03 April 2020

Movie Review: First Love (Hatsukoi) (2019)


“Everybody, let's kill people!”

Tidak ada yang tahu kapan dia akan jatuh cinta. Bisa saja cinta berhasil seseorang peroleh setelah menyusun rencana yang sangat matang dengan proses pendekatan yang cukup lama. Namun cinta bekerja dengan cara yang berbeda pada masing-masing orang, cinta juga bisa membuat dua orang merasa mereka akhirnya menemukan orang yang tepat ketika berada di dalam sebuah pertempuran yang berbahaya. Film ini menggunakan itu sebagai pondasi, sebuah kisah cinta yang timbul di dalam aksi kejar yang melibatkan Triad dan Yakuza di dalamnya. First Love (Hatsukoi) : a lovely gangster comedy.

Leo Katsuragi (Masataka Kubota) adalah seorang petinju berbakat yang belum terlalu dikenal, ia menjadi putus asa setelah didiagnosa mengidap penyakit tumor. Sedangkan Monica (Sakurako Konishi) terpaksa menjadi "gadis panggilan" untuk membayar hutang ayahnya, ia juga seorang pecandu narkotika. Suatu hari Monica ternyata menjadi bagian dari sebuah rencana jahat penyelundupan narkoba yang disusun oleh seorang Polisi bernama Ōtomo (Nao Omori) bersama dengan Kase (Shota Sometani).

Kase merupakan anggota Yakuza yang dipimpin oleh Gondō (Seiyo Uchino), ia tangan kanan Gondō bersama dengan Ichikawa (Jun Murakami). Rencana jahat dari Ōtomo dan Kase juga melibatkan Yasu (Takahiro Miura), sosok yang kemudian membuat wanita bernama Julie (Becky) marah besar kepada Kase. Tidak berhenti di sana rencana tersebut juga membuat sebuah kelompok Triad ikut ambil bagian, dipimpin Chiachi (Mami Fujioka) mereka bergerak mencari Monica, yang sedang bersama dengan Leo.
Di film terbarunya ini sutradara kenamaan asal Jepang, Takashi Miike, kembali sukses menghadirkan sebuah hiburan yang terasa menyenangkan diikuti karena memiliki nyawa yang memikat. Pada dasarnya cerita yang ditulis oleh Masaru Nakamura itu mengambil premis bagaimana takdir terkadang dapat membawa kita ke dalam hal buruk dan hal baik, kadang terpisah tapi juga bisa di saat bersamaan. Di sini kita punya karakter Leo yang bersama dengan Monica pada dasarnya merupakan karakter utama cerita, mereka berada dalam kondisi yang tampak sudah tidak tertarik untuk menjalani hidup mereka masing-masing. Dua anak muda itu kemudian bertemu secara tidak sengaja yang sayangnya memang ikut membawa berbagai manusia kriminal di dalamnya.

Kisah antara Leo dan Monica sebenarnya tidak selalu menjadi sorotan sepanjang film, namun berhasil menjadi alasan yang menarik hadirnya berbagai “kekacauan” yang terasa menyenangkan itu. Takashi Miike menaruh cerita untuk bertumpu pada elemen komedi di sini, meskipun kita terus bertemu dengan aksi-aksi kejahatan yang frontal seperti kepala putus dari tubuh setelah bertemu dengan samurai. Karakter masing-masing punya pesona yang menarik, ada yang punya karisma tinggi seperti Gondō, ada Kase yang tengil, bahkan Julie memiliki aura badass yang kuat, namun mereka seolah telah disuntikkan comedic dalam dosis besar. Tidak heran sepanjang film penonton cukup sering bertemu dengan gags dan adegan-adegan yang terasa lucu.
Kemudian gabungkan mereka dengan elemen crime hasilnya sebuah pertempuran yang terasa energik. Elemen drama berupa pertempuran antar organisasi kriminal itu terintegrasi dengan sangat baik ke dalam elemen komedi dan juga sedikit sentuhan romance, berhasil Takashi Miike rangkai agar dapat saling berjalan bersama. Kisah tentang Leo dan Monica sendiri merupakan sebuah tragedi, dan menyaksikan mereka ikut terlibat di dalam pertempuran itu semakin menambah kelam tragedi tersebut. Namun menariknya meskipun memiliki banyak benang merah namun eksekusi Takashi Miike tidak pernah tampak kesulitan, mereka justru ia tata dengan baik bersama dengan sensitifitas yang memikat.

