04 December 2021

Movie Review: The Power of the Dog (2021)

“A man was made by patience in the odds against him.”

Perubahan adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari, mereka yang memilih untuk “menyesuaikan diri” dengan perubahan serta secara aktif merangkulnya akan lebih mudah untuk berkembang. Tentu tidak semua perubahan membawa sesuatu yang positif, perlu filter yang ketat di sana dan penolakan terhadap sesuatu yang bersifat negatif juga bukan sesuatu yang tabu untuk dilakukan, namun satu hal yang penting jangan sampai sikap perfeksionis dan juga egois milikmu justru menjadi sebuah boomerang yang berbalik melukaimu. Hal tersebut berputar-putar secara manis di sini, salah satu film terbaik tahun ini yang “menuntutmu” untuk menemukan hadiah besar. The Power of the Dog’: a beautifully made drama that plays with words, eyes, and feelings.


Phil (Benedict Cumberbatch) dan George Burbank (Jesse Plemons) merupakan dua bersaudara yang dapat akur ketika menjalankan usaha peternakan sapi meskipun satu sama lain sadar bahwa mereka memiliki karakter yang memang kurang cocok. George adalah pria dengan penampilan necis, suits tampak sangat cocok dengannya dan ia terbuka pada perubahan yang sedang terjadi di daerah mereka, Montana pada tahun 1925. Sedangkan Phil merupakan seorang old-school cowboy, kendaraan yang ia pakai bukan mobil seperti George namun kuda, punya pendirian yang kuat bahwa pria tidak boleh takut untuk tampak kotor atau dekil, pria harus jantan dan menjadi pemimpin. Hal tersebut yang membuatnya benci pada Rose Gordon (Kirsten Dunst).

Statusnya sebagai seorang janda tidak menghalangi Rose untuk membuat George jatuh hati padanya dan segera menikahi wanita tersebut yang telah memiliki seorang anak bernama Peter (Kodi Smit-McPhee). Peter sendiri menjadi bahan olok-olok oleh Phil dan rekan-rekannya karena sikapnya yang cadel dan feminim sebagai seorang pria, siksaan yang tidak dirasakan lama oleh Peter karena dia dikirim oleh Rose untuk melanjutkan study kedokteran. Rose memang memakai uang George untuk itu, tidak heran ketika ia kemudian pindah ke rumah sang suami Rose terpaksa berhadapan dengan Phil yang tidak henti mencoba mengganggu ketenangannya. Phil yakin bahwa Rose mengambil keuntungan dari kekayaan George.

The Power of the Dog bukan tipe film yang mencoba langsung membuat penonton jatuh cinta padanya di babak pertama, bahkan untuk beberapa orang mungkin akan berlanjut hingga dua per tiga dari total durasi momen di mana mereka seperti coba untuk mengamati sembari menunggu munculnya “akselerasi” di dalam narasi. Sejak awal bertemu dengan Phil, Rose, George, dan Peter mudah memang merasakan ada gesekan masalah di antara mereka di mana pusatnya sendiri adalah Phil, tapi di sisi lain narasi yang berjalan dengan tenang seperti tidak mencoba membuat eksposisi berjalan menuju satu titik yang benar-benar jelas. Satu-satunya hal yang jelas ialah bagaimana sikap Phil membuat Rose, George, dan Peter merasa tidak nyaman.


George mungkin ada di kelas yang sedikit berbeda karena dia saudara Phil, tapi lain hal dengan Rose dan Peter, mereka kurang suka dengan reaksi dari Phil yang masih banyak dipengaruhi oleh ajaran dari mendiang mentornya, "Bronco" Henry. Pemilik peternakan kaya raya yang memutuskan untuk menikahi seorang janda beranak satu memang mudah menjadi sebuah topik bahan pergunjingan, hal tersebut yang lantas berkecamuk di dalam pikiran Phil dan menjadi latar belakang sikapnya yang sedikit arogan terhadap Rose dan Peter. Penilaian negatif memang akan jauh lebih mudah muncul dan tampak mencolok ketika si miskin berhasil memenangkan hati si kaya, berbagai macam teori lantas hadir yang kerap lahir berlandaskan emosi belaka saja. Hal tersebut dialami oleh Phil dan digunakan sebagai mesin penggerak utama cerita.

Tidak heran jika film terbarunya ini akan mengingatkan beberapa penonton pada Jane Campion’s most acclaimed film, The Pianodi beberapa aspek. Widow and her child, a wealthy new husband, lalu ada hubungan segitiga dengan piano mengemban tugas. Karakter utama wanita memang tidak bisu sehingga tidak ada sign language, tapi body language yang ditunjukkan oleh Rose lebih dari cukup untuk “berbicara” tentang gejolak emosi yang dia rasakan. Semacam mental telepathy lebih tepatnya yang harus kamu perhatikan secara jeli karena ditempatkan secara tersembunyi oleh Jane Campion untuk kemudian muncul menyajikan punch super kuat di bagian akhir cerita. Masuk kategori kejutan bahkan, membuat kisah yang mengambil dasar dari novel karya Thomas Savage ini seperti air yang tampak tenang tapi menghanyutkan.


