18 December 2022

Movie Review: Argentina, 1985 (2022)

“New government says they’ll change things, and then appoints the same assholes as always.”

Kadang menjadi “berbeda” justru dapat membuat seseorang berpotensi besar untuk dikucilkan, sekalipun dia sebenarnya berada di pihak yang benar. Bukan tantangan internal saja yang sulit, justru eksternal yang berasal dari orang sekitar yang kerap dengan mudah merasa di atas angin dan mencoba mengintimidasi. Memperjuangkan kebenaran tidak mudah, dan menjadi orang yang benar dan baik itu susah, hanya para pemberani yang menolak untuk menyerah. Hal tersebut yang coba disampaikan film ini, menggunakan proses transisi demokrasi lewat peristiwa pengadilan terhadap anggota pemerintahan militer de facto yang berkuasa ketika kediktatoran masih jadi raja. ‘Argentina, 1985’: the beauty of justice.


Military dictatorship di Argentina berakhir di tahun 1983, tujuh tahun kelam di mana dikabarkan terdapat ribuan orang yang diculik, disiksa, dan dibunuh tanpa pernah dilanjutkan ke proses hukum. Banyak warga Argentina hilang tanpa jejak, meskipun kekuasaan telah diserahkan kepada pemerintah sipil namun pengadilan militer masih kesulitan untuk meminta pertangggungjawaban dari para petinggi militer. Bahkan beredar informasi bahwa tindak kejahatan itu dilakukan oleh para bawahan yang beraksi atas nama mereka sendiri, tanpa mengantongi instruksi dari para petinggi mereka. Hal tersebut membuat pengadilan sipil pada akhirnya kehilangan kesabaran dan memilih untuk membawa petinggi militer ke pengadilan.

Kepala Jaksa bernama Julio César Strassera (Ricardo Darín) ditunjuk menangani kasus yang telah menghasilkan banyak pelanggaran hak asasi manusia itu. Julio diberikan deputi bernama Luis Moreno Ocampo (Peter Lanzani) dan karena misi tersebut pada awalnya tidak begitu populer dan mendapat banyak tentangan dari masyarakat dia tidak bisa merekrut anggota tim yang sudah benar-benar ahli. Alhasil beberapa anak muda yang menawarkan diri dipilih bergabung ke dalam tim yang juga otomatis jadi sasaran teror. Mereka dipaksa berpacu dengan waktu yang sempit mengumpulkan data dan informasi dari ribuan kasus kejahatan kemanusiaan yang terjadi selama tujuh tahun tersebut.

Apapun bentuk kejahatan yang menjadi konflik utama di dalam cerita, court films selalu bermain di pola dan formula yang tidak jauh berbeda satu sama lain. Alhasil muncul image bahwa jenis film ini sangatlah mudah untuk ditebak alur ceritanya dan kerap kali kesuksesannya sangat bergantung pada “emosi” yang terkandung di dalam cerita tersebut tadi. Sulit untuk menemukan inovasi atau gebrakan yang luar biasa di jenis film seperti ini, cenderung konvensional dengan menggunakan manner familiar di sisi teknis. ‘Argentina, 1985’ yang saat ini sedang bersaing di kategori Best International Feature Film for the 95th Academy Awards mewakili, well tentu saja Argentina, merupakan good example dari dua hal tadi, yakni bagaimana kondisi yang familiar itu menjalankan tugasnya dengan baik menggunakan formula klasik.


Peristiwa the 1985 Trial of the Juntas yang menjadi pusat utama cerita dibentuk ulang secara rapi oleh Sutradara Santiago Miter di sini yang memilih untuk memakai berbagai macam “warna” sebagai variasi bagi cerita. Presentasi yang disajikan Miter di sini banyak mengingatkan saya pada apa yang dilakukan Aaron Sorkin di film ‘The Trial of the Chicago 7’ punya cerita berisikan konflik yang mencekam tapi di sisi lain narasi berjalan dengan pace yang santai bersama beberapa selipan humor yang oke. Kita dibawa mengamati upaya yang dilakukan oleh dua pejuang bersama sokongan anggota tim mereka itu menggali data dan file dengan taruhan nyawa, yang awalnya tampak biasa perlahan mulai berkembang menjadi semacam horror dipenuhi teror. Miter memakai pola klasik tapi disajikan secara cantik, perjuangan versus rintangan. Simple. 

