TV Series Review: The Producers - Part 3


Sinopsis: Di pusat kawasan bisnis Yeouido, Seoul, Korea Selatan, terdapat sebuah gedung yang tidak pernah tidur selama 24 jam dalam tujuh hari, lantai enam gedung Korea Broadcasting System (KBS). Tampak seperti kantor biasa namun disana mereka dengan pendidikan tinggi dapat memperoleh label orang bodoh ketika program variety show hasil syuting, editing, hingga meeting sepanjang malam yang mereka hasilkan memperoleh rating rendah. (Spoiler Alert)

Review: Inside Out (2015)


"This film is dedicated to our children. Please don't grow up. Ever."

Cukup sulit untuk menemukan sesuatu yang benar-benar push-you-into-new-level, sesuatu yang mampu membawa apa yang telah eksis untuk kemudian maju atau naik menuju level selanjutnya. Oleh karena itu mari sambut Inside Out, sebuah film animasi dari studio yang mengalami sedikit guncangan pada status one-to-beat dimata para penggemar film setelah menelurkan Toy Story 3 lima tahun yang lalu, sebuah karya yang bukan hanya menjalankan tugasnya menghibur penonton muda dan tua dengan sajian yang kreatif, cerdas, lucu, dan juga indah, namun juga sebuah kemasan ambisius yang imajinatif dan inovatif di penuhi dengan emotional rollercoaster yang akan membuat kamu: smile, silent, and sob. This one, truly, a fantastic delight.  

Review: Doraemon: Nobita's Space Heroes [2015]


Tentu saja ada alasan mengapa Doraemon dipilih menjadi karakter kartun paling favorit di Jepan sana, karena sosok robot kucing yang datang dari masa depan ini seperti sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat disana, tidak peduli berada di golongan usia mana mereka. Sama halnya di Indonesia, setiap hari minggu bersama Nobita ia menghiasi layar televisi kita. Nah, seperti itulah rasa yang diberikan oleh Doraemon: Nobita's Space Heroes, setelah Stand by Me Doraemon dengan tampilan 3D apa yang diberikan film terbarunya ini tidak lebih seperti pengalaman menyaksikan film doraemon yang sudah sangat familiar itu.

Review: Minions [2015]


"Banana! Banana!"

Sesuatu yang salah tentu saja mengharapkan rasa spaghetti di saat kamu sedang menyantap mie yang baru saja kamu rebus satu menit yang lalu tanpa tambahan bahan lainnya. Seperti itu pula yang diharapkan oleh Minions kepada penontonnya, berharap semoga mereka mengerti apa yang akan mereka dapatkan dari tiga (dan ratusan) pisang dipenuhi interaksi dengan kesan omong kosong ini, karena kamu tidak akan memperoleh nada gelap dari Gru serta materi hangat dari tiga gadis muda dan lucu itu.

Hot This Week - 062115


Review: Me and Earl and the Dying Girl (2015)


"One last thing. Hot girls destroy your life. That's just a fact."

Judulnya memang terkesan mencoba untuk meninggalkan kesan lucu, faktanya film ini memang sebuah kisah coming-of-age yang lucu, tapi di balik itu Me and Earl and the Dying Girl memiliki sesuatu yang menjadikannya tidak sama seperti film drama komedi bertemakan romance dan persahabatan kelas standar. Ini seperti menyaksikan film Wes Anderson tanpa keterlibatan Wes Anderson di dalamnya, mencampur sedih dan tawa bahagia, sebuah petualangan visual dan emosi yang meninggalkan penonton dengan perasaan campur aduk yang segar dan menyenangkan.

Greg Gaines (Thomas Mann) merupakan pelajar SMA yang gemar membuat parodi dari film-film terkenal bersama sahabatnya Earl (RJ Cyler), dengan lebih dari 40 buah film parodi telah berada di filmografi mereka. Greg punya konsep menarik dalam kehidupan di sekolahnya, ia tidak pernah mencoba terlalu akrab dengan siswa lain di luar Earl dan guru mereka Mr. McCarthy (Jon Bernthal). Hasilnya, remaja yang dalam tekanan untuk memutuskan kemana ia akan melanjutkan studi itu menjadi anggota dari banyak kegiatan ekstrakurikuler. Namun kehidupan Greg suatu ketika berubah, sang ibu (Connie Britton) meminta Greg untuk “menghibur” Rachel Kushner (Olivia Cooke), teman sekelas yang terasa asing bagi Greg, remaja yang telah didiagnosis mengidap leukemia.



