20 October 2021

Movie Review: Stillwater (2021)

“Life is brutal.”

Dalam pengambilan vonis bersalah dibutuhkan penilaian dalam bentuk sudut kritis dari bukti-bukti yang tersedia baik itu oleh para ahli hukum maupun ahli forensik, maka tidak heran dari dakwaan, lalu pemeriksaan pokok perkara dan saksi-saksi, termasuk terdakwa, hingga masuk ke tahap tuntutan, pembelaan, hingga putusan akhir oleh Majelis Hakim, akan ada tarik dan ulur dalam bentuk investigasi untuk menyaring mana yang benar, dan mana yang salah. Tapi hukum juga bisa salah. Ya, putusan bersalah juga bisa salah di mana putusan akan dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Pertanyaan menariknya, bagaimana jika seseorang telah divonis bersalah dan sedang menjalani hukumannya tapi setelah menjalani setengah dari masa tahanan mereka ternyata tidak bersalah? ‘Stillwater’ : about justice, about finding peace. (Warning: the following post might contains mild spoilers)


Pria bernama Bill Baker (Matt Damon) terbang meninggalkan tempat tinggalnya di Stillwater, Oklahoma, menuju Marseille, kunjungannya ke kota di bagian selatan Perancis itu untuk menemui anak perempuannya, Allison (Abigail Breslin) yang telah mendekam di penjara Marseille selama lima tahun. Allison divonis penjara karena diduga telah membunuh rekan sekamarnya yang bernama Lina. Meskipun ia tetap protes dan mengatakan dirinya tidak bersalah tapi kasus tersebut telah ditutup, Allison harus menerima hukuman sembilan tahun penjara. Bill tidak tahu akan sikap gigih Allison tersebut karena selama ini sang nenek Sharon (Deanna Dunagan) yang mengurus urusan Allison di Marseille.

Awal mula Bill akhirnya tahu bahwa Allison merasa ia tidak bersalah berawal dari permintaan sang anak untuk memberikan secarik surat kepada seorang Pengacara bernama Leparq (Anne Le Ny). Seolah telah ditunjukkan jalan secara tidak sengaja Bill bertemu wanita lokal, Virginie (Camille Cottin) dan anak perempuannya Maya (Lilou Siauvaud), ia membantu Bill menerjemahkan isi surat tersebut, dari sana Bill akhirnya tahu Allison tetap yakin bahwa ia tidak bersalah. Seolah menemukan pintu untuk membawa pulang anaknya Bill mulai bergerak menemukan pria yang Allison tulis di secarik kertas itu, yakni Akim.

Ketimbang mendorong penonton ke dalam sebuah proses penyelidikan dengan data bertebaran di banyak area, di karya terbarunya ini Sutradara Tom McCarthy mencoba untuk menampilkan sebuah character study yang bisa dikatakan mengambil ide dari dari kasus Amanda Knox, seorang mahasiswi yang berasal dari Amerika Serikat dan dituduh menjadi tersangka utama pembunuhan rekan sekamar, Meredith Kercher. Peristiwa tersebut terjadi di Perugia, Italia, sekitar 14 tahun yang lalu, meskipun info resmi bahwa film ini mengambil basis dari sana tidak pernah ada namun sangat sulit menampik bahwa ide cerita yang ditulis Tom McCarthy bersama Marcus Hinchey, Thomas Bidegain, dan Noé Debré membuat beberapa penonton teringat peristiwa tersebut, sekalipun setting lokasi dipindahkan ke kota Marseille.


Saya tidak mau terlalu jauh membahas peristiwa tersebut, you can google it, sama halnya dengan reaksi Amanda Knox terhadap film ini, namun dengan menggunakan base yang sederhana itu Tom McCarthy kembali berhasil menarik saya untuk masuk ke dalam sebuah drama dengan bumbu kejahatan yang terasa menarik untuk diikuti. Memang tidak ada kesan grande di dalam dirinya di bagian awal tapi ekspresi yang hadir dari wajah Bill berhasil menarik atensi, yang kemudian berkembang menjadi semakin kompleks setelah kita tahu bahwa menurut anak dan Ibunya ia merupakan sosok yang tidak dapat diandalkan. Bill seperti pria yang ingin berubah demi dapat menjalani hidup yang lebih baik, bagi dirinya dan juga anak perempuannya.

