21 February 2022

Movie Review: Downfall: The Case Against Boeing (2022)

"Did Boeing put an unsafe plane in the air?"

Pesawat Lion Air dengan nomor penerbangan 610 hilang kontak tanggal 29 Oktober 2018 saat melakukan perjalanan dari Jakarta ke Pangkal Pinang, bangkai pesawat ditemukan di lepas pantai Laut Jawa dan menelan total korban jiwa sebanyak 189 orang. Sekitar empat bulan kemudian sebuah Ethiopian Airlines Flight 302 berangkat dari Addis Ababa juga tidak berhasil mendarat di bandara tujuan di Nairobi, Kenya, jatuh 6 menit sejak lepas landas dan menewaskan seluruh dari 157 penumpang dan awak pesawat. Persamaan dua peristiwa nahas tersebut ialah tipe pesawatnya yakni Boeing 737 MAX, merupakan generasi paling mutakhir dari Boeing 737. 'Downfall: The Case Against Boeing': booing Boeing.


Sebenarnya terbang merupakan salah satu metode transportasi teraman yang dapat dipilih karena jika diukur dengan mengacu pada julah penumpang yang diangkut maka jumlah kecelakaan yang terjadi tergolong cukup kecil. Namun jika kecelakaan terjadi maka konsekuensi bencana yang tercipta jelas sangat besar dengan puluhan hingga mungkin ratusan orang menjadi korban. Hal itu yang menimpa pesawat Lion Air dengan nomor penerbangan JT610 di tanggal 29 Oktober 2018 yang lalu dengan membawa 181 penumpang dan delapan crew. Hal serupa dialami Ethiopian Airlines Flight 302 di tanggal 10 Maret 2019, dari Ethiopia menuju Kenya membawa delapan orang crew serta 149 penumpang. Tidak ada yang selamat di dua peristiwa itu.

Memang beberapa kecelakaan dan insiden penerbangan juga terjadi di antara dua peristiwa tadi, namun yang membuat keduanya banyak mencuri perhatian adalah fakta bahwa pesawat yang digunakan adalah Boeing 737 MAX 8, model terbaru yang memang diciptakan oleh Boeing untuk menjadi rival bagi pesawat baru kompetitor utama mereka, yakni Airbus A320neo family. Boeing 737 MAX mengalami kegagalan berulang pada Maneuvering Characteristics Augmentation System (MCAS), program yang dirancang untuk membantu menciptakan stabilisasi saat penerbangan karena Boeing menemukan bahwa posisi dan ukuran mesin yang lebih besar cenderung mendorong hidung pesawat ke atas selama manuver tertentu.

Disutradarai oleh Rory Kennedy dan ditulis oleh Mark Bailey dan Keven McAlester, hal terbaik yang dilakukan oleh ‘Downfall: The Case Against Boeing’ adalah ketika ia mampu membuat penonton merasa seperti masuk ke dalam proses investigasi yang dilakukan. Hal semacam terkesan sepele, hadirkan saja masalah yang menarik maka akan mudah bagi sineas untuk membuat penonton bertahan hingga akhir, tapi tidak semua berhasil membuat merangsang emosi dan bermain dengan logika penonton, terutama sisi kritis yang menggiringmu ke dalam penelurusan penuh gesekan yang menyenangkan. Film ini sukses melakukan hal terakhir tadi, sajian dokumenter yang dibentuk, ditata, dieksplorasi, dan dieksploitasi dengan baik dengan disertai issues juggling yang solid. 


Di awal jelas fokus tertuju pada peristiwa yang menimpa pesawat Lion Air, penonton diberi akses yang mudah untuk ikut larut dalam atmosfir kelam yang coba dibentuk. Hingga kemudian muncul satu pertanyaan sederhana yang punya power sangat baik membuat pikiran penonton berputar semakin kencang, “Haruskah penumpang yang naik 737 Max khawatir?” Di titik tersebut beberapa opsi mungkin akan membagi isi pikiranmu sama rata, bagaimana pesawat disebut sebagai moda transportasi paling aman bisa saja membuat penonton beranggapan peristiwa nahas yang menimpa dua pesawat Boeing 737 MAX tersebut adalah kesalahan Pilot, sama seperti asumsi awal yang dikeluarkan oleh Boeing. Setelah terbentuk baru tiba kesempatan bagi MCAS untuk tampil dan mencuri spotlight.

