01 July 2022

Movie Review: The Black Phone (2021)

“Sometimes my dreams are right.”

Apakah hantu harus selalu jadi sosok yang misterius di dalam sebuah film? Yang sepanjang total durasi seperti bermain petak dan umpet dengan karakter manusia, sembunyi dan sesekali sekelibat terlihat, lalu tiba-tiba muncul. Umumnya memang demikian, tapi sebuah film horror yang bagus biasanya tidak murni bertumpu pada teknik tersebut, mereka juga akan berusaha membangun atmosfir mencekam dan mencoba membuat penonton bermain dengan paranoia menggunakan cerita. Hadir misteri utama, mengajakmu terlibat di dalam sebuah penelusuran yang kemudian sesekali menggedor jantungmu, film ini punya premis yang tergolong sederhana tapi variatif dalam menebar terror. ‘The Black Phone’: an effective horror with infectious alertness.


Lemparan bola darinya memang berhasil dipukul oleh Bruce (Tristan Pravong), jadi home run dan menyebabkan timnya kalah, tapi hal tersebut tidak membuat Finney (Mason Thames) membenci lawannya itu, yang celakanya tidak lama berselang justru tidak ada kabar dan menghilang. Pinggiran kota Denver memang sedang dihebohkan dengan kasus penculikan anak dengan pelaku utama dijuluki "The Grabber". Kasus yang menimpa Bruce menariknya justru muncul di dalam mimpi Gwen (Madeleine McGraw), adik Finney yang merasa bahwa ia memiliki kemampuan khusus melalui mimpi.

Sayangnya hal tersebut pula yang kerap membuat Gwen disakiti oleh sang Ayah, Terrence (Jeremy Davies) yang tidak percaya akan hal itu. Berbeda dengan Detective Wright (E. Roger Mitchell) dan rekannya Detective Miller (Troy Rudeseal), keduanya mencoba mewawancarai Gwen meski hasilnya nihil. Ternyata yang terus bergerak cepat bukan hanya pihak kepolisian saja namun “The Grabber” juga, beberapa anak kembali dinyatakan menghilang. Finney sendiri suatu ketika juga mengalami nahas, suatu ketika ia terbangun di sebuah ruang bawah tanah berukuran kecil yang asing dan kedap suara, dengan sebuah disconnected black phone di dinding.

Film terbaru dari Blumhouse Productions ini mengambil dasar kisah dari cerita pendek di tahun 2004 dengan judul sama karya Joe Hill. Mungkin namanya memang kurang begitu familiar di telinga para penonton tapi Joe Hill sebenarnya merupakan anak dari Stephen King, penulis novel yang terkenal di genre horror, fiksi, dan juga fantasi. Ini merupakan film ketiga yang mengadaptasi karya Joe Hill ke layar lebar, di tahun 2013 lalu ada film ‘Horns’ yang dibintangi oleh Daniel Radcliffe dan enam tahun kemudian ‘In the Tall Grass’ yang turut dibintangi Patrick Wilson mencoba mengadaptasi novel berjudul sama yang ditulis Joe Hill bersama sang Ayah. Dan itu belum menghitung serial televisi ‘Locke & Key’ yang tahun ini akan memasuki musim ketiganya. Dan film ini merupakan adaptasi terbaik karya Joe Hill sejauh ini.


Mengapa? Karena eksekusi ciamik dari Sutradara Scott Derrickson, yang sejak debut di tahun 2000 yang lalu perlahan namun pasti semakin mengukuhkan diri sebagai salah satu sineas yang piawai mendaur ulang materi klise di genre horror menjadi sebuah sajian horror yang sukses menakuti-nakuti penonton. Setelah menukangi ‘Doctor Strange’ kini Scott Derrickson kembali ke horror dan tidak ada perubahan yang mencolok dari gaya “bermain” miliknya, justru film ini membuat statusnya tadi terasa semakin kokoh. Banyak mengingatkan saya pada karya Scott Derrickson satu dekade yang lalu, yakni ‘Sinister’ yang sampai saat ini masih menjadi salah satu film horror favorit saya, di sini kembali bermain dengan frightening atmosphere dengan menggunakan masalah yang menarik.

Sangat sederhana sebenarnya yaitu kasus menghilangnya beberapa orang anak secara misterius, tapi konflik yang sangat klasik di genre horror itu dibekali oleh Derrickson dengan subjek menarik yang kemudian membawa penonton masuk ke dalam sebuah penelusuran. Babak awal fokus membentuk misteri, seperti yang dulu ia lakukan pula di ‘Sinister’ kali ini Derrickson memberi ruang yang tergolong luas tidak hanya bagi masalah yang dihadapi Finney tapi juga apa yang dialami oleh Gwen dengan mimpinya itu, serta tentu saja Ayah mereka yang mengaitkan kemampuan sang Anak dengan Ibu mereka. Kesan mistis terbentuk dengan baik tanpa harus menguras banyak durasi, berkembang menjadi bagian penting cerita yang lantas bergeser ke thriller ruang sempit yang mengerikan.  


