Review: Creed (2015)


“You are Apollo Creed's son. So use the name, it's yours."

Jika memang harus dipaksa dengan tampilan fisik yang masih tampak perkasa itu Sylvester Stallone sebenarnya bisa saja kembali terjun kedalam ring tinju seperti tahun 2006 yang lalu. Tapi apakah menyaksikan pria berusia 69 tahun masuk ke ring dan menghantam KO lawan-lawannya merupakan harapan semua penonton hingga fans dari film Rocky terbaru? That’s a bit, yeah. Lalu bagaimana cara mengobati rasa rindu pada Rocky Balboa? Creed adalah jawabannya, rekonstruksi penuh hormat dari formula klasik Rocky.

Review: Mustang (2015)


"This time the house really turned into a prison."

Cukup sulit memilih isu apa yang Mustang  miliki untuk digunakan dalam bagian pembuka ini, karena ia punya banyak misi terkait diversity dan liberty yang semuanya terasa menarik. Dari masalah gender, cinta, hingga budaya yang justru tampak seperti penjara, semua dikemas oleh film Turki yang dipilih oleh Prancis sebagai wakil mereka di kategori Best Foreign Language Film pada ajang 88th Academy Awards ini, dalam satu kesatuan yang konsisten bermain-main dalam ketenangan yang mencekam namun ketika ia selesai, boom, there’s a bullet, hadir sebuah punch sangat kuat yang membuat penonton bergumam “ini cantik, ini indah”. Beautifully disturbing experience. The Virgin Suicides reborn with Rapunzel. One of my favorite movies of the year!

Review: The Night Before (2015)


“Did you just call our baby a cunt?”

The Night Before merupakan percobaan terbaru dari Evan Goldberg dan Seth Rogen untuk menciptakan komedi yang berusaha make you laugh at tragedy, bisa dikatakan pula seperti kelanjutan dari 50/50 di dunia berbeda dengan kembalinya sang sutradara, Jonathan Levine, dan juga pemeran utama, Joseph Gordon-Levitt. Tapi membuat komedi dengan berlandaskan tragedi bukan sebuah pekerjaan yang mudah, itu sama saja seperti menghibur orang yang baru saja putus cinta dan masih berurai air mata dengan menggunakan music electronic dance. Film ini seperti itu, ada hiburan yang fun tapi something is missing. Weird comedy.

Review: Legend (2015)


"Me and my brother, we're gonna rule London!"

Bukankah menggunakan kata legenda sebagai judul film sudah menunjukkan bahwa film tersebut memiliki rasa percaya diri yang tinggi? Ya, benar, tapi terdapat makna lain selain itu, bisa sebagai cover misalnya untuk menutupi kekurangan yang ia miliki. Legend punya tiga hal yang ingin ia sampaikan, ia berniat memberikan kamu kekerasan penuh ketegangan dan ancaman, ia ingin memberikan kamu kisah cinta dengan bumbu asmara, dan ia ingin menggambarkan moral serta martabat dengan menggunakan perubahan. Pertanyaan setelah itu hanya satu, apakah Legend berhasil menjadi legenda?

Review: The Accidental Detective [2015]


Masalah kriminal, misteri pembunuh utama, lalu alur prosedurial yang sedikit diwarnai dengan komedi. Sudah berapa sering formula seperti itu kamu saksikan? Lalu apakah dengan mengusung formula klise tadi lantas tidak ada yang menarik dari film asal Korea ini? Ada satu hal yang menarik dari industry film Korea, dasar cerita yang mereka gunakan kerap kali membuat kamu merasa familiar tapi mereka tahu bagaimana mengolah isu kecil didalamnya supaya meninggalkan kesan hangat bagi penontonnya. Seperti judulnya The Accidental Detective (Tamjung: Deo Bigining) adalah film tentang detektif, tapi ia juga menghadirkan isu relationship yang menarik.

Review: Mr. Holmes [2015]


"Get it right, before I die."

Film terbaru dari sutradra dua bagian terakhir Twilight ini pada dasarnya memang menggunakan karakter Sherlock Holmes sebagai jualan utamanya, namun ternyata hal lain yang ia jual disamping itu sedikit berbeda dari tipikal hiburan dengan keterkaitan Sherlock Holmes didalamnya. Masih ada misteri, kamu juga masih bertemu dengan detektif, tapi ketimbang memberikan kamu pertanyaan lalu mulai berputar-putar untuk menemukan jawaban, Mr. Holmes dengan kesederhanaan di posisi terdepan justru berhasil menjadi sebuah drama tentang hidup yang terasa hangat dan manis.

Review: The Good Dinosaur (2015)


"If you ain't scared, you ain't alive."

