Trik ini sudah
digunakan berulang kali namun film yang mencoba memanfaatkan ruang sempit untuk
menyajikan sebuah pertempuran hidup atau mati selalu terasa menarik, karena hal
pertama yang terlintas di pikiran adalah itu akan menjadi sajian yang intens dan
mencengkeram. ‘Train to Busan
(Busanhaeng)’ berhasil menampilkan hal tersebut, bagaimana ketika kamu
berada di dalam sebuah kereta ekspres untuk membawa sosok yang kamu sayangi
bergembira bersama mendadak masuk terjebak di dalam sebuah “neraka” dengan para
zombie yang bergerak untuk memangsa? ‘Snowpiercer’ meets ‘The Walking Dead’ in
Korea, it’ll plays with your nerves.
Movie Review: Star Trek Beyond (2016)
"We will find hope in the impossible."
Di tangan J.J. Abrams ‘Star Trek’ dan ‘Star Trek Into Darkness’ berhasil menjadi sebuah petualangan ruang angkasa yang menyenangkan, namun di sisi lain juga muncul berbagai opini seperti bahwa dua film tersebut merupakan film Star Trek yang terasa “kurang” Star Trek, ibarat pecinta kopi kelas kakap mereka terasa seperti Latte atau Cappuccino, masih kopi yang nikmat tapi kurang nendang. Mencoba mengubah tone cerita dan membawa sutradara empat film The Fast and the Furious untuk mengisi posisi komandan, di mana posisi akhir Star Trek Beyond? A “proper” Star Trek reboot films? Star Trek Beyond: a sweet rock and roll take on Star Trek.
Review: Indignation (2016)
"Why did you come and stand under my window?"
Cara terbaik bagi
seekor burung untuk belajar terbang dan menjadi kuat adalah dengan keluar dari
sarangnya. Seperti ‘Piper’? Ya,
seperti itu. Konsep tersebut adalah dasar yang digunakan film ini untuk mencoba
berbicara banyak hal dengan cara yang serius tapi santai, kompleks tapi ringan,
bagaimana ketika seorang pria beranjak dewasa yang polos suatu ketika “terbuka”
otaknya dan menemukan tantangan baru di hadapannya, dari yang baik, yang buruk,
yang manis, hingga yang gila. Directed
and written by the producer of Sense and Sensibility, Hulk, Brokeback Mountain; Lust, Caution, and one of Ang Lee best companion, ‘Indignation’ is a tasteful
drama.
Review: Bad Moms (2016)
Kamu pasti pernah
mendengar lagu Indonesia yang berjudul ‘Kasih Ibu’, salah satu liriknya
berbunyi “…tak terhingga sepanjang masa. Hanya memberi, tak harap kembali…”
Yup, tidak perlu palu ajaib, teknologi canggih, hingga kemampuan terbang kesana
kemari, ibu merupakan salah satu superhero.
Tapi apakah mereka sosok “sempurna” yang harus tetap berjuang untuk menjadi
contoh “sempurna” bagi anak-anaknya meskipun mereka bukan sosok yang
“sempurna”? Mama bear always a dear one,
helicopter parent dan lain sebagainya, namun this moms mencoba menjadi Freddie Mercury, they want to break free
with a crazy party. It’s like watching the female version of The Hangover.
Review: Nerve (2016)
Apa yang sedang “HOT”
saat ini? Banyak, salah satunya adalah Pokémon Go, permainan AR dengan sistem location-based
di mana para pemainnya harus bergerak untuk menemukan dan kemudian menangkap
pokemon. Nerve tidak mungkin dapat
menemukan timing yang lebih baik dan lebih tepat dibandingkan jadwal rilisnya
yang berada di saat Pokémon Go sedang sangat populer. Menggabungkan konsep ‘Pokémon Go’ bersama sentuhan ‘Periscope’ dan juga beberapa isu sosial
dalam bentuk sebuah petualangan action
techno-thriller yang bergerak cepat, it’s
a “short-handed” cyber thriller.
