08 November 2021

Movie Review: Escape Room: Tournament of Champions (2021)

“This is some next-level shit.”

Jika saya dapat mengubah uang sembilan juta menjadi 17 kali lipat dengan memakai satu buah produk, maka hanya satu dari sepuluh peluang untuk tidak timbul rasa ingin membuat produk lanjutan menggunakan formula serupa meskipun mencoba menghadirkan sedikit modifikasi. Rilis di tahun 2019 film pertama sukses mencatatkan angka pencapaian box office $155.7 juta dengan budget awal hanya $9 juta! Quick profit from mostly cheap to cynical story, ‘Escape Room’ was somewhat surprising and actually quite entertaining, tidak heran jika kemudian film keduanya hadir tanpa mengubah terlalu banyak template dan formula dari film pertama. Escape Room: Tournament of Champions’ : still entertainingly cheesy and surprisingly innovative.


Meskipun Zoey Davis (Taylor Russell) dan Ben Miller (Logan Miller) telah berhasil lolos dari ujian mematikan di escape rooms namun keduanya ternyata masih tidak bisa menjauh dari permainan yang dirancang oleh the Minos Corporation itu. Zoey masih menaruh rasa penasaran yang besar terhadap sosok dalang utama di balik ide gila menempatkan nyawa para peserta sebagai taruhan dalam permainan berpindah ruang di mana para peserta harus berpacu dengan waktu memecahkan teka-teki agar dapat lolos dari tiap tahapan. Zoey dan Ben kemudian memutuskan untuk melacak lokasi the Minos Corporation dan mereka berakhir di New York, kota yang digunakan oleh Minos untuk memberi kejutan bagi Zoey, Ben, dan beberapa orang lain.

Berawal dari percurian, Zoey dan Ben sadar bahwa gerbong subway yang ditumpangi oleh mereka telah dirancang menjadi arena pertama untuk turnamen baru escape rooms. Di dalam gerbong tidak hanya ada Zoey dan Ben namun juga Rachel Ellis (Holland Roden), Brianna Collier (Indya Moore), Theo (Carlito Olivero) dan Nathan (Thomas Cocquerel), sama seperti Zoey dan Ben mereka juga merupakan para pemenang escape rooms. Di sebuah tempat terpisah seorang wanita muda bernama Claire (Isabelle Fuhrman) diminta oleh pria bernama Henry (James Frain) untuk menyelesaikan tugas yang ia berikan, di dalam sebuah ruangan dikelilingi kaca.

Escape Room berhasil menjadi salah satu dari guilty pleasure movies saya di dua tahun yang lalu, ketika berakhir saya sadar film yang mencoba mendaur ulang lagi konsep survival games tersebut memiliki beberapa kelemahan baik dari segi cerita maupun eksekusinya sendiri, tapi di sisi lain saya tersenyum senang saat melangkah keluar dari studio bioskop kala itu. Konsep yang telah usang berhasil dibentuk jadi sebuah pertarungan yang unik dari script, diarahkan oleh Sutradara Adam Robitel sejak awal hingga akhir rasa penasaran saya berhasil terus diikat meskipun kualitas memang tidak terasa konsisten sepanjang film. Dan ketika closure itu tiba herannya saya merasa ingin tahu kelanjutan kisah yang sengaja “digantung” bagian akhirnya itu.


Dua tahun berselang film ini tiba untuk menjawab rasa penasaran penonton pada bagian akhir film pertamanya tadi, Adam Robitel kembali duduk di bangku Sutradara sedangkan hanya Maria Melnik yang kembali menulis script, ditemani beberapa nama yang coba menggantikan Bragi F. Schut yang tidak lagi terlibat dalam penulisan naskah lanjutan kisah Zoey Davis dan rekan-rekannya. Mungkin lebih tepatnya pengembangan, film ini jelas mendapat keuntungan sangat besar dari keputusan screenwriter film pertama untuk membuat arena bermain tetap kecil dan tampak sempit, karena kini arena tersebut dapat dikembangkan dengan leluasa untuk menuangkan berbagai hal “gila” lainnya. Tentu saja sorotan tertuju pada Zoey Davis dan karakter lain yang kembali tampil, tapi pertanyaan klasik mencuri spotlight: siapa dalang utamanya?