Sejak berita kehadirannya tahun 2011 yang lalu, The Good Dinosaur sebenarnya sudah seperti kapal yang bukannya memecah gelombang ombak tapi terombang-ambing terbawa gelombang ombak. Produksi film ini punya (beberapa) masalah, jadwal rilis yang mundur dua kali dari tahun 2013 hingga berakhir di tahun 2015, pergantian produser dan sutradara, dibongkar dan mengalami proses yang Pixar sebut "completely reimagined", hingga perubahan para pengisi suara di bulan juni yang lalu. Berbagai problema tadi menjadikan The Good Dinosaur tampak seperti proyek yang penuh penyakit. Hasilnya? Ya, The Good Dinosaur, bukan The Great Dinosaur.

Review: Victor Frankenstein [2015]


"You know the story."

Frankenstein yang merupakan karakter yang punya pengaruh besar terkait mitos penciptaan, seorang ilmuwan dengan rasa cinta pada eksistensi “kemungkinan” yang kemudian membuatnya berusaha untuk menghidupkan mayat, menghadirkan malapetaka bagi semua orang. Victor Frankenstein mencoba membawa kamu bertemu kembali dengan Frankenstein namun lewat presentasi yang berbeda, memutar sudut pandang dengan sentuhan modern. Pertanyaan yang muncul sangat sederhana, apakah keputusan tersebut berhasil membawa penonton bertemu dengan Frankenstein yang “menyenangkan”?

Review: Secret in Their Eyes (2015)


"The truth lies in the most unexpected places."

Judul yang mereka miliki dalam bahasa Inggris memang hanya berbeda di the pada bagian depan, tapi perbedaan hasil yang diberikan oleh film ini dengan The Secret in Their Eyes (El secreto de sus ojos) cukup besar. The Secret in Their Eyes merupakan sebuah crime thriller yang menjadi wakil Argentina di ajang 82nd Academy Awards di mana ia berhasil menjadi film berbahasa asing terbaik. Secret in Their Eyes? Ini merupakan drama misteri dengan bumbu romance yang mencoba “menipu” penontonnya.

Review: The 33 (2015)


"I knew this place was dangerous!"

Kecelakaan pertambangan Copiapó yang terjadi pada tahun 2010 merupakan salah satu perisitiwa menakutkan yang dapat membunuh 33 penambang yang terperangkap di bawah tanah. Usaha penyelamatan yang memakan waktu 69 hari menjadi perhatian dunia kala itu, dan fakta bahwa 33 orang penambang tadi berhasil tetap hidup dan selamat dari maut yang siap menghampiri mereka kapanpun itu menjadi sebuah kisah perjuangan hidup yang inspiratif. Jangan heran lima tahun kemudian muncul film yang berusaha menggambarkan kembali kisah yang memang layak dibawa ke layar lebar tersebut. Masalahnya adalah apakah The 33 mampu menghadirkan magic dari kisah ajaib tersebut?

Review: Carol (2015)


"Some people change your life forever."

Apakah cinta punya masa kadaluarsa? Apakah cinta punya batasan yang melarang dua insan saling melengkapi gairah asmara yang mereka miliki? Ketika melihat pasangan kakek dan nenek jalan bergandengan tangan selalu ada rasa iri pada mereka, karena mereka mampu mendapatkan dan mempertahankan rasa cinta yang mungkin saja mereka mulai setengah abad sebelumnya. Ya, perjuangan mempertahankan lebih sulit ketimbang perjuangan saat mencoba mendapatkan. Mendapatkan cinta, merasakan cinta, mempertahankan rasa cinta, Carol tampilkan itu dengan gairah yang indah dan mewah. Romance with orchestra.

Review: The Hunger Games: Mockingjay – Part 2 [2015]


"But if you kill him, Katniss, all those deaths, they mean something."

Sampai kapan tren membagi bagian penutup dari sebuah film series yang jadi populer sejak dilakukan oleh Harry Potter lima tahun yang lalu itu akan bertahan? Dari segi finansial tentu saja bagus, lahan jadi bertambah banyak dan lebar yang juga bisa dimanfaatkan untuk menggambarkan cerita dan karakter menjadi lebih dalam dan detail. Tapi bagaimana jika sumber dari bagian penutup itu pada dasarnya tidak punya materi yang gemuk, seperti novel yang menjadi sumber The Hunger Games: Mockingjay – Part 2 ini? Riskan.    

Review: Spotlight (2015)


"They knew and they let it happen!"

