15 April 2022

Movie Review: Nitram (2021)

"Just because I don't cry doesn't mean I'm not hurting."

Tentu ada alasan mengapa tunagrahita atau individu yang memiliki keterbelakangan mental dikategorikan sebagai Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), karena fungsi kondisi intelektualnya yang terganggu menjadi hambatan untuk memproses hal-hal normal, bukan hanya dari segi fisik saja tapi juga secara emosional, mental, sosial, serta potensi kecerdasan. ABK yang tidak menerima “pelayanan” terfokus sejak kecil cenderung akan mengalami kesulitan dalam adaptasi perilaku yang muncul di masa perkembangannya. Diklasifikasikan ke dalam tiga kelas yakni ringan, sedang, dan berat, kemampuan intelektual umum dan adaptasi sosial yang di berada bawah rata-rata bisa menjadi boomerang yang berbahaya jika tidak diberikan pengawasan khusus. ‘Nitram’: being independent doesn't mean being alone.


Mereka yang belum mengenal sosok Nitram (Caleb Landry Jones) mungkin akan beranggapan bahwa anak muda itu merupakan orang gila, tapi sepertinya orangtua hingga tetangga mereka sudah paham bahwa tiap aksi dari Nitram yang terkadang liar dan aneh adalah dampak dari keterbelakangan mental miliknya. Contohnya saja ketika Nitram sedang bergembira bermain kembang api, sang Ibu (Judy Davis) hanya bisa terdiam sedangkan sang Ayah (Anthony LaPaglia) menunggu di meja makan dengan sabar anak mereka selesai bergembira. Sebelum makan Nitram diminta untuk ganti baju, dan ketika kembali ke meja makan ia justru tidak menggunakan baju dan celana.

Sang Ibu ingin anaknya itu untuk bersosialisasi tapi permintaan tersebut juga tidak sepenuhnya aman, karena “kesulitan” yang dimiliki Nitram. But that intellectually disabled young man tidak menyerah, ia mencoba menawarkan jasa memangkas rumput kepada para tetangga, dan dari sana ia bertemu dengan Helen (Essie Davis), mantan aktris yang kaya raya. Nitram merasa nyaman ketika berada di dekat Helen, meskipun tidak tahu jenis hubungan apa yang sedang ia jalani dengan Helen namun Nitram akhirnya punya mimpi yang ingin ia raih, salah satunya traveling bersama ke Los Angeles. Sang Ibu kaget dengan hubungan anaknya dengan wanita berusia lebih tua seperti Helen, sosok yang sebenarnya berhasil menjadi “rumah” bagi Nitram.  

Nama Nitram sendiri memang punya makna seorang anak laki-laki dengan tingkah laku yang menjengkelkan, hal tersebut langsung dapat kamu temukan sejak awal ketika Sutradara Justin Kurzel bersama Screenwriter Shaun Grant menaruh interview ketika Nitram masih kecil. Kala itu ia dirawat karena terluka akibat bermain kembang api, tapi ketika ditanya apakah dia learned a lesson dari kejadian tersebut jawaban dari Nitram adalah “Yes, but I’m still playing with it.” Seolah belum cukup, interview tersebut langsung disambung dengan scene ketika Nitram dengan wajah bahagianya bermain kembang api di halaman belakang rumah, dalam jumlah cukup banyak dan membuat tetangga sekitar marah. Tapi menariknya di sana ada sosok Ibu dari Nitram dan yang ia lakukan hanya berdiri terdiam.


Adegan makan bersama keluarga juga menjadi tempat bagi penonton untuk semakin memvalidasi bahwa ada yang “kurang beres” dengan pria muda bernama Nitram itu. Sesuatu yang sebenarnya tidak begitu penting bagi penonton yang telah mengetahui bahwa film ini mengambil basis cerita dari sebuah peristiwa nyata di negara bagian Tasmania, Australia, di tahun 1996. Saya ada di kelompok tersebut, jadi tidak heran jika fokus yang saya taruh pada ‘Nitram’ adalah bagaimana karakter utama berjuang melawan “keterbelakangan mental” yang ia miliki itu. Berjuang di sini dalam konteks yang sangat sederhana, saat Nitram seperti tidak mendapatkan “pelayanan khusus” dari orangtuanya yang tampak sudah lelah itu ia pun mulai mencoba mencari rasa bahagia di dunia luar. Tanpa berada di bawah pengawasan ketat.

