Review: Room (2015)


"Are we in another planet?"

Banyak cara yang bisa ditempuh oleh sebuah film untuk bukan sekedar menghibur penonton ketika ia hadir tapi juga menjadi memori yang manis ketika penonton melangkah pulang, bisa menggunakan efek visual yang mahal, kinerja akting dan kualitas cerita, hingga memainkan elemen teknis seperti sinematografi dan score. Tapi ada satu cara unik, menjadi tontonan yang menarik dengan cara “menyiksa” penonton. Room melakukan itu dengan sangat baik, menggunakan kisah cinta dan kasih sayang antara ibu dan anak untuk memberikan salah satu pengalaman cinema paling menyedihkan di tahun 2015. Tremblay will make you trembling. 

Review: Bridge of Spies (2015)


"We have to have the conversations our governments can't."

Bridge of Spies adalah sebuah film “dingin” yang menyenangkan. Seperti judul yang ia gunakan isinya seputar aksi spy tapi ketimbang menghibur kamu dengan ledakan besar ia lebih memilih untuk menjadi sebuah kemasan yang lebih kalem, sebuah drama thriller yang lebih renyah namun tetap menghasilkan punch yang memikat di akhir cerita. Steven Spielberg dinilai sebagai sutradara film terbesar sepanjang masa, dan Bridge of Spies menjadi entry terbaru yang semakin menguatkan penilaian tadi. Personally, for me ini film terbaik Steven Spielberg setelah Schindler's List, a triumph of filmmaking.

Review: Steve Jobs (2015)


"Musicians play their instruments. I play the orchestra."

Steve Jobs merupakan sebuah presentasi manipulasi yang mengasyikkan, sebuah biopic yang seperti tidak ingin sekedar membawa kamu sebagai penonton menemukan jawaban atas pertanyaan tapi justru tampak seperti sebuah studi karakter bersama berbagai masalah dalam temperatur tinggi. Steve Jobs lebih terasa seperti sebuah drama ketimbang biografi yang menceritakan kisah hidup sosok pendiri Apple, namun di tangan Trainspotting dan Slumdog Millionaire ia tampil indah sejak awal hingga akhir.

Movie Review: Sicario (2015)


"You will not survive here. You are not a wolf, and this is a land of wolves now."

Begitu banyak kata yang dapat digunakan untuk secara singkat menggambarkan Sicario, yang memiliki arti Hitman, namun ada satu kata yang sangat tepat untuk memulai semuanya: sick! Ya, sakit, Sicario merupakan sebuah sajian thriller yang sakit, ibarat sebuah taman bermain ia seperti sebuah rumah hantu dengan kualitas yang sangat baik, akan membuat pengunjungnya merasa waspada ketika masuk, mulai merasakan kecemasan yang terus meningkat, semakin terjebak dalam ketegangan hingga akhirnya merasa di hantui ketika telah sampai di garis finish. Sicario: a sick thriller.

Movie Review: The Martian (2015)


"So, technically, I colonized Mars. In your face, Neil Armstrong!"

Sebagian besar dari anda mungkin telah tahu bahwa salah satu dari sekian banyak hal menarik yang manusia lakukan sekarang ini bukan hanya berusaha saling menjatuhkan manusia lain, baik itu dengan cara yang bersih maupun kotor, namun juga berusaha mencari solusi ketika suatu saat semua manusia telah “jatuh”. Dimana? Salah satu targetnya adalah tetangga bumi, yaitu Mars. Apakah ada potensi kehidupan di Mars? Well, itu masih menjadi tanda tanya, namun yang menarik disini adalah pertanyaan tadi justru berhasil digunakan dengan baik oleh film ini untuk menyuguhkan space adventure yang menyenangkan. The Martian: a sweet tour on Mars.

Sebuah misi bernama Ares III yang beranggotakan Mark Watney (Matt Damon), Major Rick Martinez (Michael Peña), Beth Johanssen (Kate Mara), Dr. Chris Beck (Sebastian Stan), Dr. Alex Vogel (Aksel Hennie), dibawah komando Melissa Lewis (Jessica Chastain) sedang berupaya melakukan eksplorasi di Mars. Semuanya tampak akan berjalan dengan lancer hingga suatu ketika badai pasir skala besar hadir dan menerjang Ares III, yang pada akhirnya memang berhasil melepaskan diri dari terjangan badai tadi. Namun ada satu masalah yang tertinggal, Mark Watney tidak berhasil masuk kedalam pesawat dan tertinggal.

NASA dengan cepat mengambil teori bahwa dengan skala badai yang begitu besar probabilitas Mark Watney untuk dapat selamat dari tragedy tersebut sangat kecil, yang berujung pada pernyataan bahwa Mark Watney telah tewas di Mars. Menariknya yang sesungguhnya terjadi di Mars justru sebaliknya: Mark Watney selamat. Masalahnya adalah bagaimana cara mengembalikan Mark kembali ke bumi, misi berikutnya masih begitu lama, misi penyelamatan darurat memerlukan waktu yang cukup panjang untuk di bangun, dan Mark hanya ditemani peralatan serta persediaan makanan yang begitu terbatas untuk dapat memperpanjang masa hidupnya. At least di Mars.


Jika anda merasa Gravity yang hadir dua tahun lalu sebagai petualangan luar angkasa yang terlalu sederhana (yang notabene juga menandakan bahwa anda tidak begitu klik dengan sisi emosi yang ia tawarkan) dan disisi lain anda juga merasa bahwa Interstellar yang hadir tahun lalu sebagai petualangan luar angkasa yang terlalu kompleks, maka The Martian berpotensi besar untuk memberikan hit yang lebih besar dari dua film tadi. Ini seperti titik tengah diantara Gravity dan Interstellar, cerita yang di adaptasi dari novel karya Andy Weir dan di tulis ulang oleh Drew Goddard tidak melepas mau mengikat penonton secara berlebihan, karena The Martian dapat disebut sebagai tour ke Mars paling murah yang mungkin manusia dapat temukan.