Ada rintangan di sana, tidak hanya berkombinasi dengan baik bersama sikap pihak seberangnya yang sombong dan memantik amarah saya, tapi juga menciptakan satu proses penyelidikan sederhana yang terasa exciting. Tapi yang menarik di sini ialah Santiago Mitre sadar bahwa peristiwa besar yang telah berhasil mengubah form of government di Argentina itu punya banyak elemen penting yang dapat diulik, alhasil meski berfokus pada upaya Strassera bersama tim namun di sisi lain script memberi cukup banyak ruang bagi kisah-kisah para korban terpilih. Itu yang membuat cerita film ini memiliki hal penting yang dibutuhkan court film, yakni emosi, tidak melulu bertumpu pada aksi sikut tentang hukum tapi juga menggunakan humanity untuk “membuka” mata penduduk Argentina yang awalnya bahkan menentang aksi Julio dan tim miliknya.


Di bagian itu Santiago Mitre sangat cerdik, memainkan testimony untuk mengambil baton ketika latar belakang masalah telah terbentuk, memberikan stimulasi extra bagi image “sakit” dari the ringleaders of Argentina's last civil-military dictatorship, lalu kemudian ditutup lewat sebuah closing arguments dengan akhir yang touching and painful secara bersamaan, that “Never Again” moment yang luar biasa. Saya suka cara narasi mengaduk-aduk emosi, menyaksikan situasi “sakit” dari sebuah negara di mana sekelompok orang sedang berjuang mengobatinya, menempatkan situasi David melawan Goliath berisikan terror dan paranoia, dan berhasil menyeimbangkan excitement, thrill, dan juga suntikan humor dan tentu saja emosi without playing down anything.

Tidak heran jika sejak awal kamu akan merasa seperti terikat di dalam perjuangan itu, karena cerita berkembang layaknya sebuah proses di mana keindahan dan juga kengerian berjalan beriringan. Dengan format 4:3 berisikan visual yang manis, Mitre berhasil melukis rasa sakit dan trauma warga Argentina kala itu akibat kediktatoran yang liar, sesekali menggabungkan rekaman asli di dalam staging yang sesekali juga mencuri kesempatan untuk tampil sedikit playful. Beberapa bagian memang terasa kurang digali tapi jika menilik hasil akhir serta target yang ingin dicapai oleh Mitre sejak awal maka kinerja mereka terasa oke, termasuk para korban dan juga pelaku. Karena fokusnya sendiri memang mengeksploitasi karakter untuk menunjukkan sisi kelam di balik peristiwa tersebut.


Eksploitasi yang berhasil ditangani dengan baik pula oleh para Aktor, terutama dua pemeran utamanya, Ricardo Darín dan Peter Lanzani di mana nama pertama sukses besar menampilkan gravitas memikat pada the closing arguments, sukses membuat saya terpaku pada tiap kata pada kalimat yang ia ucapkan. Hal yang menguntungkan Mitre yang sejak awal mendorong pertempuran kata-kata menjadi pesona utama script yang ia tulis bersama Mariano Llinás itu. Mitre juga berhasil membuat narasi konsisten low key meski dikelilingi oleh score dan visual seperti production design yang kerap mencuri atensi, menguncimu pada exciting areas of conflict and works through them successfully with respecting both parties and the characters untuk mengangkut informasi dan emosi tentang pertarungan antara si baik versus si jahat.

Overall, ‘Argentina, 1985’ adalah film yang memuaskan. Courtroom thriller tentang apa yang mungkin merupakan "momen tergelap" dalam sejarah Argentina, menggunakan formula klasik Sutradara Santiago Mitre berhasil menyajikan secara cantik perjuangan versus rintangan yang dipenuhi horror dalam bentuk terror oktan rendah, kisah David melawan Goliath yang berhasil menyeimbangkan excitement, thrill, dan juga humor dengan menggunakan humanity untuk menyajikan emosi, salah satu hal penting bagi jenis film seperti ini. Terutama meraih target utama Mitre sejak awal, menunjukkan sisi kelam pemerintahan Argentina kala itu lewat Trial of the Juntas yang juga menjadi wake up alarm bagi kamu, atau kita, agar tidak terlena. Segmented.




 

2 comments :

  1. “However, you'll be the prosecutor on the most important trial of Argentina's history.”

    ReplyDelete
  2. OOT:

    1985: Argentina’s democratic transition, with the judicial trial of the members of the de facto military government that ruled during the dictatorship.
    1986: Argentina won the World Cup.

    2021: Argentina’s ruling Peronist party lost its majority in Congress, for the first time in almost 40 years, to the widespread anger over high inflation and rising poverty.
    2022: Argentina won the World Cup.

    ReplyDelete