Salah
satu pertanyaan yang timbul setelah menyaksikan empat episode pertama
‘Thirty-Nine’ yakni apakah semua isu dan konflik beserta lanjutan yang mungkin
timbul akan diselesaikan hanya dalam 12 buah episode saja? Ketika bertemu
dengan kejutan besar di episode pertama sebenarnya saya justru merasa bahwa 12
episode merupakan jumlah yang sangat tepat, mengingat kala itu yang baru muncul
adalah duduk masalah dari masing-masing karakter. Ekspektasi saya bahwa mungkin
setiap karakter akan diberikan porsi yang berbeda dengan Mi-jo yang
mendominasi, lantas spotlight utama tertuju pada upaya tiga orang sahabat
sebisa mungkin menikmati kesempatan mereka yang tersisa. Tentu kisah cinta
hadir sebagai salah satu bagian menu utama, tapi ternyata berbagai supporting
side story punya porsi besar pula.
Hal
tersebut yang membuat saya terkejut (lagi) karena setelah berada di dua pertiga
total episode saya justru merasa apa yang terjadi di sini tidak lagi sebatas
sahabat yang mencoba membantu rekan mereka menikmati kesempatan hidup
terakhirnya saja. ‘Thirty-Nine’ justru mulai terasa seperti gelombang besar
masalah yang datang secara bersamaan yang selama ini bersembunyi di dasar
lautan, dan ketika karakter telah “membuka” pintu maka mereka lalu hadir untuk
menyerbu. The new beginning merupakan tema utama bagi tiga karakter utama
wanita, meskipun langkah mereka berbeda-beda tapi jelas mereka berangkat dari
titik start yang sama, yakni momen ketika usia 30-an mereka akan segera usai.
Yoo Yeong-ah mungkin ingin karakter melangkah maju setelah menyembuhkan dahulu
luka di masa lalu. Ide yang menarik.
Alhasil
terciptalah sebuah ruang besar di mana berbagai masalah mulai muncul dan
menjalin koneksi, yang jika dipilah-pilah tergolong oke untuk sekedar exist di
dalam cerita, sayangnya tidak semua dari mereka terasa menarik. Di sini
pertanyaan di awal tadi kembali muncul karena dengan total 12 episode, Kim
Sang-ho serta Yoo Yeong-ah seperti harus membuat semuanya terasa rumit tapi
dalam tampilan yang ringkas, membuat tiap potongan masalah bergerak maju namun
tanpa berlama-lama dalam hal eksploitasi. Saya sendiri bukan tipe penonton yang
benci dengan dramatisasi, itu jika diterapkan secara tepat justru dapat memoles
sinar dan pesona karakter, pesan, dan isu menjadi semakin menarik lagi, dan
sangat jarang sebuah serial televisi dapat membuat saya merasa haus akan
eksploitasi yang sedikit lebih besar porsinya.
Tentu
saja segala sesuatu yang berlebihan akan lebih mudah berakhir jadi sesuatu yang
kurang baik, mungkin itu alasan mengapa baik dari script dan eksekusinya Kim
Sang-ho serta Yoo Yeong-ah seperti mencoba tidak masuk ke sana. Tapi yang
ganjil adalah ekposisi di tiap bagian cerita, termasuk konflik serta isu yang
kini dihadapi oleh masing-masing karakter justru menstimulasi rasa ingin saya
pada munculnya dramatisasi yang lebih jauh. Yang disajikan berbeda dari itu,
terasa sederhana dan cenderung mendorong point-point pentingnya saja, tampil
dengan energi yang tetap terasa stabil terutama humor yang klise tapi manis.
Dan sebagai slice of life drama maka teknik naratif dengan urutan yang jumpy
serta pengembangan plot dan konflik yang kurang besar merupakan sesuatu yang
wajar. ‘Thirty-Nine’ menggunakan itu.