Tidak heran ketika masalah utama itu hadir muncul pula sikap pantang menyerah di dalam diri Bill. Pesona Bill memegang penuh kendali cerita hingga babak pertama usai, punya beberapa kekurangan memang tapi dia dengan cepat membuat penonton merasa waspada dengan ambisinya untuk membebaskan Allison. Kita lihat Bill telah mencoba untuk lebih dekat dengan Tuhan, namun di sisi lain ia juga menunjukkan sikap “brutal” ketika mencoba menyelamatkan Allison yang ia anggap tidak bersalah itu. Tom McCarthy menempatkan dua sisi di dalam diri Bill itu sebagai bumbu utama perjuangan karakter utama kita, tidak mencoba menampilkan legal work terlalu jauh namun justru menempatkan spotlight utama pada pertanyaan moral yang terjadi di dalam diri Bill, dan juga Allison.


Terutama Bill, apalagi setelah bertemu Virginie dan Maya dirinya yang tertutup itu perlahan mulai terbuka di mana narasi hadirkan lewat proses belajar yang Bill lalui secara ringan bersama Maya, bahasa, budaya, dan Olympique de Marseille tentu saja. Bagi beberapa penonton proses tersebut mungkin akan terasa hambar terlebih bagi mereka yang sedari awal mengharapkan proses investigasi oktan tinggi, namun jika kamu menaruh fokus pada gejolak emosi di dalam diri Bill maka yang coba disajikan Tom McCarthy di sini akan terasa menyenangkan. Lagipula Tom McCarthy sendiri tampaknya memang tidak terlalu tertarik berputar-putar pada pertanyaan apakah Allison benar-benar melakukan perbuatan itu, dan apa pula opsi alternatif lainnya? Because it's not about justice. It's about finding peace.

Mengejutkan memang bahwa skenario seputar hukuman penjara menjadi semacam kerangka bagi celebration the power of having a faith on something. Spekulasi terus eksis memang and all of them is worthwhile, tapi semakin jauh narasi berjalan maka kisah yang awalnya tampak akan bermain sebagai judicial drama itu sensitively and complexly justru lebih menitikberatkan proses memukan kedamaian hati karakter di balik kondisi tidak adil yang mereka alami. Tidak hanya Bill, kita bisa lihat Allison juga demikian dan bersama sang Ayah menciptakan father-daughter relationship yang cukup oke. Tom McCarthy berikan ruang bermain yang oke bagi mereka dan piawai dalam menata tone cerita agar dapat tampak thoughtful and nuanced.


Tom McCarthy tampak ingin membuat kisah ini terasa heartfelt dan mengandalkan inti yang kuat, alhasil ia menjauhkan sappy things yang sebenarnya dapat digunakan sebagai bumbu dramatisasi lebih lanjut. Tom McCarthy ingin menjaga kesan realistic tetap dominan meski dampaknya beberapa konflik progressnya jadi terasa seperti dadakan, meski berhasil dicover dengan pesona karakter yang kuat. Penggambaran hidup yang “brutal” berhasil ditampilkan dengan baik oleh Matt Damon, karakternya adalah bom waktu tapi dikemas down-to-earth dengan baik oleh Damon. Sedangkan Abigail Breslin menjalankan fungsi Allison dengan baik, begitupula Camille Cottin sebagai tiang asing bagi Bill untuk dapat tetap berdiri tegap. Perannya memang tidak besar tapi Lilou Siauvaud berhasil mencuri perhatian di beberapa momen.

Overall, ‘Stillwateradalah film yang memuaskan. Memang doesn't quite hit the high notes di akhir jika fokus penonton hanya tertuju pada proses membebaskan Allison saja, namun jika kamu mengarahkan spotlight pada perjuangan emosi dan gejolak batin di dalam diri Bill maka ini akan menjadi sebuah character study yang menarik, karena ia punya karakter dengan pesona yang oke serta tentu saja arahan dari Tom McCarthy yang piawai dalam mengendalikan tiap elemen agar memiliki sensitive and kompleksitas yang terasa tepat guna di dalam kisah tentang finding peace dengan kedok mencari keadilan itu. Good one. Segmented. 






1 comment :