12 December 2021

Movie Review: Spencer (2021)

Beauty is useless. Beauty is clothing.

Di bagian awal film yang dibuka dengan tulisan “a fable from a true tragedy” ini ada satu scene seekor burung yang telah mati dan menjadi bangkai tergeletak di jalan satu arah, disorot dari sudut close-up dengan mengambil fokus pada bangkai tadi kemudian dari arah kejauhan perlahan lima buah mobil milik pasukan Britania Raya bergerak mendekat ke bangkai tersebut. Dari arah bawah kamu melihat mobil-mobil tersebut satu per satu melintas, tiga mobil tidak melindas bangkai tadi namun tidak ada yang tahu bagaimana nasib bangkai burung tadi setelah dua mobil tersisa telah melintas. Bangkai burung tersebut seolah menggambarkan situasi karakter utama film ini, Lady Diana, istri pertama Pangeran Charles, pewaris takhta kerajaan Britania Raya. ‘Spencer’: she set fire to the rain.


Di bulan desember tahun 1991, anggota keluarga kerajaan Inggris bersiap untuk mengisi libur Natal bersama Queen Elizabeth II (Stella Gonet) dan juga Prince Philip (Richard Sammel) di Sandringham Estate. Di antara anggota keluarga yang hadir ada Prince Charles (Jack Farthing) bersama Prince William (Jack Nielen) dan Prince Harry (Freddie Spry), anak dari pernikahan dengan Princess Diana (Kristen Stewart). Satu per satu anggota keluarga tiba dan disambut oleh Equerry Major Alistair Gregory (Timothy Spall), tapi tidak dengan Diana. Datang terpisah dari keluarganya Diana justru berkeliling pedesaan Norfolk dengan mengendarai sendiri mobilnya, bahkan sempat kehilangan arah dan tersesat.

The Royal Head Chef, Darren McGrady (Sean Harris) menemukan mobil Diana sedang berhenti tidak jauh dari Sandringham Estate, tempat di mana Diana lantas berlari ke tengah padang rumput dan mengambil sebuah jaket merah yang terpasang di orang-orangan sawah. Dari bahasa tubuhnya Diana seolah enggan untuk ikut bergabung di acara keluarga itu, hal yang juga dipahami oleh the Royal Dresser kesayangan Diana, Maggie (Sally Hawkins) yang ketika telah bertemu Diana mencoba terus membuatnya tenang secara emosi. Pernikahan Diana dan Prince Charles memang sedang tegang akibat perselingkuhan Prince Charles dengan Camilla Parker Bowles.

Di sini Pablo Larraín kembali menunjukkan kepada para penonton bahwa saat ini dia merupakan salah satu Sutradara yang memiliki visi kuat ketika bercerita. Bagian pembuka di atas tadi langsung menciptakan impresi kuat tapi kemudian disambut dengan perkenalan karakter yang terasa normal, bagi mereka yang at least tahu dengan tatanan keluarga inti Kerajaan Inggris maka ada excitement yang terbentuk kuat saat satu per satu karakter anggota kerajaan muncul. Begitupun dengan Diana, langsung mempertontonkan emosi gloomy sebagai penggambaran situasi hati dan pikirannya, something wrong happen di dalam hidupnya dan tanpa penjelasan detail sekalipun kamu dapat rasakan bahwa ia ingin “keluar” dari hidupnya kini. Total durasi film sekitar 110 menitan, first 30 minutes for the start of “set fire to the rain” action.


Momen yang dipakai oleh script karangan Steven Knight untuk mengembangkan isu yang telah berdiri kokoh di awal, dari momen ketika Diana protes saat ia kini diminta untuk ikut menimbang badan, jaket yang ia tinggalkan di mobil, perbincangan santai dengan kedua anaknya, hingga saat ia diminta oleh Maggie tidak menggunakan dress warna hitam yang seolah telah dipersiapkan oleh Diana untuk “exposing” perasaan yang ia rasakan kini kepada seluruh anggota keluarga kerajaan. Itu hadir dalam 30 menit dan terasa kuat serta padat, mengembangkan konflik, emosi, dan membuat penonton semakin mengantisipasi momen horror itu. Ya, impresi awal Diana dalam diam sedang menyusun rencana untuk membuat kehebohan, menyajikan sebuah ledakan yang kemudian kita ketahui berlandaskan isu di dalam pernikahan Diana.

Dan di sana ada kesan misterius yang terasa sangat kental baik itu di script yang ditulis oleh Steven Knight serta tentu saja eksekusi Pablo Larraín. Chilean filmmaker ini tampaknya memang memiliki ketertarikan yang unik pada wanita dengan emosi yang sedang bermasalah, Jackiedan Emaadalah buktinya sedangkan di miniseries 'Lisey's Story' Julianne Moore juga bergelut dengan hal serupa. Tidak heran penonton yang telah menyaksikan film-film Pablo Larraín akan mudah untuk merasa familiar dengan ‘Spencer’ karena template dan formulanya sendiri memang mirip. Memakai Porsche dan pakaian tartan dari Chanel karakter utama masuk ke dalam sebuah pub, pengunjung mulai saling membisikkan namanya ketika Diana perlahan melangkah untuk bertanya kepada salah satu karyawan, “Excuse me. I'm looking for somewhere. There are no signs anywhere. Where am I?


“There are no signs anywhere” menjadi alasan dan kalimat “I've absolutely no idea where I am” seolah jadi awal ledakan. Kesulitan Diana menemukan jalan menuju Sandringham House merupakan penggambaran dari kondisi terkini emosinya, has not only lost her way but also looking for herself. Pesta Natal keluarga kerajaan menjadi arena dan berbagai macam complain yang ia layangkan baik itu dari proses penimbangan badan, heater, hingga dresser kesayangannya mengembangkan kesan ganjil di awal menjadi semakin luas dan rumit. Sangat jelas memang character study di sini tapi saya dibuat bertanya-tanya oleh Pablo Larraín, apa yang sebenarnya Diana alami hingga emosinya tampak naik dan turun seperti itu? Hingga kalung mutiara muncul dan membawa excitement meloncat semakin tinggi.

