepas dari hal tersebut ternyata tidak ada materi lain yang at least mampu menjadi identitas film ini.


Tidak cukup sampai disitu, saya bahkan langsung teringat Prometheus ketika menyaksikan film ini, dengan past story yang telah terungkap, dan menawarkan sebuah misteri berisikan keraguan tentang apa yang sebenarnya terjadi. Sayang, memanfaatkan kebebasan yang ia punya, Kosinski justru memberikan beban yang terlalu besar pada film ini yang mulai tampak kelelahan menjelang bagian akhir, dan dampak paling nyatanya terlihat ketika ia coba menghadirkan kisah asmara yang berujung hambar tanpa permainan emosional dalam skala kecil sekalipun. Tidak masalah, namun cukup kecewa, karena sama seperti Prometheus saya menaruh ekpektasi yang cukup tinggi pada film ini, meskipun ia cuma punya TC di barisan terdepan.

Satu lagi hal yang cukup mengganggu, dimana film ini berjalan dengan tempo yang terasa lambat. Hal tersebut menciptakan ruang bagi rasa bosan untuk hadir, dan beberapa kali sempat mengganggu saya yang kali ini memang sengaja lebih berfokus untuk ikut berimajinasi dengan bahasa visual ketimbang terlalu memikirkan cerita yang di beberapa bagian sempat kehilangan harmoninya. Terlalu panjang, dan mungkin akan terasa lebih efektif jika disempitkan 10-20 menit. Ya, mungkin Kosinski sengaja melakukan itu untuk memberikan waktu bagi para penggila sci-fi untuk berusaha mencintai film ini.

Namun tidak dapat dipungkiri, sisi teknis yang dimiliki Oblivion sangatlah indah. Lupakan sejenak nilai minus tadi, karena anda akan mendapatkan tampilan visual yang mampu menghibur serta memanjakan mata dan pikiran anda. Tidak heran, karena ia punya Claudio Miranda (Life of Pi) yang mampu menjadikan hasil tangkapannya membantu menggerakkan cerita, dan kemudian diolah oleh tim visual efek yang berisikan orang-orang yang pernah bekerja untuk 2012, TRON: Legacy, Hugo, Prometheus, hingga The Avengers, dan semakin memperoleh nilai positif yang begitu besar berkat bantuan score yang juga tidak kalah indahnya dan bekerja efektif. Oscar?

Pemeran? Yha, apa yang anda harapkan dari seorang Tom Cruise akan anda dapatkan di Jack Harper, bukan berkelas Oscar, lebih kepada penampilannya di film-film 201x miliknya. Kosinski melakukan hal yang tepat, karena dengan budget yang besar ia harus sanggup meraih pendapatan yang jauh lebih besar, dan salah satu caranya adalah menaruh aktor yang mampu melakukan itu, dan itu ada pada Cruise. Dua pemeran wanita tidak diberi porsi yang lebih besar, begitupula dengan Melissa Leo, dan bahkan Freeman serta Nikolaj Coster-Waldau seolah hanya seperti sebuah tempelan belaka.


Overall, Oblivion adalah film yang cukup memuaskan. Kosinski punya dua sisi dari hasil kebebasan yang ia miliki. Dari segi tampilan visual, Oblivion ibarat dunia khayal yang imajinatif dan menyenangkan, namun disisi lain ambisi yang besar menghasilkan beban yang berat, dan memberikan impact yang sangat terasa di paruh kedua film dengan beberapa pengulangan yang kurang berarti. Premisnya kuat, namun Oblivion tidak memberikan sebuah pelajaran dan pesan baru yang unik dan menarik untuk anda kenang. 


2 comments :

  1. siapa itu sally ??
    gue masih bingung sampe sekaraang tentang tu film

    ngomong2 mapir dong di blog gue :D
    http://teenager-25.blogspot.com

    ReplyDelete
  2. A Whiter Shade of Pale, it's fit to describe faint shadows in this movie OBLIVION as well - https://www.youtube.com/watch?v=8b6xSyFz6B0

    ReplyDelete