Penonton tidak hanya ditempatkan pada posisi menunggu saja di sini, tapi juga ikut mencoba mengamati dan meneliti apa yang telah dan sedang terjadi ditemani hal-hal ganjil yang menarik. Di sini peran dari hantu diputar, persahabatan antara Bruce dan Finney di bagian pembuka ternyata juga bukan sekedar pintu masuk saja namun juga berkembang menjadi menu utama di babak selanjutnya. Yang juga jadi sumber emosi manis bagi cerita, become the heartbeat yang ikut berkontribusi menciptakan berbagai thrill menegangkan ketika karakter utama telah masuk ke arena utama. Itu membuat proses mencari solusi yang dilakukan terasa menyenangkan, apalagi peran dari telepon berwarna hitam itu yang digunakan dengan baik oleh Derrickson, untuk sedikit memompa detak jantung setiap kali ia berdering.

Sebelum akhirnya menggedor paranoia milikmu secara kencang, mengejutkanmu dengan well-crafted and perfectly timed shock. Atmosfer cerita yang tercipta di sini sangat menawan, meskipun kerap kali narasi berpindah antar konflik namun kesan mencekam tidak pernah terasa surut, justru secara bertahap terus berkembang jadi semakin ketat berkat editing yang memikat. Score gubahan Mark Korven berperan penting dalam pencapaian itu, tapi camera work di bawah arahan Brett Jutkiewicz serta sound design adalah dua elemen teknis yang paling cantik di film ini, mampu membuat penonton merasa dekat dengan karakter yang menularkan alertness. Saya juga suka bagaimana perasaan hati sosok The Grabber ditunjukkan lewat ekspresi wajah di topengnya, detail yang membantu atmosfir chilling gets under your skin.


Yang tidak kalah mengejutkan dan tidak saya duga di awal adalah bagaimana selain menakuti-nakuti penonton di sisi lain Derrickson juga berhasil membuat beberapa pesan yang terselip dalam cerita untuk berbicara. The violence seems real, the shock hit the spot, mereka bersanding dengan beberapa pesan dan juga isu yang menarik, salah satunya adalah solidaritas, hadir dalam bentuk yang membuat konflik klasik itu jadi terasa segar. Isu stronger together didorong ke posisi paling depan di dalam pertarungan yang pada dasarnya merupakan setan melawan setan itu, surprisingly touching sama dengan pesan tentang school bully dan juga keluarga disfungsional. Tidak terlalu detail memang tapi ketika semuanya berakhir punch mereka terasa kuat dan membekas, terutama yang terakhir tadi yang terjebak di antara represi dan kesedihan.

Bagaimana isu dan pesan itu terasa membekas juga tidak terlepas dari peran para aktor, yang di balik hiruk-pikuk atmosfir mencekam itu berhasil membuat karakter mereka bukan hanya sekedar pion belaka. Terutama dalam hal melakukan apa yang saya sebutkan tadi, menularkan rasa waspada ke penonton, tugas yang dilaksanakan dengan baik oleh Mason Thames, he is quite a discovery. Madeleine McGraw mencuri perhatian sebagai sosok religius yang percaya diri, kemampuan unik Gwen dibentuk sesekali menjadi komedi tapi juga berfungsi sebagai jembatan penghubung cerita menuju babak akhir. Jeremy Davies dan lima pemeran anak lainnya juga tergolong oke membentuk karakter mereka, seperti yang dilakukan oleh Ethan Hawke, meski perannya terbatas tapi menyuntikkan aura intimidatif yang kuat.

Overall, ‘The Black Phone’ adalah film yang memuaskan. Duduk masalah sederhana tapi kuat, hal-hal ganjil dibentuk oke dan punya koneksi yang tertata dengan baik, dibungkus dengan frightening atmosphere serta thrill yang ketat dan well-crafted plus perfectly timed shock, Scott Derrickson berhasil menyajikan sebuah film horror yang sangat efektif dalam bermain dengan paranoia penontonnya. Dengan sedikit nafas coming-of-age drama di mana villain misterius layaknya Pennywise menjadi jangkar utama, narasi bermain seperti permainan teka-teki yang creepy, something bad is about to happen dan penonton dibuat terus waspada, konstan membuatmu merasa tidak nyaman to finally gets under your skin in the third act. Scott Derrickson kembali membuktikan bahwa dia adalah salah satu Sutradara saat ini dengan teknik pintar dan sangat efektif dalam meneror penontonnya.





1 comment :