19 December 2021

Movie Review: Belfast (2021)

Open up your eyes, then you realize. Here I stand with my everlasting love.

Selalu menyenangkan ketika “melihat” sesuatu dari sudut pandang anak kecil, sikap polos mereka kerap kali terasa lebih menarik ketimbang dunia para orang dewasa yang dipenuhi dengan masalah yang kerap mereka buat jadi rumit sendiri. Manusia ketika masih kecil memang hanya bisa pasrah dan menuruti keputusan orangtuanya, tapi bukan berarti mereka tidak punya hati dan emosi dengan gejolak yang berputar di dalam batinnya. Lewat mata polos seorang bocah yang ingin membangun project mendarat di bulan film ini berbicara tentang banyak hal menarik, sebuah comedy-drama tentang child ignorance versus the adult world yang terasa ringan tapi akan membuatmu terdiam. Belfast’ : an emotional feast.


Bulan Agustus tahun 1969 di salah satu sudut kota Belfast tempat ia tinggal bersama keluarganya, anak kecil bernama Buddy (Jude Hill) sedang asyik bermain perang-perangan dengan temannya ketika sang Ibu, Ma (Caitríona Balfe) memanggil pulang. Para tetangga membantu Ma memanggil nama Buddy yang baru bergerak pulang saat local girl bernama Moira (Lara McDonnell) datang menjemputnya. Namun perjalanan pulang Buddy menjadi momen meledaknya serangan dari kelompok Protestant yang mencoba mengintimidasi rumah penduduk Catholic. Sebagai tanggapan penduduk kota kemudian membangun barikade di jalan untuk mencegah kelompok tersebut kembali melakukan aksi yang sama. 

Ayah Buddy, Pa (Jamie Dornan) juga langsung pulang dari tempat kerjanya di Inggris karena merasa serangan intimidatif yang dipimpin tokoh kriminal lokal Billy Clanton (Colin Morgan) sebagai sesuatu yang “mengancam” keluarganya, tidak hanya Buddy, sang Istri, dan anak sulung mereka Will (Lewis McAskie) namun juga Pop (Ciarán Hinds) dan Granny (Judi Dench), kakek dan nenek Buddy. Kerusuhan di lingkungan yang terintegrasi dengan baik itu semakin memanas, memaksa the British soldiers untuk turun tangan serta mendorong kedua orangtua Buddy mempertimbangkan opsi lain: pindah dari Belfast, pilihan yang tentu dapat membuyarkan mimpi Buddy menikahi teman kelasnya, Catherine (Olive Tennant) dan pergi ke Bulan bersama.

Di film terbarunya ini versatile filmmaker dan juga aktor Shakespeare yang disegani, Kenneth Branagh, mencoba sesuatu yang sedikit berbeda jika dibandingkan dengan film-film blockbuster karyanya seperti Thor, Jack Ryan, Cinderella, hingga adaptasi novel Agatha Christie. Oh, ada Artemis Fowl juga yang rilis tahun lalu. Sutradara film Henry V yang sampai saat ini masih widely considered one of the best Shakespeare film adaptations ever made itu menghadirkan sebuah semi-autobiographical film, ia mengganti dirinya dengan karakter utama bocah bernama Buddy dan membawamu masuk ke dalam periode awal pecahnya Konflik Irlandia Utara atau dikenal dengan sebutan “The Troubles” di tahun 1968. Perang antar etnis agama yang satu ini tidak bisa dianggap sepele, berlangsung selama 30 tahun dan berakhir di tahun 1998.


Karakter memang ia ciptakan secara cantik namun menempatkan mereka di dalam situasi mencekam kota Belfast jelas merupakan hal terbaik yang dilakukan Kenneth Branagh di sini. Di awal semua tampak normal bahkan penonton melihat bagaimana indahnya pemandangan di Ibu Kota negara Irlandia Utara, begitupula ketika bergeser mundur ke belakang menyaksikan Buddy, keluarganya, dan lingkungan mereka yang tampak tenang dan damai dalam menjalani aktifitas sehari-hari. Tapi tentu saja ada alasan mengapa film ini oleh Kenneth Branagh has described as his "most personal film" karena ternyata ada sebuah proses coming-of-age yang keras bagi Buddy, saat ia terpaksa menerima keadaan menjalani masa kanak-kanak di tengah kerusuhan di kota yang sangat ia cintai. Mata Buddy bukan hanya mata Kenneth Branagh.

Tapi juga mata bagi penonton. Alasan mengapa Belfast berhasil hit me really hard karena saya juga pernah berada di kondisi serupa dengan Buddy, bagaimana ketika saya masih di sekolah dasar terjadi peperangan di kota yang kala itu menjadi wilayah yang tidak ingin saya tinggalkan. Apakah kemudian saya pindah dari sana? Ya, saya mengungsi dari kota tersebut dan gejolak emosi bocah ingusan yang kala itu saya alami dapat saya lihat dan rasakan di dalam diri Buddy, bagaimana ketika kota dengan komunitas yang stabil dan saling mengasihi mendadak berubah menjadi sebuah medan perang. Buddy tidak stress, dia percaya dengan kemampuan kedua orangtuanya untuk mengatasi masalah meski dia sadar Ayah dan Ibunya perlahan mulai goyah. Children's joy doesn't flee from Buddy.


