01 November 2021

Movie Review: Old (2021)

“You look different, too.”

Tahukah kamu bahwa dua bulan lagi sudah tahun 2022? Ya, sepertinya baru kemarin kita bertemu paranoia dengan yang namanya Covid-19 dan tidak terasa sebentar lagi genap dua tahun kita beraktifitas dengan wajib menggunakan masker di wajah. Apa yang menyebabkan waktu begitu cepat berlalu? Apakah bumi yang beberapa waktu lalu sempat tampak seperti ‘Squid Games’ itu memang berputar lebih cepat? Apakah kita sudah lepas dari survival games? Itu menjadi salah satu ide film terbaru sosok yang pernah masuk bursa sebagai kandidat Sutradara film ‘Harry Potter and the Philosopher's Stone’, dan kini dikenal sebagai Sutradara horror-thriller with poorly received but sometimes financially successful movies. Di sini konsepnya menarik, bagaimana jika satu tahun ternyata bukan 365 hari, melainkan tidak sampai satu jam! Old’ : a body horror with interesting anomaly, and comes Shyamalan. (Warning: the following post might contains mild spoilers)


Pernikahan Guy Cappa (Gael García Bernal) dan Prisca (Vicky Krieps) sudah di ujung tanduk, dan untuk menghibur kedua anak mereka, Trent (Nolan River) dan Maddox (Alexa Swinton) liburan menjadi pilihan. Gesekan masalah di antara Guy dan Prisca tetap berlanjut di malam hari, terdengar oleh Maddox dan Trent yang mencoba game message decoding dengan Idlib (Kailen Jude), keponakan Manager Anamika Resort yang keesokan hari memberi sebuah tawaran kepada Guy dan keluarganya, ditawari berkunjung ke sebuah pantai indah tersembunyi yang hanya diinfokan ke orang-orang pilihan. Mereka satu mobil dengan Charles (Rufus Sewell), Istrinya Chrystal (Abbey Lee), Ibunya Agnes (Kathleen Chalfant) dan anak mereka, Kara.

Menyusul dua keluarga tadi Jarin Carmichael (Ken Leung) dan Istrinya Patricia (Nikki Amuka-Bird), melengkapi pengunjung pantai yang dikelilingi tebing tinggi with very unusual minerals itu setelah Mid-Sized Sedan (Aaron Pierre), rapper yang kemudian memicu rasa curiga. Guy, Charles, dan pengunjung lain akhirnya menyadari bahwa setelah beberapa menit berada di pantai tubuh mereka berubah menjadi lebih tua, termasuk anak-anak mereka, Maddox (Thomasin McKenzie), Trent (Alex Wolff) dan Kara (Eliza Scanlen). Mereka berusaha mencari jalan keluar, berpacu dengan waktu karena pantai itu membuat mereka lebih cepat menua.

Karir M. Night Shyamalan memang menarik, jika kamu lihat filmography miliknya maka sejak sukses mencuri perhatian skala besar lewat film ‘The Sixth Sense’ yang berhasil menjadi the second-highest grossing horror movie of all time, deretan film yang dihasilkan Shyamalan seimbang dalam hal jumlah yang berhasil menghibur mayoritas penontonnya serta jumlah yang kualitasnya justru dirasa mengecewakan oleh penonton. Ada grafik menurun dan saya rasa banyak moviegoers sepakat bahwa titik terendah film-film Shyamalan sejauh ini dalam hal kualitas adalah film Avatar, ‘The Last Airbender’ yang rilis tahun 2010. The Visit menjadi seperti pintu masuk bagi Shyamalan untuk kembali naik ke atas, apalagi kemudian disusul ‘Split’ yang oke itu, meskipun respon dari kelanjutannya, ‘Glass’ didominasi ulasan negatif.


Saya sendiri masuk dalam kategori penonton yang selalu merasa tertarik dengan ide cerita yang ingin disajikan oleh M. Night Shyamalan, ia selalu berhasil membuat saya mengantisipasi dan penasaran dengan kejutan yang akan hadir. Tapi di sisi lain sulit memang memungkiri Sutradara kelahiran India ini memang tidak punya konsistensi yang oke pada kualitas eksposisi cerita dari sinopsis yang telah dirangkai baik, dia terkadang terlalu kompulsif sehingga membuat potensi yang dimiliki materinya jadi terbuang sia-sia. Diambil dari graphic novel berjudul ‘Sandcastle’ karya Pierre Oscar Levy dan Frederik Peeters, ide film ini saja sudah terdengar menarik, bagaimana jika kamu terjebak di sebuah area yang membuatmu bertambah tua lebih cepat, penuaan yang sejak awal kemunculannya telah berhasil menghadirkan urgensi yang menarik.