Ketika masalah utama telah terlihat gejolak emosi di dalam diri Diana jadi semakin kuat dan memikat. Pablo Larraín tidak hadirkan dramatisasi yang belebihan layaknya soap opera, justru di tiga hari perayaan Natal itu ia mementaskan Diana's neuroses sebagai perwujudan dari keinginan karakter utama akan pengakuan, kerinduannya terhadap cinta dan kasih sayang. Jaket merah dari orang-orangan sawah itu mungkin terlihat sepele tapi ada kesedihan yang mendalam di sana. Itu mengapa Maggie jadi sosok yang terasa penting bagi Diana, ia butuh pundak untuk melepas tekanan batin yang ia rasakan. Tidak heran saat sosok Maggie absen Diana seperti bertingkah laku aneh karena itu bentuk perlawanannya terhadap kecemasan atau psikologis yang lemah. Semakin berat bagi Diana karena ada kisah Anne Boleyn di sampingnya.


Anne Boleyn adalah Ratu Inggris dari tahun 1533 hingga 1536 saat dia menjadi Istri kedua King Henry VIII. Kamu lihat durasi waktu yang singkat itu, hanya tiga tahun dan ada tragedi di sana, ia adalah figur kunci dimulainya the English Reformation. Steven Knight dengan cerdik menggunakan sejarah Anne Boleyn agar script dapat berbicara tentang isu serupa, lampu sorot mengarah pada tradisi di dalam keluarga Kerajaan Inggris. The Royal Family were criticised in the press for their reaction to Diana's death dan gejolak batin serta emosi yang ditunjukkan oleh Diana di film ini seperti sebuah garis start dari perjuangan seorang wanita muda yang mencoba lepas atau keluar dari pernikahannya yang tidak bahagia, mendeklarasikan pernikahannya telah “bangkrut” sebagai sebuah institusi penting di dalam The Royal Family.

Meski demikian kerangka yang ditulis oleh Steven Knight di sini justru terasa sempit, hal tersebut membuat Pablo Larraín dapat terus fokus menstimulasi rasa sesak yang dirasakan Diana. Ada beberapa scene di mana camera arahan Claire Mathon (Portrait of a Lady on Fire) menempatkan penonton dari belakang mengikuti Diana berjalan, salah satunya saat berjalan di koridor kastil di mana ada atmosfir “mencekik” yang diciptakan oleh kedua sisi dinding. Begitupun ketika close-up mencoba menangkap emosi di wajah Diana dan berkombinasi long-shot untuk menangkap kesepian yang menggelayuti karakter utama kita. Banyak visual cantik di sini, salah satu yang paling memorable tentu saja scene di kamar mandi saat Diana menggunakan gaun putih. Tiap gerak dan bahasa tubuh Diana selalu didorong sebagai perwujudan emosi.


Pablo Larraín memakai visual untuk tidak pernah melepas penonton dari perasaan bingung dan cemas Diana, bahkan di lapangan luas ketika ia memakai dress kuning itu ada embun menyelimuti kastil untuk mempertahankan claustrophobic world itu. Diana seperti berdansa bersama amarah dan emosinya, ditemani score haunting dari Jonny Greenwood penonton seperti menyaksikan psikologis yang tertekan dan ingin berteriak kencang, pemberontakan yang sudah ditampilkan lewat scene dinner dan kalung mutiara itu, ketika Diana mencoba “menggiling” menggunakan mulutnya dan menebar kebencian di matanya. Tertata rapi di bawah arahan Pablo Larraín, sebuah psychological drama yang cantik di tiap elemennya, termasuk teknikal dan akting.

Kostum Diana juga cantik, dari red coat hingga wedding dress begitupula dengan pakaian anggota kerajaan, sedang production design dan film editing melaksanakan tugas mereka dengan baik membantu Pablo Larraín recreate historical material in his own story. Tapi jelas jika bicara spotlight maka yang paling terang adalah kinerja akting Kristen Stewart. Bella Cullen di The Twilight Saga ini adalah aktris yang dapat membuat karakternya menjadi "ajaib" jika ditangani oleh Sutradara yang tepat (Panic Room, Clouds of Sils Maria, Certain Women, Personal Shopper), di sini dia bertemu Pablo Larraín yang paham menata emosi pemeran utama wanita, dan hasilnya adalah salah satu kinerja akting terbaik di kategori tersebut, dari gerak tubuh, ekspresinya, hingga intonasi suaranya kamu bisa rasakan madness game di dalam diri Lady Di.

Overall, ‘Spencer’ adalah film yang sangat memuaskan. For me Pablo Larraín adalah Sutradara dengan visi kuat ketika bercerita, film-filmnya terdahulu selalu mencoba melempar kesan misterius untuk membangun excitement dan membuat penonton merasakan something wrong happen di dalam diri karakter utama dengan mencoba mengamati gejolak emosinya. Di sini bersama tim yang solid baik dari visual, kostum, score, design, editing dan tentu saja kinerja akting dari cast terutama dari Kristen Stewart, Larraín sukses mementaskan Diana's neuroses sebagai perwujudan dari keinginan karakter utama untuk “keluar” dari hidupnya, has lost her way and also looking for herself, a haunting psychological drama about when one of the most important figure of the British royal family starts to set fire to the rain. Segmented.






1 comment :

  1. “Yes, I'm a magnet for madness. Other people's madness.”

    ReplyDelete