TV Series Review: W - Part 1
Seorang wanita, anak
dari kartunis terkenal, mengalami sebuah insiden yang membawanya masuk ke dalam
“dunia” yang berbeda, dunia di mana telepon selulernya tidak berfungsi dan dua
bulan sama dengan tidak lebih dari setengah jam di “dunia” tempat dia berasal.
Di sana wanita yang berprofesi sebagai dokter ahli bedah tersebut bertemu
dengan seorang pria mantan atlet dengan popularitas yang tinggi, pria yang
secara tidak langsung "mengikat" si wanita di dalam “dunia” baru
tersebut. Masalahnya adalah sang pria merupakan “ciptaan” dari ayah si wanita.
Review: Lights Out (2016)
“Every time I turn off
the lights, there’s this woman, waiting in the shadows.”
Apa hal pertama yang
terlintas di pikiran kamu ketika berbicara tentang kondisi gelap? Banyak
memang, salah satunya adalah hantu. Ketika kamu dalam perjalanan pulang di
malam hari dan melewati tempat gelap kamu tiba-tiba merasa ada “sesuatu”
mengikuti di belakang kamu, kamu berhenti kemudian dengan menggunakan cahaya
dari smartphone mencoba mengecek dan
tidak ada apapun di belakangmu, namun ketika kembali melangkah maju perasaan
sedang “diikuti” itu kembali muncul. Produced
by the man behind The Conjuring, Insidious, and Furious 7, ‘Lights Out’ berhasil memanfaatkan dan
mengolah dengan baik kegelapan tadi menjadi sebuah sajian horror yang
menyenangkan. ‘The Ring’ married ‘A Nightmare
on Elm Street’, it’ll make you think twice before turning the lights out.
Review: Free State Of Jones (2016)
“I’m gonna die so they
can get rich.”
Satu dari sekian banyak
hal positif yang dimiliki oleh sebuah film adalah kemampuannya “menginspirasi”
penontonnya. Ketika awal mengenal film saya juga merasa janggal dengan kata
tersebut tapi seiring berjalannya waktu kemudian sadar bahwa ada tipe film yang
membawa isu dan pesan yang menarik dengan after impact yang tidak kecil. Film
tipe seperti itu memiliki dua kelas, pada akhirnya mampu menginspirasi atau
hanya menjadi sebuah kelas dengan presentasi penuh “ceramah” yang kurang dan
bahkan tidak menginspirasi. From the
director of ‘The Hunger Games’ here comes ‘Free State of Jones’, a palpable but
pale war drama. Alright alright alright?
Review: Captain Fantastic (2016)
Saya percaya setiap film maupun karya dalam bentuk apapun punya pesan yang ingin ia sampaikan ketika tampil dan bercerita di hadapan penonton lewat berbagai bentuk, konflik, dan intrik, namun bukan berarti untuk mencapai hal tersebut mereka kemudian tampil “menggurui” dan justru membuat tingkat “kenikmatan” yang dihasilkan terasa biasa bahkan kurang memuaskan. Captain Fantastic berhasil menjadi sebuah drama dan komedi yang memiliki isi menarik, “mengganggu” pikiran penonton, menyampaikan isu heartwarming dan kritis dalam bentuk petualangan yang fun, sebuah satir terhadap kehidupan sosial yang santai tapi serius dan membuat penontonnya teringat pada 'Little Miss Sunshine'. The best captain this year so far.
Review: The Infiltrator (2016)
“One wrong move and
we’re dead!”