Pertanyaan yang sederhana tapi sangat efektif untuk menstimulasi rasa penasaran para penonton yang kini dibawa masuk ke dalam “dunia” yang lebih luas dari film pertama. Film pertama telah merujuk untuk sebuah kelanjutan dan fokus penonton jelas tertuju pada misi Zoey untuk menemukan organisasi di balik permainan yang nasty dan tampak penuh konsprirasi itu, berperan oke dalam menciptakan tension, sedikit diayun kemudian langsung digedor dengan keras, langsung mengingatkan pada pesona yang membuat film pertamanya sukses mencuri perhatian yakni thrill oke di momen genting yang dialami karakter. Begitupula dengan rintangan yang muncul, setipe dengan pendahulunya, kumpulan nonsense yang dikemas dengan thrill oke.


Yang mengejutkan konsep permainan berpindah ruang itu masih terasa menarik dan membuat saya penasaran, narasi juga banyak terbantu tempelan bahwa para peserta merupakan para pemenang yang sebelumnya berhasil lolos dari ujian tersebut. Saya juga suka absennya status karakter spesial di sini, tentu pusatnya berputar di Zoey tapi bagaimana rintangan “menghabisi” para peserta menghasilkan kejutan-kejutan yang aneh, liar, dan cukup menarik. Kamar-kamar imajinatif itu kembali menelurkan sebuah permainan yang oke, ide baru disuntikkan untuk mengintensifkan tensi pada adegan aksi. Kita juga bertemu catatan kejahatan dari the Minos Corporation yang menjadi dalang meski harus diakui tidak menyajikan pesona mengerikan yang terasa kuat tapi fungsinya tidak buruk bagi eksposisi cerita yang dilakukan Adam Robitel.

Pace yang digeber untuk konsisten terasa kencang tidak menyisakan ruang bagi para penonton sedikit waktu untuk bernafas panjang, narasi geraknya terus dipompa dan menciptakan kesan liar. Dan sama seperti film pertama, Adam Robitel seperti coba mengingatkan penonton to not puzzling along too far. Saya juga merasa aneh saat menonton film pertamanya dulu tapi memang konsep film ini sendiri adalah sebuah show-off arena bagi rantai teka-teki yang menempatkan nyawa sebagai taruhannya, berbagai macam jebakan yang telah dirancang serta dibangun sedemikian rupa agar mampu terus mengikat atensi penonton dan membuat mereka seolah merasa ikut terjebak bersama karakter di dalam permainan dengan visual yang kreatif itu.


Adam Robitel dan tim cerdik saat sedang merancang permainan, imaginative and impressive puzzle constructions dan mampu memancing rasa penasaran penonton, tapi sayang masuk ke babak akhir kualitas film turun dua tingkat. Tentu saya tidak butuh dramatisasi sentimental tapi terungkapnya Minos Corporation tidak disertai dengan hasil akhir yang tegas, begitupula dengan hasil perjuangan para peserta itu yang kurang dipoles dan tidak meninggalkan punch kuat, euforia kemenangan yang sebenarnya bisa membuat perjuangan karakter maju satu langkah lagi, bukannya justru tampak seperti berputar di lingkaran itu-itu saja. Sayang memang apalagi kita punya dua karakter dari film pertama yang notabene tidak lagi pemula, kenapa tidak didorong pesona mereka untuk tampak seperti pahlawan? Apakah ending itu serupa dengan film pertama? Sengaja digantung untuk kelanjutan babak ketiga?

Overall, ‘Escape Room: Tournament of Champions (Escape Room: No Way Out) adalah film yang cukup memuaskan. Saya berhasil kembali ditarik masuk oleh Adam Robitel to want to know what to expect behind the next door, terhitung oke dalam memainkan tensi serta menyajikan thrill kepada penonton. Menggunakan prinsip sama dari film pertama dan menerapkannya lagi tanpa perubahan besar, jilid kedua ini kurang segar memang apalagi setelah dalang utamanya semakin dikenal. Tapi berkat kamar penuh rintangan yang imajinatif itu film ini masih berada di kategori layak untuk ditonton namun dengan catatan, kamu tidak boleh memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap konten yang akan disajikan. Eksploitatif memang, tapi uang tetap menang. Segmented.







1 comment :

  1. "Money makes the world turn. Don't let it stop or else it all ends."

    ReplyDelete