28 November 2021

Movie Review: Ascension (2021)

“In this age of internet, either you influence me or I influence you.”

Tidak boleh punya tattoo dan tindik di tubuh merupakan salah satu peraturan yang muncul dalam penyelenggaraan sebuah bursa kerja di film ini, para kandidat pekerja didorong untuk memilih pekerjaan yang mereka mau. Banyak para kandidat merasa ragu untuk menentukan pilihan meskipun sadar mereka akan “dipersiapkan” lebih jauh lagi dalam sesi pelatihan. Harus diakui memang ada peran “luck” dalam proses memilih pekerjaan, karena meskipun kamu dipersilahkan untuk berharap mendapat pekerjaan dengan prospek stabilitas keuangan di masa depan tapi ada opsi untuk tunduk pada kapitalisme dengan eksploitasi yang tampak ramah di permukaan saja. Even if you can memorize 300 ancient Chinese poems, it’s still useless if you don’t know how to monetize!Ascension’ : a simple and sly cinéma vérité about consumerism and capitalism.


Seorang pria berkacamata sembari memegang megaphones mencoba mencuri atensi, “Dorm and food provided, no health test required. 20 yuan ($2.99) per hour” begitu ucapnya. Seolah sadar kesempatan yang ia punya semakin besar setelah cukup banyak orang datang dan berkerumun di sekitarnya pria tadi juga berkata “You can choose the job you'd like. We have jobs where you can sit at work!” Sementara itu di stand lain seorang wanita memberi tahu kepada para pencari kerja di sekelilingnya bahwa pabrik tempat mereka akan bekerja hanya berjarak sekitar tiga menit berjalan kaki, mereka juga akan mendapatkan fasilitas kamar tidur dengan air conditioning.

Seolah tidak mau kalah pria berkacamata tadi menambahkan, “Earn 220 yuan ($32) a day at Foxconn!” sembari membagikan kartu namanya. Tampak lalu-lalang pencari kerja mencoba untuk memilah opsi yang ada agar dapat merasa yakin menentukan pilihan, karena mereka sadar mereka akan masuk ke dalam industri yang nyatanya tidak selalu seindah tawaran yang diucapkan tadi, menjadi bagian dari booming economy di mana pertumbuhan ekonomi melaju cepat. Bekerja seperti robot bukan satu-satunya rintangan, begitu juga dengan rekan kerja yang menjengkelkan, para pekerja juga wajib bersikap professional, ada yang dituntut mampu mengendalikan emosi dan tahu cara tersenyum yang benar, hingga table manner.

Film dokumenter pada hakikatnya memiliki kesempatan dan kemampuan yang sama dengan film non-fiksi untuk berbicara tentang suatu isu, menyampaikan pesan, atau untuk sekedar menghibur penonton. Dua point pertama tadi bahkan memiliki ruang bermain yang lebih luas dalam sebuah film dokumenter jika dapat digunakan secara tepat dan maksimal oleh filmmaker, tentu dengan tetap menjunjung tanggung jawab untuk jujur pada visi mereka tanpa sengaja salah mengartikan suatu topik. Drama kerap menjadi bumbu yang ditambahkan ke dalam narasi film dokumenter, tapi film ini tidak, memilih bercerita dengan kamera sebagai mata, mendorong kisah tentang mengejar impian di China dengan rintangan berupa kelas sosial lengkap dengan penggambaran tentang produktivitas dan inovasi sebagai bumbu.


Sedikit bumbu dramatisasi di dalam film dokumenter bukan sebuah dosa yang harus dijauhi, kerap hadir lewat narasi di mana terdapat narrator misalnya yang mencoba untuk menuntun penonton pada berbagai informasi yang dapat berfungsi sebagai cara “mengeksploitasi” topik, dramatisasi juga punya peran penting dalam menjaga atau mengikat atensi penonton terhadap eksposisi yang sedang berjalan. Tapi di sisi lain dokumenter juga punya style lain yang sulit untuk ditemukan di film-film fiksi, bercerita tanpa voice-over narator yang disebut cinéma vérité, membawa penonton mengobservasi topik namun dengan mengandalkan gambar-gambar hasil tangkapan kamera yang secara bertahap tidak hanya membuat cerita berkembang namun juga mengeskalasi konflik, isu, dan pesan yang coba didorong sejak awal.

