13 January 2013

Movie Review: Les Misérables (2012)


Memperjuangkan mimpi tanpa pernah kehilangan harapan akan menghasilkan sebuah akhir yang indah, yaitu kedamaian dipenuhi dengan rasa cinta. Mungkin itu gambaran umum dari Fight – Dream – Hope – Love, tagline yang diusung oleh Les Misérables, film musical karya terbaru dari Tom Hooper, film yang telah identik dengan panggung teatrikal. Ya, Les Misérables adalah musical theatre, dan anda salah besar jika menganggap ini adalah film musikal yang biasa.

Jean Valjean (Hugh Jackman), yang telah akrab dengan kehidupan penjara selama 19 tahun, pada suatu ketika diberikan kesempatan untuk bebas oleh seorang pimpinan polisi bernama Javert (Russell Crowe). Sayangnya, kesempatan itu tidak dimanfaatkan dengan baik oleh Valjean, kembali mencuri, namun bebas karena kemurahan hati uskup yang menjadi korbannya. Momen tersebut menjadikan Valjean berjanji untuk merubah hidupnya.

Benar memang, delapan tahun kemudian di tahun 1823 Valjean sudah memiliki sebuah pabrik, bahkan menjadi walikota. Celakanya, ia masih menjadi buronannya Javert. Semua bermula ketika ia menyelamatkan Fantine (Anne Hathaway), salah satu mantan pekerjanya, terpaksa menjadi pelacur untuk memperoleh uang yang kemudian akan dia kirimkan kepada keluarga Thénardier (Sacha Baron Cohen dan Helena Bonham Carter), pemilik sebuah "kedai menyenangkan”, yang merawat anak perempuannya  Cosette (Isabelle Allen). Valjean berjanji akan menemukan Cosette, dan merawat serta membesarkannya seperti anak perempuannya sendiri.


Mari kita mulai dengan pengalaman menarik saya ketika menyaksikan film ini, dimana ada seorang pria yang duduk disamping saya bergumam dengan nada sedikit besar, “ini film atau konser?”. Ya, dia jelas tidak salah berkata seperti itu, atau mungkin mengungkapkan kekesalannya, melihat Jackman dengan jenggot tebalnya mulai berbincang bersama Crowe dengan dialog dalam bentuk nyanyian di awal film.

Hal tersebut adalah alasan utama saya mengatakan bahwa film yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya Victor Hugo ini bukanlah film musikal biasa. Bahkan saya sendiri yang cukup menggemari drama musical, seperti Glee, Nashville, dan Smash di tv-series, dan mungkin Chicago, Burlesque, hingga yang terbaru Pitch Perfect, cukup merasakan sebuah keterkejutan ketika film ini mulai bergerak masuk ke 20 menit pertama. Ya, saya tidak menyangka bahwa porsi dari dialog biasa yang hadir sangat-sangat minim. Keputusan Tom Hooper untuk menerapkan sung-through secara total, dimana karakter menyampaikan dialognya lewat nyanyian sukses mengundang rasa aneh, namun tidak dapat dipungkiri menghadirkan sebuah pengalaman penuh sensasi yang menyenangkan.

Les Misérables punya banyak faktor yang menjadikannya menarik bagi banyak orang, mulai dari karya Les Misérables yang sudah terkenal itu, jajaran cast-nya yang berisikan pemain kelas wahid, sampai hype yang tinggi pada performa dari Anne Hathaway. Tapi, Tom Hooper adalah alasan utama saya menyaksikan film ini. The Damned United, The King's Speech, dan kini Les Mis, menjadi bukti bahwa pria satu ini mencintai tantangan, memiliki ambisi yang besar dengan mencoba menghadirkan sesuatu yang baru.


Ya, Tom Hooper berhasil memberikan sebuah pengalaman menonton yang baru bagi saya. Dengan bantuan sebuah tim yang sangat kuat dibelakangnya (William Nicholson, Alain Boublil, Claude-Michel Schönberg, Herbert Kretzmer), serta pion-pion kelas dunia yang dibawah kendalinya, Hooper berhasil mewujudkan keinginannya untuk menjadikan Les Misérables sebuah drama musikal yang tidak biasa. Bukannya menggunakan hasil rekaman studio seperti yang kerap diterapkan film genre serupa, Hooper menuntut para pemainnya untuk “benar-benar” bernyanyi dengan iringan musik melalui ear-piece yang mereka gunakan. Ia juga tidak ingin menggunakan 3D, dengan alasan dapat mengganggu penonton ketika mereka mencoba menyatu dengan cerita. Dan terbukti, hal teknis tadi sukses mengajak saya untuk larut bersama permainan emosi yang dihadirkan para karakter.