Salah satu hal menarik dari First Love (Hatsukoi) ini adalah bagaimana cara Takashi Miike menaruh fokus pada aksi kejar. Melibatkan banyak pihak elemen action ia tingkatkan secara bertahap, porsinya sendiri terasa oke dan menghasilkan puncak dengan punch yang menarik. Staging dari berbagai kekerasan yang hadir juga ditata dengan baik, meninggalkan pukulan yang kuat dan keras namun tidak berlebihan, dan yang paling penting tidak merusak emosi yang sejak awal sudah eksis namun diatur agar muncul secara sedikit demi sedikit oleh Takashi Miike. Emosi di sini terasa unik, karena setiap karakter punya pesona menarik eksistensi mereka di dalam cerita kerap menjadi something to cherish, meskipun di sisi lain Takashi Miike memakai cara tegas dan lugas untuk “menghabisi” mereka.
Hal-hal tadi yang membuat film ini terasa menarik, kombinasi antar berbagai genre yang tidak hanya sukses menghasilkan karakter dan cerita yang memiliki pesona saja, namun juga memiliki nyawa. Terkadang lucu, tidak jarang tampil sadis, dipenuhi dengan berbagai aksi comedic dengan humor-humor yang terasa dark, First Love (Hatsukoi) terus bergerak dengan nafas yang teratur, tidak pernah terlalu terburu-buru apalagi kehabisan nafas. Takashi Miike juga sukses membuat semuanya tampak artsy, membantu rasa jengkel Kase dengan nada tinggi itu penonton selalu disajikan visual yang manis dan tepat guna, menggunakan teknik yang simple namun justru efektif dalam menciptakan punch di setiap adegan.

Last but not least tentu saja kontribusi dari para pemeran. Masataka Kubota dan Sakurako Konishi berhasil menjalankan tugas karakter mereka menjadi jangkar utama cerita, elemen romance tidak pernah diumbar jelas namun terwakili oleh setiap perhatian kecil di antara mereka yang terasa manis. Seiyo Uchino berhasil memancarkan aura pemimpin yang kuat sedangkan Nao Omori menggunakan kesempatan yang ia miliki dengan baik. Yang mencuri perhatian di sektor ini adalah Becky dan Shota Sometani. Julie adalah penggambaran betapa buasnya seorang wanita jika orang yang ia sayangi dilukai, dan Becky tampilkan itu dengan sangat baik. Sedangkan Kase selain menjadi dalang masalah juga mengemban tugas menjadi sumber terbesar unsur komedi, Shota Sometani membuat berbagai aksi tengil Kase terasa kuat dan memorable.
Overall, First Love (Hatsukoi / 初恋) adalah film yang memuaskan. Berangkat dari dua anak muda yang terjebak di dalam pertempuran para gangster dengan aksi-aksi sadis dan gila mereka, sutradara Takashi Miike berhasil menyajikan sebuah presentasi penuh warna yang menghibur dan menyenangkan diikuti. Ada action, ada comedy, ada crime drama, dan ada romance, crazy and bloody ini merupakan sebuah kisah cinta yang unik, menjadi bukti bagaimana cinta dapat muncul dan tercipta bahkan pada saat yang sangat tidak tepat sekalipun, yang di sini hadir di sebuah malam bersama Triad dan juga Yakuza. Such a lovely gangster comedy. 








1 comment :

  1. “Everyone is already struggling to survive in this world.”

    ReplyDelete