Ya, penonton dihadapkan pada subjek dengan konflik yang menarik untuk diamati tapi tanpa ditemani dramatisasi yang “pedas” menurut saya, marahnya George saja masih tampak dingin sedangkan rasa jengkel Phil pada Rose juga hadir dalam wujud perang psikologi untuk membuat tidak nyaman. Memang tidak in your face tapi ini adalah drama di mana kejahatan psikologis bermain sebagai pemeran utama, toxic relationship yang menghasilkan berbagai macam gesekan dan satu-satunya cara agar dapat berakhir jika ada yang melarikan diri untuk menyerah. Ada motif yang kuat di sini meskipun tidak disajikan eksplisit, seorang cowboys yang kompleks merasa “dunianya” terancam sosok baru yang langsung dapat duduk sejajar dengannya. Itu dibagi dalam beberapa babak, tidak hanya lewat dialog namun juga gambar.

Di sini Jane Campion kembali menunjukkan keahliannya dalam bercerita dengan gambar, mengolah dan menata dengan baik "unsayable" and "unseeable” things agar secara bertahap perlahan mengkatalisasi spekulasi para penonton. Narasi tampak misterius dalam tenang tapi api yang berkobar di dalamnya noticeable. Penderitaan Rose adalah pion penting pengembangan plot sedangkan meski terus berbenturan dengan Rose namun di sisi lain Phil juga punya George, perbedaan mereka menyemarakkan serta memperkaya tekstur cerita. Permasalahan rumit di sini adalah tentang pendirian dan emosi tiap karakter, sepintas tampak sederhana namun justru terasa kaya dan tidak dikorbankan oleh Jane Campion ketika ia terus menstimulasi atmosfir misterius di dalam narasi hingga kemudian berganti arah di babak akhir.


Sebuah belokan yang membuat The Power of the Dogmendadak punya image baru setelah usai, a cold-blooded revenge story, sebuah akhir melankolis untuk kisah yang sejak awal tampak mencoba mendorong isu kejantanan. Ada sedikit kesan disjointed pada emotional bond antar karakter tapi sangat minim kuantitasnya, lebih kepada bagian dari upaya cuts yang dilakukan agar a whole universe of feeling dapat terasa kompak dan padat. Cinematography arahan Ari Wegner juga di beberapa bagian terasa cukup normal karena sentuhan efek komputer, terutama pada landscape gunung di Montana itu, tapi ia berperan penting pada usaha Jane Campion untuk menciptakan atmosfir cerita yang mengunci atensi penontonnya ketika dipadupadankan dengan elemen teknis lainnya seperti sound dan juga production design.

Tapi jelas posisi elemen teknis tersebut berada di bawah kinerja akting para aktor yang sangat memikat baik itu secara individu maupun sebagai ensemble cast. Karakter Phil punya gejolak berupa rasa takut dari potensi munculnya perubahan para sistem konseptual western yang ia anut, dan itu ditampilkan oleh Benedict Cumberbatch  dengan sangat baik, permainan facial expressions yang subtle tapi powerful, kinerja akting terbaiknya setelah The Imitation Game’. Saya sempat berharap ada karakter lain “mendampingi” Phil, seperti Jack dan Ennis di ‘Brokeback Mountain’ misalnya, ternyata posisi itu ditempati secara bergantian. Yang terkuat tentu Kirsten Dunst, salah satu supporting performances terbaik di tahun ini, sedangkan Jesse Plemons menjadikan George sebagai poacher yang oke bagi karakter lain. Kodi Smit-McPhee adalah kejutan dalam hal keberhasilannya mendorong Peter yang sempat “mundur” beberapa langkah mendadak muncul dan menjadi sosok "menarik".

Overall, ‘The Power of the Dog adalah film yang memuaskan. Berjalan dengan tenang di awal yang kemudian menstimulasi misteri tanpa ditemani dramatisasi pedas, Jane Campion menggunakan toxic relationship penuh siksa dan benci untuk berbicara tentang sesuatu yang “mengerikan” dalam diri para manusia, bullying dan dampak dari "penolakan" merupakan yang paling menonjol di dalam narasi yang tampak misterius dan tenang tapi memiliki motif yang kuat serta “api” dan tekstur yang noticeable. Tidak hanya lewat kata namun mata dan rasa dari para penonton juga dikunci dan dibawa hanyut di dalam western drama yang akan mengejutkanmu di bagian akhir, momen yang seolah melengkapi a whole universe of feeling yang terasa rhythmic, compact and solid, brought to life by a stellar ensemble dipimpin Benedict Cumberbatch. Surely another exquisitely crafted film from Jane Campion. And Jane Campion indeed a champion. Segmented.






1 comment :

  1. "Deliver my soul from the sword my darling from the power of the dog."

    ReplyDelete