Mengapa tur? Karena menyaksikan The Martian penonton seperti di tuntun dengan lembut oleh Ridley Scott, kita memperoleh kisah prosedurial namun disisi lain kita berjalan bersama Mark seperti tanpa memiliki jadwal yang padat, mengikat, dan menyiksa. Santai, itu adalah kesuksesan utama The Martian, bagaimana ia memainkan banyak isu sederhana dengan serius tapi santai, seperti will power misalnya, lalu don’t stop believing, hingga isu-isu lebih kompleks yang otomatis mengangkut masuk unsur politik. Hal tersebut merupakan hasil dari script yang oke, tanpa banyak memakan waktu Mark langsung dipisahkan dari kelompoknya, kemudian terjebak dan mencari solusi untuk keluar, terasa sederhana tentu saja namun kesan tersebut tidak mengganggu berkat senjata lain yang di miliki oleh The Martian, ia punya charm yang kuat.


Tidak butuh waktu lama penonton akan merasa seperti mereka sedang berada di samping Mark Watney, dan itu merupakan pencapaian yang sangat krusial untuk sebuah kisah tentang usaha survival. Plot bergerak bersama berbagai penjelasan terkait sains di dalamnya, namun cara ia tampil yang terasa begitu segar menjadikan proses yang berlangsung baik itu di Mars maupun di bumi yang faktanya mendominasi cerita tidak terasa melelahkan. Seperti hangout dengan pemandu tour, begitu penonton di posisikan oleh Ridley Scott disini, mengolah skenario bentukan Drew Goddard untuk menyajikan eksposisi terkait teknologi yang mudah di nikmati karena unsur fear and fun cerita begitu seimbang. Hasilnya besar, penonton benar-benar berinvestasi pada cerita.

Pencapaian tersebut memang mendapat pengaruh yang cukup signifikan dari script namun beberapa elemen lain punya kontribusi yang tidak kalah besar, sebut saja penggunaan GoPro yang terasa sangat cerdik itu. Novel The Martian pada dasarnya memiliki cerita yang begitu tricky, tipe first-person pov yang kemudian melahirkan pertanyaan apakah hal tersebut mampu di terjemahkan kedalam kedalam bentuk narasi film tanpa kehilangan kemampuan untuk menjaga atensi penontonnya sejak sinopsis hingga akhir. Hasilnya: ya! GoPro seperti penonton, narasi yang di sisi dengan video bergaya selfie tidak hanya sukses menjadi buddy yang menghindarkan Mark dan cerita dari situasi stuck dan monoton, ia juga berperan sebagai “pelembut” dalam memainkan tempo dan irama cerita, hal yang juga dilakukan dengan baik oleh soundtrack.


Petualangan luar angkasa ditemani lagu disco rock? Itu tricky, namun The Martian menyajikannya dengan manis, semua berkat editing yang terasa mumpuni. Kinerja editing The Martian begitu mudah di kagumi, ia mampu menyeimbangkan dua sisi dari cerita yaitu Mars dan bumi dengan baik, kombinasi diantara dua bagian tersebut terasa pas sehingga drama dan komedi dari masing-masing bagian berhasil menghadirkan thrill yang oke dan asyik. Hal menarik dari editing ia juga mampu membuat anda mengagumi kualitas visual milik The Martian dalam menampilkan Mars namun disisi lain tidak menjadikan mereka mencuri atensi secara berlebihan sehingga unsur dramatis dari plot tidak pernah kehilangan intimitas miliknya. Mix and match itu yang menjadi hal mencolok dari The Martian.

Bagaimana dengan kinerja cast? Matt Damon berhasil menjalankan tugas berat yang ia miliki, menjadikan aksi bertahan hidup Mark Watney tidak hanya bergerak tanpa hambatan tapi ikut meninggalkan berbagai punch kecil di setiap bagian. Sisi komikal Mark berhasil dimainkan dengan sangat baik oleh Matt Damon dan menariknya itu tidak mengganggu sisi serius dari usaha yang ia bangun untuk keluar dari Mars. Beberapa pemeran pendukung sukses mencuri perhatian, seperti Chiwetel Ejiofor dan Donald Glover, begitupula dengan chemistry tim Ares III walaupun memiliki porsi yang tidak begitu besar. Yang menganggu dari bagian ini adalah Jeff Daniels dan Kristen Wiig. Kontribusi Kristen Wiig diluar dugaan terasa kecil dan tidak berarti, dan Jeff berusaha menjadikan Teddy seperti Will McAvoy tapi sayangnya Harry Dunne seringkali mendominasi tampilan karakternya.



Overall, The Martian adalah film yang memuaskan. Pada dasarnya The Martian bukan merupakan sebuah rollercoaster dimana anda akan dibawa naik dan turun dalam alur lintasan yang tajam, karena Ridley Scott tampak berupaya menjadikan ini aksi survival dengan cita rasa tur. Keputusan aneh? Ya, jika tidak di bentuk dengan tepat, hal yang tidak dialami oleh The Martian. Script yang ketat menjadikan karakter, cerita, dan tujuan utama berdiri kokoh di bagian awal, setelah itu ia diwarnai dengan visual yang manis, ketegangan dalam komposisi yang pas, sisi emosi dan dramatisasi yang tidak berlebihan, performa cast yang oke, dan dilengkapi elemen fun yang terasa tajam, semuanya bersatu dan saling bantu mencuri atensi dibawah kendali padat Ridley Scott. A feel-good movie. (rp)