06 August 2022

Movie Review: Thor: Love and Thunder (2022)

“Eat my hammer!”

Tidak terasa karakter superhero Thor kini tiba di film keempatnya, tapi menariknya dengan jumlah yang tergolong cukup banyak itu pesona Thor sendiri masih belum mampu untuk berdiri sejajar dengan karakter besar Marvel lain seperti Iron Man dan Captain America. Hal tersebut imbas dari perubahan yang coba dilakukan Marvel, awalnya didorong sebagai karakter yang condong serius dengan "dunia" yang kelam, di film ketiganya berpindah haluan dengan suntikan komedi ala Taika Waikiti. Image dan pesona Thor juga kena dampaknya, si tangguh yang super serius itu masih tetap tangguh namun kini cenderung lebih nyaman tampil sebagai superhero yang gemar bercanda, layaknya komika. Tapi bukankah beberapa temannya juga begitu? ‘Thor: Love and Thunder’: expensive sketch parade.


Thor (Chris Hemsworth) kini masih berpatroli bersama the Guardians of the Galaxy untuk menolong penduduk tiap planet yang mereka singgahi, meskipun kerap kali aksi yang dilakukan Thor justru lebih sering menciptakan kerusakan dan membuat Star-Lord (Chris Pratt), Drax the Destroyer (Dave Bautista) dan rekan mereka lainnya merasa kesal. Tapi petualangan mereka itu harus berakhir, Thor lalu berpisah untuk kembali ke New Asgard yang kini di bawah pimpinan Valkyrie (Tessa Thompson) menjadi semakin berkembang. Tapi ternyata Thor bukan satu-satunya yang datang maupun kembali di New Asgard, salah satunya Dr. Jane Foster (Natalie Portman) yang didiagnosis menderita kanker stadium empat.

Telah menyerah dengan perawatan medis Jane berharap Mjolnir, palu Thor yang telah dirusak oleh Hela, dapat menyembuhkannya. Rencana itu membuahkan hasil karena Mjolnir ternyata memiliki “koneksi” dengan Jane dan bisa membantu mantan kekasih Thor tersebut sebelum New Asgard dilanda masalah. Satu lagi sosok yang tiba adalah Gorr the God Butcher (Christian Bale), ia kesal karena tidak mendapat pertolongan dari para dewa sehingga putrinya yang bernama Love tewas di padang gurun. Berkat bantuan the god-killing Necrosword, kini Gorr memiliki kekuatan yang seperti memanipulasi bayangan dan menciptakan monster dan ia bersumpah untuk membunuh semua dewa, termasuk Zeus (Russell Crowe).

Merekrut Christian Bale untuk memerankan karakter Gorr the God Butcher mungkin merupakan salah satu keputusan terbaik yang diambil Marvel Studios bagi Cinematic Universe milik mereka, karena Oscar winner itu tidak hanya punya komitmen yang tinggi tapi juga aura dan pesona yang kuat. Seperti saat ia menurunkan banyak berat badan dalam persiapan perannya di ‘The Machinist’ di mana ia harus mendapatkan kembali 45 kg otot badannya dalam rentang waktu beberapa bulan saja untuk lanjut memerankan Bruce Wayne di film ‘Batman Begins’. Christian Bale adalah salah satu outstanding stars di generasinya, jadi tidak heran tidak butuh waktu lama bagi Gorr untuk langsung meraih atensi penonton, pembunuh para dewa itu Bale bentuk jadi salah satu musuh dengan motivasi yang kuat dan menarik di dalam MCU sejauh ini.


Yang juga membuat film ini awalnya terasa seperti Gorr the God Butcher very own film, meskipun setelah itu muncul Thor yang mengingatkan para penonton bahwa ini merupakan film tentang dirinya. Caranya sama karena tidak ada perubahan yang diterapkan oleh Sutradara Taika Waititi di sini, yakni dengan made fun of the main character di awal, lalu narasi membawa masuk masalah yang kemudian diakhiri oleh babak ketiga dengan sedikit lebih dramatis. Kali ini Taika Waititi seperti lebih leluasa dalam bermain-main dengan tone, menelajangi the God of Thunder dengan selipan banyak funny gags di dalam sebuah misi yang sebenarnya sangat sederhana. Bahkan jika tidak ada "tragedi" yang dibawa oleh Gorr di awal maka ini akan terasa layaknya sebuah piknik berisikan reuni yang mencoba saling menyembuhkan satu sama lain.

