06 February 2016

Review: The Finest Hours (2016)


"We all live or we all die."

Apakah kamu ingin menciptakan sebuah disaster drama? Caranya gampang, masukkan karakter kedalam masalah, berikan mereka tantangan di dalam masalah, up and down sembari tetap ciptakan impresi bahwa ada celah kecil yang harus mereka ubah menjadi besar untuk dapat selamat. Terkesan gampang memang dan faktanya memang gampang jika kamu hanya sebatas ingin menciptakan produk yang formulaic, sebuah produk yang tidak ingin mencoba menjadi sebuah disaster drama yang berbeda dari film-film lain yang telah mencoba melakukan hal serupa. The Finest Hours seperti itu, ia bahagia menjadi kemasan yang biasa.

Setelah sempat meragu akhirnya awak kapal di the Coast Guard station bernama Bernie (Chris Pine) berhasil mendapatkan cinta dari wanita Miriam Pentinen Webber (Holliday Grainger), dan segera mereka memutuskan untuk menikah. Bernie merupakan pria yang taat aturan dan ia berniat meminta “izin” kepada atasannya Daniel Cluff (Eric Bana), namun bukannya jawaban pasti yang diperoleh Bernie namun sebuah tugas memimpin misi penyelamatan menuju kapal SS Pendleton, kapal tanker pembawa minyak yang telah terpecah-belah dan di bawah komando Ray Sybert (Casey Affleck) sedang terombang-ambing di laut dan sebisa mungkin untuk memperpanjang nyawa mereka. 



Jika berbicara tentang konsep sulit untuk mengatakan The Finest Hours sebagai sajian yang buruk, dari screenplay sampai dengan cara Craig Gillespie menyajikan bagian pembuka berhasil menciptakan impresi yang begitu kuat. Di awal kita diberikan pria malu-malu yang kemudian merajut asmara dengan wanita pemberani, sangat suka dengan bagian tersebut terutama pada chemistry antara Bernie dan Miriam yang walaupun terasa simple tapi punya pesona yang membuat penonton ingin mereka bahagia. Ya, itu sederhana memang tapi merupakan hal yang sangat penting terutama bagi film ini, karena sisi romance tadi ternyata tidak hanya sebatas jadi pelengkap, ia jadi jangkar dari sebuah kapal yang terombang-ambing diterpa ombak.



Sama seperti objek utama yang ia gunakan The Finest Hours terasa seperti kapal yang terombang-ambing di antara dua elemen cerita yang ia miliki, drama atau film tentang bencana. Dua hal tadi kurang berhasil disatukan dengan baik oleh Craig Gillespie, mereka berdiri terpisah dengan power yang juga terasa tidak ada yang kuat. Ambil contoh kondisi “siap menikah” antara Bernie dan Miriam yang merupakan modifikasi dari novel, fungsinya \menciptakan feel pulang kerumah bagi Bernie tapi justru terasa terlalu biasa. Begitupula yang terjadi di SS Pendleton, secara teknis tampak oke namun upaya trial and error yang dilakukan karakter perlahan mulai tidak mampu membuat penonton merasakan bahaya yang mereka hadapi, dan semakin lengkap karena urgensi cerita juga mengalami hal yang sama.



Itu salah satu kelemahan menjengkelkan dari The Finest Hours, semakin jauh ia berjalan cerita semakin kehilangan urgensinya. Usaha Bernie seharusnya tampak heroik terlebih ada unsur cinta di dalamnya, tapi kenyataannya berbeda. Usaha survival di SS Pendleton seharusnya menjadi penggambaran sikap pantang menyerah dan tidak ada yang mustahil dilengkapi dengan kepanikan, tapi yang tersaji di layar adalah sekumpulan pria dengan semangat bertahan hidup yang terlalu biasa. Dari cerita sendiri The Finest Hours memang sudah tipis, sedikit hal menarik yang ingin disampaikan dan sedikit pula di antara mereka yang berhasil disajikan dengan menarik. Karena materi yang predictable The Finest seharusnya memberikan lapisan emosi yang lebih baik sehingga sensasi cerita juga lebih baik ketimbang tanpa malu-malu bertumpu pada visual untuk mempertebal “kemenangan” di dalam cerita.



Namun ada dua elemen dari film ini yang berhasil tampil baik, bahkan dapat dikatakan menyelamatkan narasi yang sedikit monoton itu. Pertama adalah visual, meskipun kerap membunuh urgensi cerita tapi kualitas CGI dari The Finest Hours berhasil tampil impresif, at least di samping cerita yang terlalu empuk itu kamu akan terus terjaga oleh sajian yang diberikan oleh elemen visual. Dan yang kedua adalah kualitas akting, terutama Casey Affleck dan Holliday Grainger. Ray Sybert adalah karakter sekunder tapi pesona yang ia hasilkan justru mengalahkan karakter utama, Bernie. Chris Pine sendiri patut berterimakasih pada Holliday Grainger yang berhasil menjadikan rasa takut kehilangan Miriam begitu menarik, jika tidak maka misi penyelamatan yang ia lakukan akan berakhir tanpa makna.



The Finest Hours berakhir menjadi sebuah disaster drama yang begitu formulaic, meskipun bukan sesuatu yang salah namun seharusnya formula klasik itu dapat ditampilkan lebih “hidup” lagi, bukannya terjebak dalam visual serta terasa miskin urgensi akibat tidak membekali karakter dan cerita dengan emosi untuk mencengkeram penontonnya. The Finest Hours memang punya kualitas visual yang mumpuni dan digunakan untuk menciptakan kesan wow, namun kisah tentang kemenangan atas kesulitan ini kurang berhasil menciptakan sebuah kemenangan yang membuat penonton bersedia ikut merayakannya bersama karakter. Secara keseluruhan ini tidak buruk, namun tidak mencolok. Segmented. 















Thanks to: rory pinem

0 komentar :

Post a Comment