Tidak peduli seberapa
sederhana atau klasik materi yang ia miliki selalu menarik menyimak kemana hal
tersebut akan dibawa oleh sang sutradara dan penulis naskah. Hal wajib yang
harus mereka lakukan adalah tidak hanya membuat penonton mengerti intention
atau tujuan yang terkandung di dalam cerita tapi juga mengolah cerita tersebut
untuk mencapai hasil akhir sesuai atau setidaknya tidak begitu jauh dari
potensi maksimal. Hal tersebut merupakan “impresi” paling kuat yang
ditinggalkan oleh film ini, menggunakan upaya penyamaran untuk masuk ke dalam
sebuah dunia kriminal yang berbahaya ‘The
Infiltrator’ is a “mild” crime drama with award-worthy
performances.
TV Series Review: Doctors - Part 3
Meskipun memiliki IQ
yang tinggi seorang wanita dengan jiwa “tough” yang kental merasa bahwa menjadi
wanita dengan kepribadian lembut dan penurut bukan jalan hidupnya, masa lalunya
yang kelam membuat ia lebih gemar berkelahi walaupun memiliki otak yang pintar.
Mencoba berubah dan membangun kehidupan yang “normal” ia mendapat pertolongan
dari seorang dokter yang beralih profesi menjadi guru, membantunya berubah
untuk menjadi seorang dokter dari yang awalnya merupakan wanita dengan
"jiwa" seorang gangster.
TV Series Review: Doctors - Part 2
Meskipun memiliki IQ
yang tinggi seorang wanita dengan jiwa “tough” yang kental merasa bahwa menjadi
wanita dengan kepribadian lembut dan penurut bukan jalan hidupnya, masa lalunya
yang kelam membuat ia lebih gemar berkelahi walaupun memiliki otak yang pintar.
Mencoba berubah dan membangun kehidupan yang “normal” ia mendapat pertolongan
dari seorang dokter yang beralih profesi menjadi guru, membantunya berubah
untuk menjadi seorang dokter dari yang awalnya merupakan wanita dengan
"jiwa" seorang gangster.
TV Series Review: Doctors - Part 1
Meskipun memiliki IQ
yang tinggi seorang wanita dengan jiwa “tough” yang kental merasa bahwa menjadi
wanita dengan kepribadian lembut dan penurut bukan jalan hidupnya, masa lalunya
yang kelam membuat ia lebih gemar berkelahi walaupun memiliki otak yang pintar.
Mencoba berubah dan membangun kehidupan yang “normal” ia mendapat pertolongan
dari seorang dokter yang beralih profesi menjadi guru, membantunya berubah
untuk menjadi seorang dokter dari yang awalnya merupakan wanita dengan
"jiwa" seorang gangster.
Review: Cafe Society (2016)
“Life is a comedy,
written by a sadistic comedy writer.”
Saya telah menulis dua
review di blog ini untuk film yang disutradarai oleh Woody Allen, dan pembuka dua review itu kurang lebih identik, yaitu
rasa kagum pada “dedikasi” tinggi Woody
Allen terhadap industri film. Tetap berusaha untuk menulis sendiri naskah
dari film yang ia sutradarai tentu merupakan sebuah effort yang patut diapresiasi namun akibatnya hasil yang dicapai
film-film Woody Allen kerap hit or miss,
hollywood "fantasy" hingga romance
patah hati dengan dialog “sinis” yang terasa elegan namun ada pula yang terasa outdated. Di mana Café Society berdiri? Sebuah omong kosong yang ompong atau sebuah
tragicomedy yang mumpuni?
Review: Mike and Dave Need Wedding Dates (2016)
Setiap kali menonton
film dengan genre komedi saya selalu mencoba memperhatikan bagian awal mereka,
fokusnya pada seperti apa mereka ingin tampil di depan penontonnya, mumblecore, dark comedy, satire, hyperactive
comedy, atau jenis komedi lainnya. ‘Mike
and Dave Need Wedding Dates’ merupakan komedi rasa hyper, sebuah komedi
“vulgar” yang memiliki energi dan semangat tinggi yang tampaknya hanya ingin
mengajak penonton untuk sekedar tertawa sambil berpesta. Sepintas itu tampak
seperti sebuah tugas yang sangat sederhana namun sesungguhnya keputusan untuk
memikat penonton dengan tampil “gila” seperti sebuah boomerang. ‘Mike and Dave
Need Wedding Dates’ feels like summer party with not so good EDM, abs, beer, and bikini.
