01 December 2021

Movie Review: Hold Me Back (2020)

"Everyone is sad. Everyone is hiding a sad story."

We are sad generation with happy pictures. Tentu saja tiap masa punya masalahnya sendiri dan akan berdampak pada perubahan di generasi selanjutnya. Di Jepang ada yang namanya Satori generation, para kaum muda yang memilih melepaskan ambisi dan harapan karena tren ekonomi makro di sana, karir stagnan tidak masalah, solo-saturday jadi sesuatu yang lumrah, dan semakin banyak yang merasa tidak tertarik untuk menikah. Karakter utama film ini adalah seorang wanita yang dapat dikatakan bagian dari generasi tadi, no longer in her twenties ia menganggap rasa sukanya pada seorang pria yang lebih muda darinya as a dirty and pure tragedy. Di sepuluh menit pertama kamu bahkan diajak hanya melihat dia berbicara dengan dirinya sendiri. Hold Me Back’ : all we need is somebody to lean on.


Mitsuko Kuroda (Non) wanita 31 tahun dengan paras manis, pada dasarnya tidak ada alasan baginya untuk kesulitan saat berurusan dengan percintaan, sayangnya dia justru menciptakan masalahnya sendiri. Mitsuko adalah wanita dengan karir sebagai karyawan kantoran, mengantarkan minum kepada tamu merupakan satu-satunya pekerjaan di kantor yang ia suka, tugas yang kemudian membuatnya bisa berkenalan  dengan pria pemalu bernama Tada (Kento Hayashi), seorang sales yang lebih muda darinya. Ada tatapan yang berbeda dari Tada kepada Mitsuko, tapi celakanya bagi Mitsuko itu tidak ia anggap sebagai sinyal dari Tada sehingga pintu masuk tertutup.

Berbeda dengan Nozomi (Asami Usuda), rekan kerjanya yang tidak malu to be the first to take action, Mitsuko yang tidak yakin dengan dirinya sendiri itu bahkan bertanya pada A (Tomoya Nakamura) bagaimana cara membuat agar dirinya tampak lebih likeable. A sendiri merupakan alasan mengapa Mitsuko menikmati kehidupan lajangnya, karena dia merasa memiliki konselor di dalam pikirannya, her other self. Ya, setiap kali Mitsuko tidak tahu apa yang harus dia lakukan maka "A" memberinya jawaban yang benar sehingga membuat Mitsuko merasa ia tidak butuh orang lain di dalam hidupnya selain “A”. 

Sepuluh menit pertama digunakan film ini membawa penonton melihat karakter utama beraktifitas sembari berbincang dengan alter ego yang dinamai “A”, langsung membuat saya penasaran karena permainan kamera sendiri seolah terus mencoba menjadi mata dari “A” dan membuat agar bersama penonton dia terus berada di dekat Mitsuko. Pada awalnya saya bahkan berasumsi bahwa “A” adalah pacar dari Mitsuko yang sedang mencoba merekam aktifitas keseharian mereka, semacam documenter begitu tapi anehnya saya juga lupa di momen mana saya akhirnya sadar bahwa “A” merupakan alter ego dari Mitsuko. Ada transisi yang halus di dalam eksposisi yang diterapkan di sini, dari membuatmu penasaran di awal dan langsung jatuh hati pada sosok Mitsuko, di balik presentasi ringan tersimpan cerita yang kuat dan cukup elegant.


Saya sendiri merasa aneh bagaimana bisa film yang ketika tampak bercerita dominan mencoba untuk membuatmu tersenyum dan tertawa ini justru menyimpan sebuah kisah penuh isu dan pesan yang terasa manis dan elegant. Makna dari elegant di sini adalah bagaimana konflik, isu, dan pesan yang diusung didorong secara perlahan ke hadapan penonton tanpa membuat mereka sadar bahwa vlog tentang hidup Mitsuko itu sebenarnya merupakan sebuah kisah pilu tentang situasi dan kondisi mayoritas generasi saat ini. Meski bermain dengan nafas rom-com hampir di sepanjang cerita tapi proses perubahan di dalam kehidupan karakter itu merupakan penggambaran dari psychological burden yang dialami seseorang yang harus segera “sepenuhnya” menjadi orang dewasa. Script bermain secara manis di sana.