Nama pelaku peristiwa keji di tahun 1996 tersebut adalah Martin Bryant, and Nitram is “Martin” backwards. Agar terhindar dari spoiler kamu silahkan google saja nama tersebut, anak muda yang aksi kejinya mengubah sebuah aturan hukum di Australia kala itu. Tapi sangat jelas di sini bahwa baik itu Justin Kurzel maupun Shaun Grant tidak mencoba melakukan glorifikasi atas peristiwa tersebut, justru mencoba untuk meningkatkan awareness terhadap betapa pentingnya anak berkebutuhan khusus mendapatkan pelayanan yang tepat di masa pertumbuhan, terutama ketika emosi, mental, social skill dan juga potensi kecerdasan mereka sedang berkembang. Di sini spotlight tertuju pada gejolak batin seorang Nitram, ketika berhasil menemukan “gembala” di dalam diri Helen namun bernasib nahas dan akhirnya membenci dunia.


Itu mengapa ada ironi yang sangat kuat pada scene terakhir itu, ketika Ibunya Nitram hanya bisa duduk diam ketika berita aksi keji itu disiarkan di televisi. Nitram adalah wujud dari kegagalan orangtua dalam mendidik anak mereka yang punya kebutuhan khusus, sikap diam yang seharusnya tidak boleh ada karena justru mempersilahkan sang anak untuk mandiri dapat membuatnya semakin dekat dengan bahaya. Helen sebenarnya memberikan treatment yang tidak jauh berbeda, dia mempersilahkan Nitram untuk mendapatkan apa yang ia inginkan tapi ada usaha “merangkul” di sana dan itu absen di dalam rumah tempat Nitram berasal. Meskipun rencana keji yang coba disusun itu sudah exist di paruh pertama namun tidak muncul ledakan karena Nitram tidak terpicu, karena ia berada di bawah kendali Helen secara konsisten.

Konsistensi adalah salah satu kunci penting di kondisi seperti itu, disajikan secara implisit oleh Justin Kurzel tapi mudah untuk dipahami. Begitu pula ketika akhirnya tikungan tajam muncul dan mengubah hidup Nitram, pria dengan “keterbelakangan” emosi itu kesulitan untuk memilah mana yang baik, dan mana yang buruk. Memang ada momen ketika ia menunjukkan rasa sayangnya kepada sang Ayah, namun upaya itu ia lakukan secara liar. Pada akhirnya logika dan perasaan seperti tidak memiliki batasan, menghambat Nitram untuk tetap waras, aksinya di akhir merupakan wujud dari ledakan penuh rasa bencinya kepada dunia. Itu hadir dalam bentuk runtutan proses yang menarik, ada pesona yang kuat di sana menemani proses mengamati perjuangan karakter utama menemukan bahagia yang ia ingin rasakan.


Ditata dengan baik oleh Justin Kurzel sebagai sebuah character study, film yang berhasil membawa pulang delapan piala di ajang AACTA Awards akhir tahun lalu ini juga menjadi showcase bagi para aktor. Bintang utamanya tentu saja Caleb Landry Jones, langsung mengaktifkan mode liar Nitram sejak awal dan membuat penonton merasa waspada pada tiap aksinya, seolah ada the Joker yang hidup dalam tubuhnya yang menangis akan kasih sayang dari orang-orang di sekitarnya. Kinerja akting yang mencengkeram bukan hanya berasal dari Caleb Landry Jones, pun demikian dengan Judy Davis dan Essie Davis, porsinya memang tidak besar tapi kesempatan mereka gunakan dengan sangat baik untuk menunjukkan fungsi dari orangtua serta orang lain bagi mereka yang punya keterbelakangan mental. Sedangkan Anthony LaPaglia punya dua scene di mana ia bersinar terang.

Overall, ‘Nitram’ adalah film yang memuaskan. Berdasarkan kisah nyata yang terjadi disinyalir karena the copycat effect, film ini dikemas secara terampil oleh Justin Kurzel dan tim, baik dari script, akting, hingga divisi teknis untuk tidak menjadi dari kesan sebuah upaya glorifikasi kejahatan. Justru ‘Nitram’ berhasil menjadi sebuah charater study yang mengarahkan lampu sorotnya pada isu tentang bagaimana jika mereka yang punya mentally disabled atau keterbelakangan mental seperti Nitram tidak “dilayani” dengan baik dalam perjuangan menemukan bahagia yang mereka inginkan. Mereka memang berhak untuk mandiri, tapi bukan berarti melepas mereka berjuang sendirian. Segmented.





1 comment :