Movie Review: Sadako vs. Kayako [2016]
Beritanya pertama kali
muncul sebagai lelucon April Fools'
tahun 2015 yang lalu namun di akhir tahun kemudian dikonfirmasi sebagai sebuah
proyek nyata. Ya, tidak tahu apakah hal ini pernah terlintas di pikiran
penggemar Japanese Horror namun crossover antara dua karakter atau
"idol" horror ikonik dari negeri sakura Jepang, Sadako dan Kayako, akhirnya tiba. Pertanyaan yang muncul
setelah itu adalah apa yang Sadako vs.
Kayako ingin hadirkan di sini, dan apa yang akan terjadi ketika dua
karakter menyeramkan yang mampu menakut-nakuti penontonnya ketika berdiri
sendiri itu bergabung dalam bentuk sebuah pertarungan. The creepiest battle of the decade?
Review: Ghostbusters [2016]
"Don't piss off the ghost."
Rasa kaget yang begitu
besar muncul ketika melihat gelombang “menolak” yang hadir di trailer reboot Ghostbusters empat bulan
yang lalu, hingga review ini dirilis telah mendapat 930.000+ dislike. Kita tahu betapa besar cinta
yang diperoleh versi original
Ghostbusters tapi apakah menolak secara frontal untuk sebuah “pembaharuan”
yang bahkan kita belum tahu baik dan buruknya merupakan sebuah tindakan yang
sehat? Memberikan kegembiraan yang jauh lebih besar dari sekuel versi original,
‘Ghostbusters (2016)’ berhasil memberikan punch
begitu kuat untuk kaum pesimistis tadi, a
bigger and bustier re-imagining to the classic film. Not super legit but
pleasantly solid.
Movie Review: Ice Age: Collision Course [2016]
Secara logika jika kamu
masih berhasil memperoleh keuntungan dari produk atau jasa yang kamu hasilkan
atau lakukan sebenarnya wajar jika kamu tidak berniat untuk melakukan sebuah
perubahan. Mencoba menjadi lebih baik tapi dengan risiko merugi atau
meneruskan formula yang sama dan telah terbukti menguntungkan? Sudah sejak film
kedua Blue Sky Studios menerapkan
cara opsi pertama, recycling terhadap
Ice Age dengan mengandalkan pesona
karakter dengan aksi hyperactive mereka. Tiga film penerus Ice Age sebelumnya tidak semuanya terasa kurang menyenangkan, namun
mayoritas dari mereka tidak berhasil berada di level yang sama dengan Ice Age. Ice Age: Collision Course?
Review: The BFG (2016)
"What kind of a monster are you?"
Setelah tahun lalu
hadir dengan a very good spy thriller
‘Bridge of Spies’ tahun ini prolific filmmaker Steven Spielberg kembali
dengan sebuah family-friendly fantasy
adventure, The BFG. Bermain dengan fantasi sudah pernah Steven Spielberg
lakukan di ‘E.T. the Extra-Terrestrial’,
a near perfect and one of the best children's and family
entertainment. Sentuhan Spielberg belum pudar di kisah persahabatan antara
manusia dan raksasa ini, petualangan yang ramah bagi penonton muda dibalut
dengan visual yang impresif dan cantik. Pertanyaannya adalah apakah ini sebuah
petualangan fantasi yang luar biasa? It’s
a good family movie from Steven Spielberg.
