21 October 2012

Movie Review: Ruby Sparks (2012)


Bermain dengan imajinasi tentu saja adalah hal yang sangat menyenangkan. Dalam imajinasi anda dapat menciptakan sebuah gambaran fiktif sesuai dengan apa yang anda inginkan, meskipun belum tentu akan menjadi nyata. Calvin Weir-Fields  (Paul Dano), pria muda yang merupakan seorang novelis best seller, sedang berada dalam tekanan karena belum menghasilkan karya baru. Mengikuti saran dari psikiater yang ia temui secara periodik, Calvin menuliskan imajinasinya tentang seorang wanita muda yang ia dapatkan melalui mimpinya. Dan, wanita itu menjadi nyata.

Wanita itu adalah Ruby Sparks (Zoe Kazan), yang diawal kehadirannya sempat menjadikan Calvin panik layaknya seorang pria gila yang baru saja melihat hantu didepannya. Ya, tentu saja ia panik, bahkan saya juga merasakan itu karena sejak awal saya menganggap Ruby hanyalah sebatas khayalan dari Calvin. Namun anehnya semua informasi yang Ruby miliki persis seperti apa yang Calvin gambarkan dalam imajinasinya, dan apa yang Calvin tuliskan kemudian menjadi kenyataan.


Ruby Sparks adalah sebuah drama komedi yang akan mengajak anda untuk ikut berfantasi bersama Calvin tentang bagaimana ia membangun kehidupan asmaranya. Apa yang akan anda lakukan jika diberi kesempatan untuk menciptakan seseorang sesuai dengan keinginan anda? Calvin mendapatkan kesempatan itu, dan ia mempergunakannya dalam konteks yang wajar. Ya wajar, ada suka dan duka.

Konsep cerita yang sangat menarik sudah ditawarkan oleh Zoe Kazan sejak awal. Seorang novelis yang dicampakkan oleh kekasihnya, didatangi oleh karakter hasil imajinasinya. Tidak ada karakter lain yang menciptakan konflik berat diantara mereka, hanya permainan emosi dari Calvin yang terus mencoba menyelesaikan bukunya, dengan Ruby yang selalu berada disekitarnya.

Yang menjadikan film ini menarik tentu saja adalah pertanyaan besar yang diciptakan sejak awal, apakah Ruby nyata, atau tidak? Pertanyaan tersebut terus menggantung hingga akhir, terus berputar dipikiran anda, meskipun beberapa bagiannya telah dibuka di tengah cerita. Ya, bahkan hingga scene terakhir saya masih tidak yakin apakah Ruby nyata atau tidak. Zoe Kazan sukses dalam hal ini.


Jonathan Dayton dan Valerie Faris tetap pada gaya mereka. Sama seperti apa yang mereka berikan di Little Miss Sunshine, Dayton dan Faris membentuk Ruby Sparks menjadi sebuah kemasan cerita yang mengandalkan kejujuran digaris terdepan. Ya, apa yang dilakukan Calvin tentu saja akan anda lakukan jika mendapatkan kesempatan yang sama. Tidak ada romantisme berlebihan, justru sebuah kisah manis dan lucu yang ditawarkan melalui sebuah konflik utama yang sebenarnya sangat serius.

Sejak awal hingga akhir anda akan menyaksikan sebuah cerita yang bagi saya sangat cerdas dan unik, dan terasa lembut karena dibantu hasil maksimal yang diberikan semua elemen pendukung cerita. Film ini semakin menyenangkan karena disamping cerita yang di bentuk dengan maksimal, segala joke dan humor yang disuntikkan juga bekerja dengan baik. Dan, film ini ditutup dengan cara yang sangat tepat, dan tidak terkesan murahan.

Film ini tentu saja milik Zoe Kazan dan Paul Dano. Chemistry yang mereka bangun sangatlah kuat. Suasana ceria dan tertekan divisualisasikan dengan baik. Sosok genius tampak lewat wajah dari Paul Dano, dan seorang pelukis yang bebas berada dalam diri Zoe Kazan. Apakah mereka dapat tergantikan? Tentu saja. Namun jika disuruh memilih, saya tidak akan mengganti mereka dengan pemeran lain. Mereka sebuah tim yang saling melengkapi, dan sukses menjadikan dua tokoh utama tetap menjadi fokus cerita meskipun hadir beberapa nama lain yang bisa saja mencuri perhatian anda, seperti Chris Messina, Annette Bening, dan Antonio Banderas. 