Ada tawa, ada kegembiraan terhadap music dan film, Buddy berhasil ditempatkan oleh Kenneth Branagh sebagai anak kecil di sini, tidak ada dramatisasi yang berlebih namun justru dengan mengandalkan kepolosannya penonton perlahan merasakan sisi kejam “perubahan” itu sendiri. Mimpi Buddy tidak hanya sekedar ingin menjadi pemain bola saja, ada Catherine di sana yang secara implisit namun manis membuat Buddy berusaha menjadi siswa yang lebih baik lagi. Ada Pop dan Granny juga sebagai telinga bagi celotehan bocah yang terpisah jauh dengan sang Ayah. Family dan juga tragedy berhasil dikombinasikan dengan baik oleh Kenneth Branagh yang menurut saya menjadikan film ini layaknya sebuah surat cinta bagi keluarga dan lingkungan yang merupakan salah satu bagian penting dalam hidupnya.

Penonton dapat merasakan api yang telah disulut itu perlahan mendekat ke arah bom yang siap meledak kapanpun, tidak cukup dengan barikade saja namun lewat siaran berita di TV atmosfir mencekam di dalam cerita terus Kenneth Branagh pupuk dan jaga. Tapi fokusnya tidak terkunci ke sana namun justru menekankan pada isu keluarga, ketika Buddy yang masih sulit untuk mengerti sisi keras kehidupan melihat perselisihan tentang uang dan masa depan mulai berputar-putar di antara Ayah dan Ibunya. Ledakan dari Buddy di perayaan Natal itu memang terasa simple dan terlihat lucu tapi ada emosi yang kuat di sana, menjadi puncak dari gejolak yang perlahan mulai merundung emosi dan batin bocah yang bahkan tidak tahu cara membedakan seorang Protestan dari seorang Katolik di lingkungannya. Yang dia tahu hanya satu yakni kehidupan yang damai.


Kenneth Branagh memang menyelipkan berbagai isu yang lebih berat seperti pajak, pengangguran yang semakin tinggi, hingga prasangka pada agama dan etnis, namun itu ia letakkan sebagai variable pembanding bagi Buddy, tidak memaksa karakter itu untuk mengerti masalah di dalam situasi serius tersebut. Kegembiraan Buddy dan kenyataan pahit kehidupan di masyarakat Belfast menjadi dua buah perspektif yang berjalan bersama di sini, kombinasi child ignorance versus the adult world with subtle and understated connection. Di sini Branagh seperti menjaga agar pencapaian emosi yang tersaji tidak terlalu luas dan dalam, cukup bermain di basis utama yang ingin dicapai sembari terus mengikat atensi penonton dengan visual manis hasil kamera arahan Haris Zambarloukos, permainan hitam dan putih bersama lighting dan komposisi yang exceptional. Alhasil tone di dalam narasi jadi terasa segmented.

Begitupula dengan hasil akhir, momen saat bus berjalan sambil diratapi oleh Granny besar kemungkinan akan terasa biasa saja bagi mereka yang menginginkan jawaban, terasa terlalu ringan mungkin, padahal momen tersebut merupakan sebuah takeoff yang berat bagi Buddy dan keluarga kecilnya, buah dari kombinasi periode sulit yang memaksa para orang dewasa untuk berjibaku dan memilah opsi serta disajikan lewat mata seorang anak kecil. Tapi ‘Belfast’ ini dijual sebagai sebuah comedy-drama dan tidak heran meski The Troubles menciptakan atmosfir mencekam dari potensi akan meledaknya sebuah peperangan tapi narasi tidak pernah terasa berat, secara implisit humor silih berganti hadir dan tiap kali mereka muncul sukses menghadirkan punch yang kuat, same with the use of songs, also brilliant.


Hal tersebut hasil dari pementasan yang cantik oleh Kenneth Branagh yang disokong dengan kualitas elemen teknis yang apik, seperti dynamic editing yang menghasilkan tatanan manis sehingga narasi terasa hidup, begitupula dengan simple but alluring production design. Namun jelas di atas mereka adalah kualitas dari acting ensemble yang merupakan salah satu terbaik di tahun ini. Jude Hill tidak langsung menohok di hati ketika muncul di awal tapi perlahan namun pasti menarik simpati dan empati penonton, dan ia disokong oleh empat kinerja akting memikat lain di belakangnya. Jamie Dornan dan Caitríona Balfe adalah penggambaran dari pasangan muda yang punya ambisi tapi kesulitan memutuskan solusi, dari keduanya hadir muatan emosi yang memikat. Sedangkan Ciaran Hinds dan Judi Dench sangat baik sebagai jangkar bagi Buddy dan kedua orangtuanya.

Overall, ‘Belfast adalah film yang sangat memuaskan. Dalam balutan visual hitam dan putih yang cantik ‘Belfast’ punya konflik yang tampak tidak besar tapi Kenneth Branagh bentuk jadi arena berbicara tentang banyak hal yang cantik, proses coming-of-age menggunakan child ignorance versus the adult world dalam sebuah gejolak komunitas sebagai surat cinta tentang keluarga, ekonomi, lingkungan, perdamaian, mimpi, dan tentu saja hopes and home. A love letter to growing up, saya terdiam saat ‘Belfast’ berakhir, berpikir bagaimana bisa comedy-drama yang ringan dan santai ini justru menghujam emosi ketika ia telah pamit pergi? Sir Kenneth Branagh, you're a champ! Segmented.






1 comment :

  1. "For when I was a child, I speak as a child, I understood as a child, I thought as a child. But then I became a man and I put away childish things."

    ReplyDelete