Namun, Les Misérables juga hadir dengan sebuah cela. Ketika ia perlahan bertransisi pada perjuangan revolusi yang dipimpin Marius Pontmercy (Eddie Redmayne), serta kisah cinta segitiga Marius bersama Éponine (Samantha Barks) dan Cosette (Amanda Seyfried), terjadi sebuah penurun daya tarik dari sisi cerita. Cerita yang mulai mengajak anda kedalam sebuah proses, kemudian diisi dengan percakapan dalam nyanyian yang sedikit berputar-putar, sempat memberikan kesempatan pada rasa bosan untuk hadir kehadapan saya. Untungnya itu sedikit tertutupi setelah dibantu sisi teknis yang apik, dari sinematografi yang cantik, hingga bagaimana lagu-lagu itu berhasil menyatu dan membantu kinerja pemainnya.

Berisikan banyak bintang, hanya tiga dari mereka yang menurut saya berhasil menghidupkan karakter yang ia miliki. Yang pertama, tentu saja adalah Anne Hathaway. Ya, hype, buzz, apapun itu sebutannya, yang diberikan kepadanya memang tidak salah. Hathaway tampil sangat indah, terutama ketika ia menyanyikan I Dreamed a Dream, menggusur penampilannya empat tahun lalu di Rachel Getting Married, meskipun kali ini ia punya screen time yang lebih sedikit, namun dimanfaatkan dengan baik sehingga sangat memorable. Hugh Jackman berhasil memanfaatkan kesempatan besar yang diberikan kepadanya sepanjang film, tidak begitu berlebihan sesuai dengan kapasitasnya. Dan yang terakhir adalah Samantha Barks, didebut layar lebar pertamanya dengan kesempatan yang terbatas, Barks memberikan sesuatu yang sangat luar biasa. Ketulusan yang ia berikan sungguh emosional, ratapan tangisnya ketika menyanyikan On My Own bersama rintik hujan itu adalah adegan yang sangat menyayat, dan ketika pengorbanannya kepada Marius mungkin satu-satunya adegan yang hampir membuat saya menitikkan air mata. Barks memang paham betul dengan Éponine, tidak heran Éponine seolah hidup di dalam dirinya. Pemeran lainnya berhasil memenuhi kadar tugas yang mereka punya, kecuali Crowe yang kurang berhasil menjadikan saya nyaman menyaksikan ia bernyanyi.


Overall, Les Misérables adalah film yang sangat memuaskan. Tom Hooper membuktikan bahwa ide-ide segarnya wajib anda tunggu, karena ia kembali menghadirkan sebuah pengalaman baru yang menyenangkan. With all due respect, anda wajib menyukai karya dan film musikal untuk dapat enjoy menyaksikan film ini, karena yang menyukai film musikal pun pasti memerlukan waktu diawal film untuk beradaptasi pada sebuah terobosan baru yang Hooper berikan ini. Tidak begitu megah memang, namun dengan 157 menit yang dipenuhi permainan emosi yang berkualitas, Les Misérables sukses menghadirkan sebuah pengalaman musikal baru yang sangat unforgettable.

Score: 8,5/10

4 comments :

  1. nice review,
    ane susah buat nge-rate nih film, secara full singing begitu, honestly, it's not my cup of tea :P
    but Anne bener-bener luar biasa walau cuma muncul sebentar doang, ga terbendung lagi dah di Oscar

    ReplyDelete
  2. @Nugros C: Thanks. :)
    Anne memang mutlak di GG, tapi untuk Oscar saya masih yakin Sally Field punya chance.

    ReplyDelete
  3. Saya tetep pegang Annie dah,

    oscar ke-3 kan ga gampang, apalagi Sally uda lama bgt ga maen pilem (yg oscar-worthy)..though Academy really liked her, really2 liked her ^^
    we'll see..

    ReplyDelete
  4. @Nugros C:Yep, peluang Field lebih besar dibandingkan saat di GG, tapi pole position jelas milik Anne., dan perlu “Faktor X” untuk menghentikannya. :)

    ReplyDelete