Menjadi film panjang pertamanya sebagai Sutradara, Jessica Kingdon memulai cerita dengan sangat baik, proses rekrutmen tenaga kerja ia gunakan sebagai arena untuk langsung menunjukkan betapa kerasnya perjuangan banyak penduduk China yang juga dapat dilihat secara global. Sistem rekrutmen akan membuatmu menyernyitkan dahi, banyak orang berkumpul yang kemudian dipersilahkan memilih pekerjaan yang mereka inginkan, tapi di sisi lain exist berbagai aturan main sebagai filter, dari umur hingga tattoo di tubuh, pekerjaan yang bisa duduk dan tidak bisa duduk. Cepat rasanya atmosfir gloomy itu terbentuk, penyajian yang terasa sigap di mana Jessica Kingdon tidak lupa pula untuk menyuntikkan human touch dalam situasi tersebut. Tidak heran terasa mudah untuk langsung klik dengan topik dan fokus utama.


Setting awal yang kemudian menjadi pondasi kuat bagi Jessica Kingdon yang lantas menjejalimu dengan berbagai macam penggambaran lain dari kerasnya dunia kerja, dan kerasnya kehidupan pula. Di bagian awal kita berpindah dengan cukup cepat dari satu pabrik ke pabrik yang lain, dari makanan, botol minuman dan kosmetik maybe, teropong, sepatu, hingga tekstil. Seolah tidak mau langsung membuat semua terasa hiruk pikuk sejak awal ada pola kumulatif dalam bentuk tahapan yang coba dibentuk Jessica Kingdon di sini, kamu diajak melihat bagaimana sistem kerja yang sangat ketat dan cepat di China sana tapi di sisi lain bertemu pula dengan pekerja yang merasa kurang puas dengan apa yang mereka jalani. Sumbernya? Tentu saja tidak lain adalah kapitalisme itu sendiri.

Ditunjang cinematography yang eye-catching ‘Ascension berkembang menjadi satu kompilasi menarik dari berbagai komponen kontemporer yang penting di dalam industri sebagai roda penggerak perekonomian sebuah negara, mimpi yang besar lengkap dengan training yang sangat elegant di babak akhir itu seperti jadi semacam satire bagi kerasnya dunia kerja di awal tadi. Setiap orang berhak untuk merasa yakin  bahwa mereka memiliki peluang besar jika mereka bekerja keras, tapi mereka harus mengakui bahwa sebuah perekonomian yang bertumbuh semakin besar kerap akan mengesampingkan kemakmuran yang merata, momen ketika kekayaan yang mereka ciptakan akhirnya berakhir di tangan segelintir orang yang “terpilih”. Senang rasanya Kingdon tidak meninggalkan itu, ada kontradiksi sosial yang bermain di sini.


Kontradiksi sosial seperti yang saya sebutkan di awal tadi, mimpi finansial harus bertarung dengan fakta bahwa kamu berjalan di dalam sistem yang secara implisit memperkuat kelas di atas dalam hal kemakmuran. Jari telunjuk tidak diarahkan oleh Jessica Kingdon ke salah satu sisi dan memberi label salah serta benar, justru di sini ia menyajikan sebuah pengamatan tajam tentang pertarungan fantasy and reality, ia mempersilahkan logika dan emosi bertarung di dalam diri penonton. Sex doll factory itu menjadi sindiran tempat kerja yang efektif, training sessions menguatkan image keras dan mirisnya dunia kerja, tiap babak terus membuat konflik, isu, dan pesan yang usung terus berimprovasi semakin kuat dan tinggi, membawa penonton seperti hanyut di dalamnya meski tetap ada sorotan tajam terhadap topik yang diangkat.

Overall, ‘Ascension adalah film yang memuaskan. Bertumpu pada gambar-gambar hasil tangkapan kamera untuk “berbicara” di sini Sutradara Jessica Kingdon berhasil menyajikan isu kapitalisme dan konsumerisme secara menarik, mengeksploitasi isu tersebut dalam bentuk alarm tanpa dramatisasi berlebihan tapi justru uplifting lewat ekposisi yang terus mengikat atensi dalam observasi yang mengeskalasi konflik, isu, dan pesan secara manis. Harus diakui topik yang diangkat di sini sendiri sejak awal memang sudah menarik, the planned economy dengan model eksploitatif bagaimana si kaya semakin kaya sedangkan yang lemah akan berantakan. Maybe you're an an ordinary man you whole life, and that's fine. But you can still enrich yourself. Think about what kind of person you want to be. That's your job. I believe hard work will be fruitful, and dreams will come true. Dreamers are undefeatable. The only enemy is ourselves.





1 comment :

  1. “There is a saying that every Chinese woman is a pretty Chinese business card.”

    ReplyDelete