Taika Waititi sendiri memang Sutradara dengan komedi sebagai citra utamanya, dan kesuksesan ‘Thor: Ragnarok’ yang lalu membuatnya tampak semakin berani untuk berekspresi menggunakan karakter superhero. Oke memang, script yang ditulis oleh Taika bersama Jennifer Kaytin Robinson itu tampak menjanjikan di awal, dan seperti yang saya mention tadi bahwa Gorr sejak awal langsung berhasil mengajak penonton masuk ke dalam sebuah rencana berbahaya miliknya, menjadi jangkar bagi taruhan besar di dalam cerita. Tapi “keleluasaan” yang Taika miliki justru membuat ini jadi terasa terkunci di satu sisi, yakni komedi dan menyebabkan narasi tidak seimbang karena sikap tidak-ada-yang-berbahaya-jadi-santai-saja. Alhasil, ‘Thor: Love and Thunder’ lebih terasa seperti sebuah parade sketsa tanpa taruhan berbahaya.


Betul bahwa upaya menyelamatkan dunia bukan image film mandiri seorang Thor, yang lebih gemar menampilkan self-irony secara santai, tapi dengan adanya Gorr dan kembalinya Jane Foster sebenarnya cerita punya potensi besar untuk setidaknya tampil multi-layered dan terasa exciting, tapi sayang sekali eksekusinya terasa datar. Tentu saja cerita dengan emosi memikat dari sebuah film superhero adalah sebuah bonus, itu bukan yang mayoritas penonton harapkan mereka peroleh dari jenis film seperti ini. Tapi sangat disayangkan dengan kondisi punya seorang angry villain with so much dramatic potential, plus Jane of course, tidak ada punch menawan sebagai penyeimbang bagi elemen lain, yakni komedi yang seperti not bad visual itu sangat dominan dan berkuasa penuh sejak awal, tampil layaknya parade komedi.

Beberapa memang terasa sedikit anarkis tapi mayoritas dari mereka sukses bekerja dengan baik membuat penonton tertawa. Dari the Asgard theater yang melibatkan Luke Hemsworth, Matt Damon, dan Melissa McCarthy, pop culture gag menggunakan pun nama Aktris Jane Fonda dan Jodie Foster, kisah cinta segitiga antara karakter utama, Mjolnir, dan Stormbreaker, keceriaan yang terpancar dari banter antara Thor dan Korg, dan tentu saja last but least, si kambing. Berbagai sumber lelucon tersebut membuat elemen komedi terasa kuat, celebration of good and memorable humor. Tapi komedi yang terlalu mendominasi membuat jadi sedikit sulit to take anything about this film seriously, padahal ada cerita tragis yang dibawa Jane Foster dan juga Gorr, yang marah and wants to punish everyone. Tidak ada keseimbangan antara dua elemen utama cerita, and there's just no friction di elemen drama.


Tidak heran jika babak akhir terasa sedikit dipaksakan karena sisi dramatic cerita memang kurang dipoles dan selalu mengalah dari comic. Kombinasinya keduanya juga tidak selalu kuat, tone narasi sering mengalami extreme shifts di mana berbagai tingkah laku konyol karakter yang menghibur itu berjalan bersama isu eksistensial yang dialami karakter, at random. Itu mengapa tidak ada kesan epic dan juga heroik, bukan karena dia dominan komedi tapi tanpa gesekan yang menarik it becomes a frustratingly inconsistent self-mockery story. Bahkan Gorr yang diperankan dengan baik oleh Christian Bale kurang dimanfaatkan, setelah perkenalan yang oke itu justru bahaya yang ia hasilkan terasa seperti sebuah hipotesis belaka. Chris Hemsworth is good, Russell Crowe tampil oke dalam peran kecil yang dibesar-besarkan itu.

Overall, ‘Thor: Love and Thunder’ adalah film yang cukup memuaskan. Bergerak cepat dan kerap kali tonally inconsistent, Taika Waititi memanfaatkan dengan baik keleluasaan yang ia punya dalam membentuk elemen komedi film ini dengan tetap berpedoman pada Marvel’s winning formula, melanjutkan pola humor yang sudah dibentuk di film sebelumnya dan hit the target very well. Tapi sayangnya itu tidak terjadi di elemen drama, the balance isn't quite right tanpa gesekan menyenangkan pada konflik. Alhasil Gorr never really threatening, Jane's tragic storylines never look endearing, sehingga tidak ada punch yang kuat di puncak. Menarik untuk dinantikan parade sketsa mahal macam apa yang berikutnya akan Marvel coba sajikan dengan menggunakan salah satu anggota original Avengers yang masih aktif ini.





1 comment :

  1. "Remember what I told you. If you ever feel lost, just look into the eyes of the people that you love."

    ReplyDelete