Apa yang awalnya tampak seperti proses investigasi kecelakaan pesawat perlahan bergeser menjadi penelusuran di balik teknologi yang diciptakan oleh Boeing, MCAS, dan perannya pada kecelakaan yang menimpa dua pesawat Boeing 737 MAX 8, yang notabene merupakan pesawat baru dan kemudian sempat dihukum dilarang terbang di berbagai negara. Lagi dan lagi visual berbicara di sana, ekposisinya sangat clear dan sangat membantu penonton memahami sistem yang diterapkan, tujuannya, dan kesalahannya yang berakibat fatal. Eksploitasi excels on understandable way namun tidak membatasi eksplorasi, menjelaskan situasi kepada mereka yang ingin tahu tentang kecelakaan itu tapi juga mendorong isu yang akan membangunkan critical thinking para penontonnya.


Narasi film ini seperti bergerak menaiki anak tangga, satu per satu masalah disajikan dengan jalinan koneksi yang kuat, punya hubungan sebab dan akibat yang menarik dan mengeskalasi sisi suram yang tersimpan di balik peristiwa nahas tersebut. Film ini bukan hanya tentang dokumentasi kecelakaan pesawat melainkan juga insight bagi sisi kelam yang juga eksis di dalam industri penerbangan, ketika keserakahan akan keuntungan membutakan para corporate untuk melemahkan sisi keselamatan, hal yang sebenarnya telah memberi mereka image positif dan dipercaya oleh banyak penumpang, pencapaian yang sudah mereka bangun sejak beberapa dekade yang lalu. Kompetisi adalah masalahnya, dari sana Airbus muncul yang membuat Boeing mengambil jalan pintas.

“Harga” nyawa manusia perlahan menggeser posisi MCAS dari sorotan utama, cerita mulai menggali sisi bisnis dan tanggung jawab pemberi jasa kepada para konsumen, dan tidak ada satu momenpun pada rotasi masalah itu yang terasa kasar. Dibantu dengan interview dengan beberapa profesional di bidang penerbangan dan keluarga para korban narasi disajikan Rory Kennedy layaknya sebuah suara yang berbisik menuntut tanggung jawab dari Boeing atas sikap mereka yang menyepelekan hal-hal krusial di balik upaya penerapan teknologi baru bernama MCAS tadi, dari pelatihan hingga buku panduan agar dapat menghemat biaya, serta tudingan yang diarahkan kepada para Pilot yang mereka anggap lalai dan tidak mampu. Critical thinking kamu dibawa bergerak dengan lincah tapi tanpa ada kesan berlebihan.


Ya, entah mengapa meskipun berhasil membawa saya masuk ke proses investigasi yang mengutak-atik logika dan emosi tapi tidak ada kesan “menyerang” yang terlalu berlebihan ditujukan kepada Boeing. Bahkan penolakan Boeing untuk memberikan jawaban juga dikemas tanpa bumbu yang berlebihan, saya dibuat emosi tapi bentuk rasa kesal saya lebih kepada rasa miris kepada sikap perusahaan besar itu. Yang jika ditarik lebih luas lagi mungkin dapat mewakili betapa kejamnya dampak kewajiban meraih profit yang dimiliki oleh perusahaan besar terhadap nasib para karyawan dan juga para konsumennya, melakukan "penghematan" di beberapa bagian bahkan yang bersifat penting dan krusial agar menyeimbangkan neraca dan meraih keuntungan.

Overall, ‘Downfall: The Case Against Boeing’ adalah film yang memuaskan. Ini adalah sebuah dokumenter yang bercerita dengan baik sejak awal hingga akhir, dari bentuk pondasi masalah di awal yang lantas berkembang menjadi lebih luas serta menarik untuk menunjukkan sisi kelam yang exist di dalam industri penuh tekanan meraih untung, budaya busuk dan keserakahan corporate dengan konsekuensi berbahaya. Tidak pernah berusaha untuk membakar emosi penontonnya secara berlebihan tapi jelas dengan menggunakan peristiwa nahas yang menimpa dua pesawat Boeing 737 MAX itu di sini Rory Kennedy bersama timnya berhasil “memaksa” perusahaan besar untuk semakin berhati-hati dalam menerapkan kebijakan jika tidak ingin reputasi mereka hancur. Because here, together we're just booing Boeing, and they deserve it.





1 comment :