21 June 2022

Movie Review: Jurassic World Dominion (2022)

"It's always darkest just before eternal nothingness."

Fair to say bahwa tujuh tahun lalu ‘Jurassic World’ muncul dan berhasil memenuhi ekspektasi mayoritas penonton, membuktikan bahwa beban berat yang sejak awal harus ia tanggung bukan sesuatu yang mustahil untuk diatasi. Membuka kembali gerbang menuju dunia para dinosaur, kala itu konsep yang coba didorong tergolong sukses walau memang hadir dengan pesona yang tidak sekuat the original. Ditunjang dengan visual yang menyenangkan ‘Jurassic World’ berhasil menjadi popcorn thriller yang menghibur dan tentu saja, mesin pencetak cuan, prestasi yang juga berhasil dilakukan pula oleh sekuelnya, ‘Jurassic World: Fallen Kingdom’ meski sayangnya not necessarily well received by critics. Tapi angka box office tetap besar, dan sekuel jelas potensi yang tidak boleh dibuang. ‘Jurassic World Dominion’: a tame finale.


Tugas yang kini diemban oleh penjinak raptor Owen Grady (Chris Pratt) bersama aktivis dinosaur Claire Dearing (Bryce Dallas Howard) kini jadi lebih rumit. Tidak hanya karena kini para dinosaurs telah keluar dari pulau Isla Nublar dan menjalani kehidupan mereka berdampingan dengan para manusia, tapi Owen dan Claire juga harus merawat gadis remaja bernama Maisie Lockwood (Isabella Sermon). Maisie merupakan bagian dari proyek rekayasa genetika dengan menggunakan metode kloning, jadi tidak heran jika dirinya kini menjadi target dari beberapa kelompok yang ingin menculiknya, salah satunya adalah Biosyn Genetics.

Oleh sebab itu Owen, Claire, Maisie bersama Blue serta Beta memilih tinggal di kabin terpencil di daerah the Sierra Nevada. Sementara itu ahli biologi Ellie Sattler (Laura Dern) menyelidiki bahwa ada potensi bahaya dari proyek rekayasa genetika tersebut, yang lantas menuntunnya ke Biosyn Genetics yang dipimpin oleh Dr. Lewis Dodgson (Campbell Scott). Rival InGen tersebut disinyalir menjadi “dalang” dari kemunculan kembali giant locusts yang telah punah, dan untuk menemukan jawaban Ellie meminta bantuan mantan rekannya Alan Grant (Sam Neill), seorang paleontologist serta mathematician bernama Ian Malcolm (Jeff Goldblum).

Tentu saja kita harus mengacu pada nama yang digunakan di judul, bahwa series terbaru mengusung “world” ketimbang “park” yang digunakan tiga film pendahulu mereka itu. Jadi tidak heran jika kemudian cerita akan coba dikembangkan menjadi semakin luas, tidak hanya terbatas sekedar bermain di dalam pulau yang terpencil. Dan itu telah dipersiapkan oleh Sutradara Colin Trevorrow bersama kompatriotnya dalam menyusun cerita, Derek Connolly di film ‘Jurassic World: Fallen Kingdom’, menciptakan dunia baru di mana manusia dipaksa untuk hidup berdampingan dengan para dinosaur, coexist and peacefully. Jelas itu sebuah konsep yang menarik, tidak hanya membuat penasaran tentang bagaimana society itu akan bekerja namun juga otomatis menciptakan banyak ruang bagi skenario “clash” antara manusia dan para dinosaur.


Tapi script yang ia susun bersama Emily Carmichael itu ternyata mengandung satu misi lain bagi Colin Trevorrow, atau lebih tepatnya satu ruang lain di dalam cerita untuk menempatkan senjata rahasia. Apa itu? Nostalgia. Sebuah strategi dan teknik yang sangat klasik serta cenderung klise sebenarnya, mencoba membawa kembali dua karakter ikonik di Jurassic Park trilogy dengan misi utama mencoba membuat penonton bermain dengan kenangan, terlepas apakah kamu merupakan penonton di era tersebut atau baru menonton Jurassic Park trilogy di tujuh atau delapan tahun lalu. Beberapa judul film bisa kita mention, contohnya Star Wars: The Force Awakens yang tergolong berhasil, tapi itu karena ada kelanjutan yang telah ditata dengan baik, bukan sekedar old figures revived just for a mere reunion. Itu yang terjadi di sini.