Pada awalnya ini terkesan predictable, mungkin banyak disebabkan oleh cerita yang memang masih sangat sederhana, tapi secara perlahan-lahan dan penuh percaya diri Alfonso Gomez-Rejon membuat cerita dan karakter bukan cuma sekedar mencuri perhatian penonton tapi membuat mereka jatuh hati serta kemudian mencintai cerita dan juga karakter. Sulit untuk tidak mengikut sertakan nama Wes Anderson dalam pembahasan karena Me and Earl and the Dying Girl sangat kental dengan rasa unik khas Wes Anderson, baik itu dari presentasi visual hingga bagaimana Alfonso Gomez-Rejon memainkan unsur drama, komedi, persahabatan, hingga romance secara seimbang dan juga sangat sopan.



Iya, Me and Earl and the Dying Girl terasa mempesona karena ia tidak mencoba mengikat kamu pada satu dari empat bagian tadi, justru mencampur mereka dengan nikmat. Me and Earl and the Dying Girl punya kisah persahabatan sebagai pondasi utama tapi tidak dipoles secara berlebihan, penonton dengan cepat merasakan kehangatan dari hubungan antara Greg dan Earl. Setelah itu eksis lalu muncul Rachel, dan koneksi antara tiga karakter utama juga dengan cepat dan efektif terbangun. Itu mengejutkan jika melihat dua karakter utama pada dasarnya merupakan remaja yang seolah terlalu santai dalam menghadapi masa depan dan tenggelam dalam hobby mereka. Greg dan Earl mencuri simpati dan empati, lalu Rachel masuk menjadi jembatan menuju kisah menemukan "jalan pulang".



Me and Earl and the Dying Girl pada dasarnya merupakan kisah dari tiga remaja yang “hilang” dalam kehidupan mereka, lalu menciptakan simbiosis sehingga saling membantu untuk menemukan jalan pulang. Sama seperti drama dengan emosi yang tidak mencoba terlalu keras menjadi sebuah tearjerker, proses bertumbuhnya karakter juga tampil natural, Me and Earl and the Dying Girl bercerita secara tenang dan hangat dengan mengandalkan keintiman dan rasa relatable yang telah terbangun antara cerita, karakter, dan penonton sebagai senjata utama. Memiliki animasi stop-motion, memiliki lelucon yang beberapa di antara mereka berhasil menciptakan momen lol, tapi hati selalu teguh berdiri sebagai pusat utama Me and Earl and the Dying Girl meskipun ia selalu berpindah dari gelap dan terang dengan gerak cepat.



Selain eksekusi Alfonso Gomez-Rejon yang oke, skenario yang asyik, editing yang manis, kinerja cast juga punya andil besar dalam kesuksesan yang dicapai Me and Earl and the Dying Girl. Thomas Mann menjadikan Greg sebagai remaja norak yang charming, punya karisma tersembunyi yang manis. RJ Cyler membuat Earl sebagai penyeimbang bagi Greg dengan cara yang tepat, saya suka cara ia menjadi penggambaran sisi “I don’t give a” dari dunia remaja. Dan Olivia Crooke menjadi pelengkap yang cantik, berperan sebagai gadis yang sedang sekarat ia mencuri simpati dan empati tapi memiliki kehangatan yang membuat Rachel begitu mudah untuk dicintai karena pertolongan secara tidak langsung yang juga ia berikan kepada Greg dan Earl. Pemeran pendukung seperti Molly Shannon dan Nick Offerman juga menjalankan tugas mereka dengan baik.




Me and Earl and the Dying Girl merupakan sebuah prestasi sinematik yang cantik, membawa penonton menyaksikan kisah coming-of-age berisikan persahabatan di mana tiga remaja saling menyembuhkan satu sama lain. Tidak hanya menarik tapi cerita dan karakter begitu mudah untuk dicintai, dengan nada yang ringan dan ritme yang tepat menjadi sebuah petualangan visual dan emosi yang menggambarkan “kehidupan” sebagai sebuah renungan yang serius tanpa mencoba terlihat dan terasa terlalu serius dan kaku. Hasilnya, energi yang konsisten sejak awal hingga akhir menjadikan finale terasa begitu menyayat hati. An "authentic" emotional journey.












Cowritten with rory pinem