Sebenarnya jika dilihat dari dasar ceritanya Spotlight merupakan sebuah kemasan yang sederhana, tapi jujur saja cukup sulit untuk membuat kalimat pembuka bagi film ini. Mungkin bagi sebagian orang ini akan terkesan berlebihan, tapi Spotlight merupakan jenis drama prosedurial yang selalu kita nantikan kehadirannya setiap tahun, karena jumlah mereka yang berhasil mencapai level top-class terhitung langka. Spotlight seperti ketika The Hurt Locker, Zero Dark Thirty, dan Argo bersama dengan Hulk serta Birdman berkumpul dan berkerja sama di dalam ruang investigasi The Boston Globe. First-class drama.

Review: The Peanuts Movie (2015)


"If there's one person you want at your side at a time like this, it's your loyal dog."

Pada awalnya saya sangat optimis The Peanuts Movie dapat menjadi salah satu calon kuat di kategori animasi tahun ini, meskipun sejak pertengahan tahun kita sudah tahu siapa juaranya. Membawa pesan yang sederhana The Peanuts Movie memang berhasil menjadi sajian animasi yang lembut, bukan sebatas nostalgia bagi penonton dewasa namun juga berhasil menjadi petualangan yang manis bagi penonton muda, namun bagaimana setelah film ini berakhir? It’s good, but, yeah.

Review: By The Sea (2015)


“Have I really become that dull?”

Saya tidak tahu berada di posisi mana ketika tahun lalu Angelina Jolie menyatakan niatnya untuk pensiun sebagai aktris. Jolie punya alasan yang unik dibalik keputusannya yaitu tidak lagi merasa nyaman berada di depan kamera dan merasa nyaman berada di belakang kamera, tapi disisi lain film yang telah ia sutradarai kala itu, In the Land of Blood and Honey, meskipun mendapat nominasi Golden Globe juga kurang memuaskan. Rasa ragu eksis, dan boom, hadir Unbroken yang ada di level serupa. By the Sea persis seperti alasan Angelina Jolie tadi, Before Midnight yang merasa nyaman menjadi tidak nyaman.

Review: Heist (Bus 657) [2015]


"I want you to be the hero. I want you to save me."

Segala kerumitan cerita sebenarnya tidak perlu menjadi hal yang merepotkan bagi film yang mengusung thriller sebagai jualan utamanya, karena tugas utama memberikan thrill kepada penonton. Heist (Bus 657) mengusung tiga elemen: action, crime, dan thriller, dan ia merupakan salah satu dari sekian banyak film thriller yang terjebak dalam kerumitan dan akhirnya kerepotan untuk menghibur penontonnya dengan thrill yang menarik.

Review: Trumbo (2015)


"When they tried to silence him, he made the world listen."

Tugas dari sebuah film biografi bagaimana ia secara komprehensif mencoba menceritakan kembali kisah kehidupan seseorang atau setidaknya bagian paling historis atau penting dari kehidupan mereka. Ia tidak boleh hanya sekedar "menghidupkan kembali" tokoh utama tapi ia juga harus membawa penonton masuk kedalam mode mengamati karena mayoritas dari mereka merupakan sebuah character study. Hanya itu? Tidak, karena seberapa kuat dampak yang hasilkan setelah menyaksikan kehidupan tokoh yang ia gambarkan juga punya peran penting. Semua hal itu dilakukan oleh Trumbo dengan aman. 

Review: Spectre [2015]


"You are a kite dancing in a hurricane, Mr Bond."

Kabar bahwa Daniel Craig akan mundur sebagai James Bond setelah selesai bertugas di Spectre sebenarnya sangat mengejutkan buat saya. Alasannya? Karena di film sebelumnya, Skyfall, saya baru benar-benar merasa Daniel Craig sebagai seorang James Bond yang "tangguh", karakteristik dan karisma miliknya sebagai Agent 007 mencapai titik tertinggi, ia bersinar. Itu semakin disayangkan karena Skyfall sesungguhnya juga seperti sebuah transisi yang hendak membawa kita bertemu kembali Bond dengan rasa klasik, dan Spectre terhitung berhasil melanjutkan baton yang ia terima.

PnM Awards 2016 Early Lists: Indonesia, Song, & TV (Comedy)



Setelah hampir tiga minggu yang lalu rorypnm memulai early list lewat big six, kali ini kami mencoba meneruskan kehadirannya dengan memperkenalkan daftar calon terbaik dari kategori lainnya. Kali ini kami memilih film Indonesia terbaik, lagu terbaik, dan tv-series terbaik. Ini masih tahap awal namun dari kategori tv-series sendiri melakukan seleksi sudah sangat-sangat memusingkan, terdapat lebih dari dua puluh calon untuk 10 slot, hal yang juga terjadi di kategori  lagu terbaik. Kejutan lain datang dari film Indonesia, tahun lalu di periode yang sama saya baru punya enam film untuk mengisi delapan slot, namun tahun ini ada sepuluh buah film. 