Somehow it's nice to be able to see the old characters again, yang bahkan terhitung oke dan menjadi one of the strengths film ini. Misi tersebut berhasil, Colin Trevorrow memberikan fan service dengan kualitas nostalgia yang oke dan memberi booster bagi pesona karakter manusia di dalam perburuan “monster” di sini, tapi di sisi lain membuat “the new characters” jadi terasa kurang menarik, Owen dan Claire terasa kurang kuat di sini. Tapi sebenarnya bukan itu masalah yang terasa mengganggu di film ini, melainkan dari elemen cerita. Ketimbang meneruskan petualangan dengan menggunakan arah yang sama, Colin Trevorrow dan tim penulis mencoba memberi sesuatu yang baru menggunakan karakter hasil rekayasa genetika itu, dan celakanya justru memiliki peran yang lebih penting ketimbang para dinosaurs. Itu boomerang.


Padahal ‘Jurassic World Dominion’ menyajikan variasi dinosaurs yang lebih banyak jika dibandingkan pendahulunya (check me if i'm wrong), tapi mereka justru terasa “ompong” dan statusnya terkesan seperti sidekick. The biggest problem is not the staging, tapi screenplay yang dipenuhi dengan unnecessary story, dari konspirasi hingga kloning dan aksi penculikan yang menggunakan cukup banyak durasi. Alhasil tidak banyak waktu yang tersisa untuk sosok yang seharusnya menjadi pusat utama, yakni para dinosaurs dan karakter protagonis manusia, narasi lebih asyik bermain layaknya action spy (?). Potensial sebenarnya, suntikan materi baru yang terasa segar, tapi yang “dibentuk” before an event terasa lemah untuk menyatukan semuanya di akhir. Terutama di paruh pertama ketika storylines dibuat berjalan parallel.

Dan semakin celaka karena dua sub-cerita terlihat seperti berdiri sendiri and have nothing strong to do with each other, bergerak low-tension narasi terasa kelebihan beban dan kebingungan, dari karakter manusia, motivasi villain, hingga aksi dari karakter dinosaurs itu sendiri, narasi pun terasa putus asa di cukup banyak bagian meskipun bergerak dengan energi yang tidak buruk. Script memang kewalahan tapi untung saja Colin Trevorrow dan timnya bekerja dengan baik di sisi lainnya, yakni visual, mengumpulkan berbagai dinosaurus yang berhasil dibentuk menjadi sumber terror yang oke saat tampil, some of them so terrifying terutama upgrade pada T-Rex. Setting atmosfir cerita juga oke, membuat action scene terasa dinamis dan tentu keep audience entertained bersama referensi nostalgia film "Jurassic Park" pertama.


Salah satunya tentu saja dengan kemunculan karakter Dr. Ellie Sattler dan Dr. Alan Grant yang diperankan dengan baik oleh Laura Dern serta Sam Neill, meski memang peran mereka seperti dibatasi. Hal yang sama juga dialami oleh Chris Pratt bersama Bryce Dallas Howard, ruang mereka dibatasi demi pengembangan plot, walaupun chemistry mereka masih terasa mumpuni. Yang dapat bergerak lebih bebas justru Jeff Goldblum, mencuri perhatian di setiap adegan ketika teori tentang akhir dunia dan kekacauan itu muncul di layar. Yang menarik ialah porsi Campbell Scott, cukup oke sebagai tech CEO tapi hanya berhasil menjadi a dreary but plain villain. Mereka punya charisma yang tidak buruk, tapi hasil akhirnya mostly just too short, semua semakin lengkap dengan ending yang cheesy dan membuat apa yang seharusnya jadi sebuah grand finale ini justru berakhir mengecewakan.

Overall, ‘Jurassic World Dominion’ adalah film yang kurang memuaskan. Beberapa shots seperti adegan di danau es itu memang terasa kuat, dan dari segi visual film ini juga jauh dari kata mengecewakan. Tapi hal yang sama tidak exist di bagian cerita, yang overloaded and quite tedious, “ceroboh” dalam hal konten atau materi cerita sehingga narasi kurang konsisten terasa menarik apalagi menegangkan. Terasa mengecewakan mengingat sudah dibantu comeback karakter veteran serta dibantu dengan pesona karakter dinosaurs yang kuat, mega-franchise ini berakhir dengan cara yang "lucu" ketimbang sebuah ledakan yang kuat dan keras. Still worth seeing but surely not a finale this franchise deserves.






1 comment :

  1. "We're racing toward the extinction of our species. We not only lack dominion over nature, we're subordinate to it."

    ReplyDelete