31 May 2021

Movie Review: Space Sweepers (2021)

 

“The fate of the human race is in danger.”

Perlahan namun pasti Korea Selatan menunjukkan kepada dunia mengapa mereka menyandang julukan sebagai Macan Asia, diawali Korean Wave yang menjadi pintu masuk, salah satu boyband mereka perlahan memantapkan diri sebagai penguasa puncak tangga lagu di berbagai belahan dunia, hingga kesuksesan “Parasite” serta “Minari” di ajang Oscars dua tahun terakhir. Film ini merupakan pintu masuk terbaru bagi industri perfilman Korea untuk step up their own game, dramatisasi ala Korea itu kini bermain di luar angkasa. ‘Space Sweepers’ : a (not so) smooth like butter space opera.


Di tahun 2092 manusia akhirnya dipaksa merasakan dampak dari ulah rekan mereka dan mungkin diri mereka sendiri yang tidak bertanggung jawab terhadap lingkungan sekitar mereka, ketika di tahun itu planet bumi berada diambang bahaya berstatus tidak lagi layak huni. Sebuah perusahaan bernama the UTS Corporation sepertinya telah mengantisipasi hal tersebut, di bawah komando CEO mereka James Sullivan (Richard Armitage) dibangun sebuah “rumah baru” yang mengorbit di luar angkasa dan memiliki kondisi serupa dengan bumi. Sayangnya hanya orang-orang terpilih saja yang dapat tinggal di sana.

Untuk menjaga tatanan orbit baik itu terkait populasi serta pengawasan terhadap penghuni luar, pemerintahan UTS memberlakukan aturan dan pajak yang ketat. Para manusia yang menyandang status “non-citizens” banyak yang bekerja sebagai space sweepers untuk bertahan hidup, seperti Kim Tae-ho (Song Joong-ki), Captain Jang (Kim Tae-ri), Tiger Park (Jin Seon-kyu), dan Bubs (Yoo Hae-jin). Dengan menggunakan pesawat bernama the Victory mereka dikenal sebagai penguasa di antara para space sweepers, hingga suatu ketika di dalam hasil tangkapan mereka "tersimpan" Kang Kot-nim (Park Ye-rin), lebih dikenal sebagai Dorothy, sosok berstatus most wanted.

Saya sangat suka dengan basis utama cerita yang yang digunakan oleh Sutradara Jo Sung-hee di sini, bersama dengan Mocan ia menulis cerita yang menggunakan isu tentang sampah luar angkasa sebagai arena bermain utama. Karakter dengan sangat mudah langsung mencuri perhatian berkat status mereka sebagai “kalangan bawah” yang bertugas membersihkan luar angkasa. Tentu ada permainan politik di sana tapi sebagai basis itu terasa kuat, ada keunikan yang membuat anggota crew the Victory ini terasa segar. Hal tersebut kemudian disusul dengan penggambaran yang oke terhadap the UTS Corporation.


Apa yang dilakukan oleh James Sullivan mengandung fantasi yang sangat menarik, membangun kehidupan baru di luar angkasa untuk mencoba “menyelamatkan” umat manusia dari kepunahan. Visualisasi terhadap dunia baru itu juga terasa impresif, kamu bisa lihat dan rasakan kesan canggih yang disajikan tentu dengan kesan unik yang juga kental. Ada pesona yang kuat di dunia baru tersebut, sesuatu yang sangat penting sifatnya karena akan menentukan mampu atau tidaknya narasi membawa penonton hanyut serta tenggelam di dalam perputaran masalah di sana. Pondasinya kuat, tapi sayangnya narasi tidak sama baiknya.

Jo Sung-hee membawa ambisi yang besar di sini, ia seperti ingin membuat film ini bercerita tentang begitu banyak hal. Beberapa di antaranya memang oke, contohnya seperti isu tentang kepunahan bumi yang punya punch oke berkat twist yang hadir di pertengahan cerita, begitupula drama keluarga ciri khas film Korea yang di sini hadir lewat karakter Dorothy. Itu belum menghitung bagaimana visual bekerja keras mendampingi narasi memutar-mutar cerita di luar angkasa, kualitas visual effects film ini merupakan salah satu yang terbaik di tahun ini dan mampu berdiri sejajar dengan kualitas VFX milik Hollywood.


Tapi karena ambisi yang besar tadi pula narasi di beberapa bagian seperti kehilangan tempo dinamis, yang sebenarnya merupakan impresi awal film ini. Beberapa upaya untuk menggali latar belakang karakter sedikit lebih dalam lewat sejarah masa lalu mereka kehadirannya terasa dipaksakan. Mungkin niatnya untuk menunjang drama dan menguras emosi tapi dampaknya membuat tempo jadi terasa kurang rapi, saya merasa seperti kehilangan cengkeraman dari narasi di beberapa bagian tersebut. Ini sebenarnya bisa diminimalisir jika “flashback” dikemas lebih singkat dan statusnya hanya sebagai pelengkap, bukan didorong terlalu jauh dan menjadi spotlight besar.

Untung saja kekurangan tersebut tidak sampai merusak ritme dari jalannya narasi. Jo Sung-hee terampil dalam menjaga agar koneksi antara action dan drama tetap punya kesinambungan yang baik meski memang ada bagian yang terasa disjointed pula. Jo Sung-hee sepertinya mencoba menerapkan pola yang digunakan oleh space opera seperti Star Wars di mana terdapat titik-titik point dari cerita yang terhubung dengan adegan action, yang menjadi pembeda adalah di sini Jo Sung-hee menggali isu sedikit terlalu dalam. Tapi yang terpenting cerita bergulir dengan baik menemani action sequences yang sukses memborbardir penonton dengan berbagai thrill dan suspense yang impresif.


Bagaimana dengan punch dari cerita dan visual? Terasa kurang seimbang memang, terasa kuat di sektor visual tapi punya power dan gaung yang kurang kuat di sektor cerita. Persahabatan antar karakter terasa oke, fun to follow dan mampu menutupi upaya dipaksa terkait pencarian Tae-ho terhadap Su-ni. Tae-ho sendiri diperankan dengan baik oleh Song Joong-ki, understated performance bersama dengan Kim Tae-ri. Jin Seon-kyu terasa sedikit lebih mencolok lewat pesona Tiger Park sedang suara Yoo Hae-jin memberi nyawa yang menyenangkan bagi Burb. Berperan sebagai anak yang unik, Park Ye-rin menampilkan pesona misterius milik Dorothy dengan baik.

Overall, ‘Space Sweepers (Seungriho)’ adalah film yang cukup memuaskan. Meskipun bermain di luar angkasa Jo Sung-hee tetap ingin ciri khas film Korea hadir di sini, dan hasilnya tempo cerita jadi kurang dinamis meskipun ditutupi dengan baik oleh visualisasi yang sangat manis. Terlepas dari plus dan minus itu yang menarik adalah ‘Space Sweepers’ berhasil menjadi sebuah pembuktian terbaru terkait kualitas yang dimiliki oleh cinema Korea, mereka mampu meracik dan membentuk kembali cerita yang sudah sangat familiar menjadi sebuah sajian hiburan yang terasa segar, yang kali ini ditemani dengan visual treatment yang menyenangkan.







1 comment :

  1. "With Earth no longer habitable, the only place left to go was up."

    ReplyDelete