Review: The Little Prince [2015]


"Growing up is not the problem, forgetting is."

Paman saya pernah mengatakan bahwa hal terindah yang ia alami sebagai orang tua adalah ketika melihat anaknya yang masih berusia lima tahun berlari-lari di ruang tamu dengan mainannya. Dia juga pernah melontarkan dua hal yang salah satunya membuat saya merasa aneh kala itu, pertama bahwa ia tidak ingin anaknya tumbuh dewasa, dan ia ingin anaknya menikmati menjadi “anak-anak”. Dua hal itu yang jadi isu utama dari The Little Prince, hubungan dua arah antara dewasa dan anak-anak yang dikemas dalam bentuk animasi yang cukup manis.

Review: Brooklyn (2015)


"I want you to stay here with me."

Menarik untuk membuka sebuah review dengan cara seperti ini, memberikan warning bahwa Brooklyn dari luar tampak sangat sederhana namun dibalik itu ia ternyata merupakan sebuah drama romance yang sangat “berbahaya”. Brooklyn berhasil membuat penontonnya tidak hanya merasakan cinta ketika ia hadir di hadapan mereka, kamu akan pulang bersama kehangatan cinta dengan kadar yang lebih besar, kamu akan pulang dengan keinginan yang juga tidak kalah besar untuk tenggelam lebih jauh di dalam cinta. In terms of romance this one not only a top-notch, it’s a killer!

Review: Miss You Already (2015)


"When life falls apart, friends keep it together."

Menciptakan sebuah film yang jualan utamanya berupa komedi tapi menggunakan tema gelap yang lebih cenderung dibentuk menjadi drama serius, seperti kematian misalnya, merupakan tugas yang tricky. Iya, tricky, bukan mustahil. Yang pertama terlintas di pikiran dari kombinasi tadi adalah 50/50, Adam mengidap penyakit dengan kemungkinan sembuh dan tidak di posisi sama besar, kemudian Adam dibantu oleh teman disekitarnya berjuang untuk mendapatkan hasil terbaik. Seperti itu pula konsep Miss You Already, drama-comedy dari sutradara Twilight.

Review: Shrew's Nest (Musarañas) (2014)


Bukan berarti keberadaan mereka tidak ada, tapi film kombinasi drama, horror, dan thriller seperti Shrew's Nest ini tergolong langka, mereka yang tidak sekedar membuat kamu terkejut dan takut dengan cara-cara khas atau klasik dari dua genre terakhir. Shrew's Nest (Musarañas) berhasil memberikan salah satu hal yang paling saya suka dari kombinasi drama, horror, dan thriller, ia membuat penonton mabuk bersama cerita dan karakter, kamu melangkah maju tapi merasa waspada terhadap sisi belakang, kamu juga dibuat waspada dengan sisi depan tapi tidak menghalangi niat untuk terus melangkah maju. Horror thriller dengan basis drama psikologis yang manis.

Review: Flowers (Loreak) (2014)


Suka dan duka itu punya hubungan simbioisis mutualisme, karena kehadiran mereka saling menguntungkan satu dengan yang lain. Seperti Rihanna yang mengatakan “we found love in a hopeless place”, kamu tetap dapat bertemu dengan sukacita ketika kamu melihat sebuah jalan yang menanti layaknya terowongan panjang yang gelap, ketika kamu berteriak dan tidak ada yang mendengar, situasi hopeless yang tidak mudah untuk di mengerti semua orang. Kondisi pedih itu yang dimiliki oleh Flowers (Loreak), mengajak penonton bukan cuma melihat, namun juga ikut merasakan.

Review: Love (2015)


"What is your ultimate fantasy?"

Unsimulated sex dimana dua atau lebih pemeran melakukan "seks" yang tidak di simulasi, alias real sex, sebenarnya bukan “barang baru" di dunia cinema, sebut saja seperti The Bunny Game yang mengejutkan itu serta Stranger by the Lake yang rilis dua tahun lalu. Oh ya, Nymphomaniac. Namun mayoritas diantara mereka kehadirannya lebih seperti “sweeter” dimana posisi serta perannya untuk menguatkan misi dan isi dari cerita. Gaspar Noé ingin menerapkan hal tersebut di film terbarunya ini, Love, yang bahkan ia sokong dengan penggunaan 3D yang terhitung cukup oke, tapi apakah itu mampu menguatkan misi dan isi dari cerita? A love story with hardcore sex from the producer of Blue Is the Warmest Colour.