Paruh pertama Old bekerja dengan baik, bermain dengan ketidakpastian membuat penonton merasa penasaran dan ingin tahu, adapula kepanikan yang tumbuh secara perlahan. Situasinya sendiri memang tidak masuk akal tapi itu justru yang membuat narasi terasa menegangkan, ada unsur fantasi dan horor yang bermain terutama saat kamu lihat bagaimana ekspresi karakter tidak sepenuhnya tampak seperti manusia biasa. Pemandangan ganjil itu membuat the mysterious mood terbentuk cepat dan baik, atmosfir aneh secara perlahan didorong, meskipun kita melihat keluarga yang tampak gembira menikmati liburan mereka tapi di sisi lain berbagai kesan aneh dan ganjil terus eksis di samping mereka, barang bekas tertimbun pasir jelas merupakan sebuah clue sedangkan kondisi tidak adanya sinyal seluler juga menjadi clue lainnya.


Yeah, saya suka konsep cerita yang dibentuk M. Night Shyamalan di sini, bermain layaknya sebuah “taman bermain” pantai indah yang ternyata sebuah arena di mana para turis itu harus menjalani survival games. Isu dan pesan yang coba ditampilkan film yang bermain sebagai body horror ini juga oke sebenarnya, Shyamalan mencoba bercerita tentang bagaimana waktu berlalu lebih cepat dari yang kita kira, sehingga kita harus benar-benar fokus pada hal-hal penting yang ingin kita lakukan. Manis itu sebenarnya sehingga meski ekposisinya terasa jumpy tapi tidak terasa mengganggu di awal karena memang konsep, ide, isu dan pesan yang coba ditawarkan memang sudah terasa menarik, sukses membuat penonton menantikan apa yang akan terjadi. Tapi begitu kejutan awal selesai unjuk diri, ‘Old’ perlahan terdegradasi.

Ketika melempar misteri dan memainkannya untuk membuat penonton penasaran, eksekusi Shyamalan terasa handal, tapi ketika cerita telah settled dan membutuhkan penggalian lebih dalam, di sana ‘Old’ terasa macet. Ini bisa menjadi sajian ketakutan eksistensial yang lebih baik seandainya Shyamalan berusaha untuk mengembangkan benang merah cerita dan mengeksplorasi lebih jauh lagi konsep rapid aging yang ia sodorkan sejak awal. Jika memang materinya hanya berputar di sana mungkin dapat diberikan dramatisasi yang lebih fokus ketimbang membiarkan narasi statis untuk menunggu sebuah solusi muncul. Apa yang awalnya tampak menyeramkan justru jatuh menjadi kumpulan drama yang stagnan, memiliki horror moments tapi kurang berhasil to emphasize the spectacle.


Padahal ‘Old’ sebenarnya punya pesan dan isu yang menarik, waktu dan penyesalan adalah elemen satire terhadap tragic-sad philosophical tentang menggunakan hidup serta kesempatan sebaik mungkin. Tapi skenario terasa setengah matang dan “janji” di trailer juga mungkin akan membuat beberapa penonton kecewa, sebuah fast-paced mystery thriller full of body horror yang ternyata lebih didominasi elemen drama. Cinematography dari Michael Gioulakis mampu menciptakan kesan eerie and unreal pada elemen horror, at least konsisten menjaga tone ketimbang karakter yang kurang fit dengan karakterisasi yang terasa dangkal. Ken Leung (Lost) dan Aaron Pierre kesulitan mengembangkan pesona karakter, Rufus Sewell tidak punya bekal motif yang kuat, Gael García Bernal dan Vicky Krieps tidak didorong lebih jauh. Yang mencuri atensi justru karakter muda, Alex Wolff, Thomasin McKenzie, dan Eliza Scanlen terbantu script yang menugaskan mereka menunjukkan rasa kaget dan heran terjebak dalam tubuh orang dewasa.

Overall, ‘Old adalah film yang kurang memuaskan. Masalah di sini sedikit berbeda, bukan pada twist yang jadi tipikal Shyamalan melainkan eksposisi dan eksplorasi yang ia sajikan. Kombinasi kekuatan dan kelemahan seorang M. Night Shyamalan memang, skenario setengah matang terutama di tengah ketika cerita telah settled, perpaduan tone dengan juggling yang kurang padu, meski ide, konsep, dan skenario menarik itu berjalan dalam pace yang tergolong kencang tapi Shyamalan kurang oke dalam membentuk narasi dengan koherensi yang menarik serta kuat, membuatnya tampak kecil dan sempit untuk potensi besar yang dimiliki di awal, terutama paruh pertama yang WTF banget itu. Satu lagu entri baru bagi karir roller coaster milik Shyamalan, but certainly, it's not Shyamalan's worst film. Very segmented.






1 comment :