Yang
terpenting bagi series dengan konsep seperti ini adalah bagaimana ia mampu
membangun dan menjaga momentum pada narasi untuk menuju berbagai ledakan di
dalam cerita. Ambil contoh episode kelima, meskipun jauh dari kesan buruk tapi
pedal rem sedikit diinjak di sana, berisikan berbagai bridge yang menyambungkan
babak pertama menuju babak kedua dengan berbagai pengembangan tipis. Hingga
kemudian tiba di sebuah ledakan besar di bagian penghujung yang menjadi titik
bagi kehidupan Seon-woo memperoleh sorotan lebih lewat So-won. Terkesan tempelan
memang pada awalnya tapi itu juga jembatan menuju ledakan lain ketika Seon-woo
mengambil keputusan besar dan memilih segera “menyembuhkan luka” dari kisah
masa lalu yang berdampak pada hubungan kurang harmonis di dalam keluarganya
Episode
enam pun demikian fungsinya tapi yang membedakan adalah ia terasa lebih manis
dalam hal percintaan, excitement naik ketika Ibu dari Chan-young bertemu
Jin-seok, serta sebuah penutup sebagai penutup dengan baluran emosi yang manis.
Narasinya sendiri kerap berputar-putar di episode ini tapi koneksi benang
merahnya terbangun dengan baik, terutama tahapan menuju puncak emosi di bagian
akhir itu. Ada ledakan emosi yang menawan di sana, tangisan Mi-jo bukan sekedar
mewakili rasa takut saja tapi juga rasa sayang di dalam persahabatan mereka.
Justru momen tersebut menunjukkan nilai perikemanusiaan lewat aksi Seon-joo
yang memberikan mulligan kepada Mi-jo, dan bukan sikap yang mencoba
menormalisasikan infidelity. Meskipun memang yang terjadi setelah peristiwa itu
terasa sedikit aneh: camping!
Situasi
di mana karakter diberi kesempatan untuk mencoba menarik nafas dalam dan
menelaah memang menjadi bagian dari slice of life drama, di episode tujuh itu
juga dialami oleh Joo-hee di mana action untuk resign menjadi pintu masuk
instan bagi kisah cintanya untuk bergerak maju. Saya suka konsep ‘The
Inconvenient Truth’ di episode tujuh, karakter didorong untuk jujur dengan apa
yang mereka inginkan meskipun dapat merasa tidak nyaman pada dampaknya,
termasuk ketika Mi-jo tahu siapa sosok Ibu kandung yang selama ini ia cari,
begitupula ketika Orangtua Chan-young akhirnya tahu akan dua hal, yakni anak
mereka selingkuh dengan suami orang dan umurnya pendek. Hal ini yang terasa
konsisten dari Kim Sang-ho dan Yoo Yeong-ah sejak awal, piawai membentuk
atmosfir cerita dan membentuk momentum.
Karena
meskipun berisikan cukup banyak polemic yang menariknya secara merata berhasil
mencuri atensi dan membuat saya penasaran, inti dari ‘Thirty-Nine’ sejak awal
adalah menampilkan bagaimana tiga karakter utama wanita bersama karakter
pendukung lain, dalam hal ini tiga orang pria itu, berusaha meninggalkan masa
lalu mereka yang ternyata tidak sangat indah, menyembuhkan luka yang ada dan
lantas melangkah maju menatap fase baru, yakni usia 40 tahun. Tidak melulu bahagia
dan tidak semua dari mereka punya kesempatan lebih, tapi bukankah hidup justru
terasa indah saat kamu dapat mensyukuri kesempatan yang diberikan kepadamu? All
you have to do: cherish the opportunity, menghargai makna cukup dan mempersilahkan
tenteram yang berkuasa. Biar senyum jadi senjata, mengembangkan senyuman akan
membawa keberuntungan.
“When we encounter an inconvenient truth, the truth itself isn't what makes us flustered. We become flustered because we finally encounter something ominous that we've strived so hard to bottle up.”
ReplyDelete