24 June 2021

Movie Review: Cruella (2021)

“If you can dream it, I can dress it.”

Kisah tentang anjing-anjing Dalmatian telah diangkat menjadi sebuah film kartun dan sebenarnya juga sudah pernah diadaptasi ke dalam versi live-action sebanyak dua kali. Di tiga film tersebut karakter Cruella memegang peran sebagai antagonis, seorang wanita yang sangat terobsesi dengan fashion mantel dari bahan kulit para Dalmatian. Kali ini sosok “penjahat” itu justru menjadi sorotan utama, menyaksikan kisah hidup dari wanita cerdik yang siap melakukan aksi keji dan brutal demi meraih mimpi yang ia inginkan. ‘Cruella’ : overjoyed, overloved, overlong.


Estella Miller merupakan anak perempuan yang tidak hanya dikenal kreatif saja tapi juga memiliki penampilan unik berupa rambut dengan dua warna dan terbagi sama rata, yaitu hitam dan putih. Ia juga dikenal pemberani tapi terkadang sikapnya yang nakal dan pemberontak itu memang sulit untuk dimaafkan oleh pihak sekolah. Alhasil Catherine Miller (Emily Beecham) memutuskan membawa Estella pindah ke kota London dan dalam perjalanan mereka singgah ke pesta yang diselenggarakan oleh designer terkenal dan kaya raya, Baroness von Hellman (Emma Thompson).

Celakanya Estella menyaksikan sebuah tragedi menimpa Catherine akibat ulah para anjing Dalmatian milik Baroness. Estella memutuskan kabur ke London dan di sana ia bertemu penculik cilik bernama Jasper Badun (Joel Fry) dan Horace Badun (Paul Walter Hauser). Mereka tumbuh besar dan saling membantu, salah satunya untuk mewujudkan mimpi dan ambisi Estella (Emma Stone) terkait fashion. Sebuah insiden di tempat kerjanya membawa Estella bertemu Baroness dan setelah melihat sebuah kalung Estella menjadi liar dan berubah menjadi Cruella de Vil.

Menyandang status sebagai sebuah prequel bagi dua film sebelumnya tentu sebuah tugas yang tidak mudah untuk menyajikan kembali cerita yang familiar itu menjadi presentasi yang segar. Dan saya terpesona ketika Sutradara Craig Gillespie berhasil membuat karakter penjahat kita itu menjadi sosok yang terasa menarik di awal, ia terasa charming dengan berbagai “keunikan” yang telah ia tunjukkan sejak kecil. Menaruh masa lalu Cruella sebagai pembuka merupakan keputusan yang sangat tepat, penonton diberi kesempatan untuk mengenal apa yang sebenarnya terjadi di dalam kehidupan Estella serta apa sebenarnya alasan dibalik aksinya yang brutal terhadap Baroness.


Geraknya sendiri cepat dan saya senang di bagian awal screenplay yang ditulis oleh Dana Fox dan Tony McNamara tidak berlama-lama dalam proses pembentukan sisi unik Estella. Pondasi yang diletakkan terasa kokoh, penonton dibuat penasaran akan seperti apa anak perempuan ini ketika ia telah dewasa nanti, semakin lengkap karena narasi juga diceritakan langsung oleh Cruella dewasa. Ada kesan wicked di sini, sisi nakal yang terasa kuat tapi tidak sampai menggiring penonton kepada opini bahwa Estella merupakan seorang penjahat. Itu bekal bagi babak selanjutnya ketika kamu dibawa menyaksikan wanita pintar itu mengejar mimpinya dengan segala cara.

Sisi lain yang saya suka dari film ini adalah cerita yang ditulis oleh Steve Zissis, Kelly Marcel dan Aline Brosh McKenna dari novel ‘The Hundred and One Dalmatians’ karya Dodie Smith itu tidak terkesan “mengemis” agar penonton menyukai Cruella. Nakal dan liar jelas menjadi kesan paling menonjol dari aksinya tapi di sisi lain terdapat emosi dengan kualitas yang terasa oke pada perjuangan Cruella itu sendiri. Kisah kelam dibalik fakta masa lalu Cruella berfungsi dengan baik sebagai tiang utama, ia tidak dieksplorasi terlalu jauh dan lebih berperan untuk menopang sehingga meski bagian dari rencananya berisikan aksi yang tidak normal tapi terasa mudah untuk mendukungnya.


Mengingatkan saya pada film ‘Joker’ di mana kita tahu ia berencana membalaskan dendam dengan cara yang psychotic, tapi excitement terletak di sana dan bersinar dengan cukup baik. Ironi yang eksis di sini, seperti yang dulu ia lakukan di ‘I, Tonya’ Sutradara Craig Gillespie membuat karakter Cruella tampak sympathetic sebelum memoles dengan baik pula perang atau kompetisi yang terjadi di antara dua karakter utama wanita. Ada jealousy di sana sebagai dasar yang berganti dengan tragic ketika kejutan itu muncul membawa masuk emosi yang oke, hasil yang tidak buruk namun sayangnya mulai dari sini Craig Gillespie mencoba “meyakinkan” penonton terlalu keras.

Sebagai sebuah origin story bagi karakter Cruella tentu eksposisi cerita dengan irama offbeat itu jauh dari kesan buruk, tapi lepas dari titik tengah jalannya cerita terasa repetitif. Style over substance membuat narasi kurang rapi dan padat tidak seperti bagian awal, mencoba sedikit terlalu keras membuat penonton semakin jatuh hati pada Cruella, padahal sejak awal hal itu sudah tercapai. Alhasil narasi kehilangan momentum pertarungan itu dan berpengaruh pada konklusi yang terasa kurang kuat dan run-of-the-mill. Berdampak pula pada excitement serta punch yang dihasilkan meskipun vibe nakal dan cheeky yang eksis sejak awal tetap berhasil dipertahankan.


Yang konsisten merepresentasikan isu female empowerment ialah kostum gubahan Jenny Beavan, tidak pernah berhenti mengejutkan dan membuat saya terpukau tiap kali Cruella beraksi. Begitupula dengan kualitas production design dan makeup yang terasa oke di mana yang terakhir banyak membantu aktor seperti Emma Stone dan Emma Thompson dalam membuat karakter mereka terasa sangat charming, selain menjaga kualitas kesan cruel dan nakal tapi juga berhasil mendorong sedikit emosi yang efektif. Joel Fry tampil oke sebagai supporting bersama dengan Paul Walter Hauser yang meninggalkan punch kuat di mayoritas kesempatan yang ia peroleh.

Overall, ‘Cruella’ adalah film yang cukup memuaskan. ‘Cruella’ terasa overlong sehingga kehilangan momentum dan membuat punch akhir terasa terlalu normal jika menilik kualitas presentasi di setengah awal durasi. Namun sosok jahat itu berhasil dibentuk kembali dengan sangat baik, keunikan dari masing-masing karakter terasa menonjol sedangkan pesona cheeky, witty, and naughty mereka juga terasa menyenangkan untuk diikuti, narasi sukses mengembangkan hampir tiap bagian cerita dengan baik dan membangun sebuah “dunia baru” yang cruel and cheeky bagi Cruella dan rekan-rekannya. Oh, dan tentu saja, pondasi bagi kisah para Dalmatian dengan soundtrack yang menyenangkan. 







1 comment :

  1. “Cruella, some call her a designer, others a vandal.”

    ReplyDelete