Notice: Korean Movie Week 2
It's been a while, right? Hampir dua tahun yang lalu tepatnya di bulan
oktober tahun 2014 blog ini mencoba untuk “bergembira” dengan membuat short project dalam bentuk movie week, hanya dua yang berhasil
hadir dan setelah itu hilang di hutan belantara mencari Margot Robbie. Kala itu niat utamanya adalah untuk membuat sebuah segment berisikan berbagai special features salah satunya movie week yang bahkan dicanangkan untuk
hadir setiap empat bulan sekali. Tapi, yeah, tidak semua rencana manusia
berakhir eksis di dunia nyata. Apakah ini usaha untuk kembali menghidupkan niat
awal tadi? Semoga saja, namun di kesempatan kali ini rorypnm hanya ingin kembali “having fun” dalam bentuk short project movie week.
Review: The Purge: Election Year (2016)
Absen tahun lalu dan
memilih tahun 2016 untuk kembali menyapa penontonnya merupakan sebuah strategi
yang sangat cerdik dari franchise
perpaduan social sci-fi, action, dan horror
‘The Purge’. Tema yang dibawa kali
ini memiliki momen yang sangat pas, pemilihan umum Presiden Amerika Serikat
2016, sejak awal telah begitu panas dengan perdebatan yang melibatkan kekerasan
hingga rasis dari salah satu “badut” yang mencoba maju menjadi kandidat. Dengan
budget yang tidak berbeda jauh dari dua pendahulunya tentu saja mudah bagi The Purge: Election Year untuk kembali
mencetak keuntungan finansial yang besar, namun pertanyaannya adalah bagaimana
kualitas yang film ini hasilkan, masih “sama” saja, lebih jelek, atau lebih
segar dan menarik? Donald Trump will love
this one.
Review: Our Kind of Traitor (2016)
"Why did you choose me?"
Ketika kamu mendengar
kata “thriller” mungkin impresi
pertama yang kerap muncul adalah sebuah sajian penuh ketegangan yang
mendebarkan dan bergerak cepat. Ya, itu salah satu elemen penting dari sebuah thriller namun di sisi lain ada pula hal
yang tidak kalah pentingnya: kemampuan sebuah thriller untuk mengikat atensi
dan rasa tertarik penonton pada cerita, konflik, dan karakter, serta semakin
impresif jika hal tersebut berhasil dilakukan ketika hanya “dibakar
hangat" sejak awal hingga akhir. Hal tersebut dilakukan oleh ‘Our Kind of Traitor’ dengan cukup baik,
a "chess" thriller who
play in low gear.
First Half of 2016: Top K-Dramas
Sejak
"berkenalan" dengan K-drama lewat ‘Personal
Taste’ sekitar enam tahun lalu enam bulan pertama di tahun 2016 sejauh ini
menjadi periode di mana saya tenggelam begitu dalam dengan tv-series dari
negeri ginseng tersebut. Dari segi kuantitas paruh pertama tahun ini berada di
posisi yang jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya,
dan yang lebih mengejutkan secara kualitas juga berada di posisi yang serupa.
Dari masalah salah orang hingga kisah cinta antara duda dan janda, dari
karakter utama pengacara hingga dokter dan tentara, berikut adalah tv-series
Korea terbaik di paruh pertama tahun 2016.
Fresh Fifteen: June
15. Imagine Dragons - Not Today (Me Before You OST)
Bukan sebuah lagu yang special namun dengan iringan gitar dan piano yang ringan slow-tempo ballad yang bercerita tentang bagaimana cinta mampu membuat segalanya menjadi lebih mudah berhasil menyampaikan makna di setiap baris lirik secara solid. Itu yang membuat ‘Not Today’ repeatable.
TV Series Review: Another Oh Hae-Young - Part 4 (Felina)
Frenemy di antara dua
wanita dengan nama yang sama kembali muncul ketika mereka bertemu lagi setelah
lulus dari high school. Dilema di antara mereka kini berasal dari seorang pria
dengan short-term indera keenam yang memiliki keterkaitan terhadap masa lalu
kelam yang mereka berdua alami. Dua wanita tersebut menjadi bagian dari
“vision” yang selalu muncul di dalam pikiran si pria, satu di masa lalu dan
satu lagi pada apa yang akan terjadi di masa depan.