“What could I do to make myself more likable?” merupakan salah satu baris kalimat yang menunjukkan meski Mitsuko merasa nyaman menjalani pola hidupnya saat ini namun di sisi lain dia juga sadar itu tidak sepenuhnya tepat. Ia ingin berubah namun bingung bagaimana caranya, dan solusi termudah bagi konflik seperti itu tentu saja memasukkan cerita cinta sebagai jalannya, salah satu penyebab mengapa script yang ditulis oleh Sutradara Akiko Ohku dari novel karya Risa Wataya itu berhasil menjadi sebuah character study yang menyenangkan. Hidup Mitsuko berjalan seperti sebuah permainan, dari luar rintangan tampak tidak sulit untuk ditaklukkan namun lain hal jika kamu telisik lebih jauh ke dalam diri Mitsuko. Wanita riang dan santai tersebut sebenarnya merupakan karakter dengan masalah rumit: too cold and insensitive.


Terasa seperti kumpulan sketsa komedi yang terjalin dan tertata rapi tiap scenes punya esensi menarik dan dikemas menyenangkan di sini, tone ringan menguasai posisi terdepan namun penonton sadari ada penggambaran tentang hidup perlahan berkembang pula di sampingnya. Ada kesan matang di tiap scenes, Akiko Ohku tahu apa yang ingin disajikan serta caranya, dia terampil dalam menempatkan kejutan serta memainkan irama dan juga momentum pada narasi dengan memanfaatkan karakterisasi serta pesona dari karakternya. Termasuk dengan “A”, si pion unik yang membuat gejolak emosi di dalam otak Mitsuko jadi menarik, permainan psikologis Mitsuko yang merasa percaya diri ketika menyebut dirinya sebagai “solo” meskipun perlahan sadar “A” adalah satu-satunya sosok tempatnya bersandar selama ini.

Mitsuko terlalu “dingin” dalam menikmati hidup, ia terlalu nyaman dalam pola yang ia rasa aman sehingga beberapa aspek di dalam dirinya sebagai manusia jadi kurang terasah dengan baik. Komedian yang dikerumuni fans ia anggap kekerasan, sedang pria yang “menghormatinya” untuk menikmati liburan justru dianggap pemberi janji palsu belaka. Kisah sedih yang bersembunyi di dalam kehidupan Mitsuko tampak ceria menggiringnya menjadi negative person, merasa despicable and not competent yang justru memberontak ketika perubahan itu mencoba untuk hadir di hidupnya. Saya punya teman seperti Mitsuko, never did show her true colors, dan dia kelabakan saat harus berurusan dengan hal-hal “di luar” zona nyamannya selama ini meskipun saya tahu ia kompeten untuk survive di zona baru tersebut. Hold Me Back tampilkan itu dengan sangat baik.


Salah satu penyebabnya tidak lain karena Rena Nōnen (Non) berhasil membentuk kelebihan dan kekurangan seorang Mitsuko menjadi sebuah perpaduan yang manis, konflik dan isu anak muda yang selalu bermain aman tapi kemudian dipaksa untuk melakukan perubahan. Non yang di tahun 2013 yang lalu mencuri perhatian lewat asadora berjudul Amachan memberi nafas kehidupan yang sangat menarik pada karakter Mitsuko, membentuk pesona quirky tapi juga mendorong emosi sederhana tapi manis sehingga energi yang dipancarkan Mitsuko seperti rollercoaster dengan naik dan turun yang menyenangkan untuk diikuti. Aktor lain seperti Kento Hayashi, Asami Usuda dan Ai Hashimoto juga menggunakan kesempatan mereka dengan baik untuk menciptakan kompatriot yang oke bagi Mitsuko, termasuk Tomoya Nakamura sebagai pengisi suara “A” yang perannya serupa seperti Samantha di film Her’.

Overall, ‘Hold Me Back adalah film yang memuaskan. Langsung membuat penonton penasaran dan jatuh hati pada karakter utamanya, Akiko Ohku berhasil membentuk sebuah character study yang menyenangkan untuk diikuti dan diamati karena punya isi yang menarik, di balik presentasi ringan tersimpan isu dan pesan yang kuat dan elegant tentang kisah pilu situasi dan kondisi yang dialami mayoritas generasi saat ini, psychological burden yang dihadapi seseorang yang harus segera “sepenuhnya” menjadi dewasa, sisi indah dan buruk dari kesepian yang melahirkan kecemasan yang lantas berujung insecurity, perasaan tidak mampu, kurang percaya diri, dan ketidakmampuan untuk mengatasi masalah. Quirky but not preachy, ‘Hold Me Back’ adalah salah satu dramedy termanis tahun ini.






1 comment :