Overall, Ruby Sparks adalah sebuah komedi romantis yang memuaskan. Film ini cocok jika anda mencari hiburan dengan mengangkat kisah cinta yang menyenangkan dan menyentuh, namun tetap serius. Anda akan berjalan bersama Calvin, sembari terus bertanya dalam hati perihal eksistensi dari Ruby. Anda dapat melihat cara seorang pria mengontrol cintanya, berdasarkan kenyataan yang mungkin terjadi, tanpa terasa direkayasa. Ah, anda saja saya mendapatkan kesempatan itu. :)

Score: 8/10

11 comments :

  1. makasih resensinya :D membantu saya dalam memilih film buat ditayangkan di acara osis hehe :)

    ReplyDelete
  2. @mel: terima kasih sudah berkunjung. :)

    ReplyDelete
  3. ini film oke banget.. setuju dengan resensi-nya. terus terang saya cari film berdasarkan review di blog ini dulu, yang skor nya oke baru deh di tonton...

    kalau bisa ditambahkan tuh TOP MOST SCORED, ... keep reviewing...

    ReplyDelete
  4. @Psikotes untuk perusahaan: wah, terima kasih banyak. :) Tapi alangkah lebih baik setiap film dicoba dulu, karena score itu kan bersifat pribadi, bisa saja seleranya berbeda.

    Top Most Scored mungkin akan jadi bahan pertimbangan. Thanks!! :)

    ReplyDelete
  5. Bro. ane mau tanya, itu ente nulis review gitu hasil dari nonton sekali apa berkali2.. haha ane juga lagi belajar nulis review film di blog ane, tapi agak mandek kalo cuma nonton sekali, ada aja missing linknya. Boleh minta tipsnya?

    btw, ini blog ane kalo ente bersedia berkunjung, silahkan : www.gumimedia.wordpress.com

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tips dasar aja nih. :)

      1) Menulis buat saya seperti menjahit, saat memulai review saya selalu tulis dulu plus dan minus film itu dalam bentuk kalimat-kalimat sederhana, baru kemudian saya rangkai point-point penting tadi. Kalau masih sering missing buat catatan saat sedang nonton, semacam note singkat. Tahap awal, wajar, kalau udah terbiasa ntar gak perlu lagi.

      2) Saat nulis saya mengumpamakan sedang ngobrol dengan dua/tiga teman di hadapan saya, menjelaskan kepada mereka positif dan negatif film yang baru saya tonton dengan sesekali muncul pertanyaan dari mereka. Bagi saya review yang menarik itu punya alur bercerita yang mengalir dengan baik.

      3) Meskipun ngak di publish di blog tetap nulis, bahas film yang di tonton meskipun cuma dua paragraf. Buat saya tidak nulis selama satu minggu ada efeknya, naluri merangkai ide kedalam kalimat bisa hilang. Imo disini yang susah, menjaga konsistensi. :)

      Delete
    2. Oh iya pertanyaan utamanya malah gak di jawab. Kalau hanya “untuk menulis review” saya selalu tonton satu kali, kecuali ada rasa belum “puas” dengan apa yang saya peroleh ya di tonton lagi, seperti contoh terbarunya Interstellar. :)

      Delete
  6. wah, makasih bgt gan udah bagi2 tipsnya. semoga ane bisa niru konsistensi ente. pantes aja ente selalu jadi yang teratas di pencarian google. Produktifitas mengalahkan semuanya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jangan semoga, tapi pasti bisa kok. Tulisan yang di blog udah oke lho, bahkan lebih menarik ketimbang tulisan awal saya di blog ini. Sukses ya. :)

      Delete
  7. Asik ya Rory Pinem, suka nonton film dan bisa me review dengan sempurna. Kalau lagi cari sinopsis film yang keluar pertama pasti review film dari Rory Pinem. Setelah nonton filmnya, baru baca full deh reviewnya, selalu oke dan berkesan. Tapi namanya film gimana persepsi si penonton masing-masing ya. But, so far selalu sepemikiran soal reviewnya. Bedanya saya ga nulia blog hehe thank you ya. Keep reviewing.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Imo tidak ada review yang "sempurna." Thanks ya. :)

      Delete