Mengubah novel menjadi
sebuah film dengan durasi kisaran dua jam tentu saja bukan sebuah pekerjaan
yang mudah, tapi disisi lain bukan pula pekerjaan yang susah. Ada yang menyebut
mereka sebagai sesuatu yang tricky, ketika penulis dan sutradara tidak perlu
lagi memikirkan bagaimana menciptakan bahan dan bentuk bagi cerita yang ingin
mereka sampaikan, tapi disisi lain ia juga punya tugas agar bahan yang telah
tersedia tadi dapat di bentuk atau dimasak menjadi sebuah hidangan yang pas,
hidangan yang “tepat”. Child 44 bertemu
dengan ambisi yang besar dalam hal tadi, yang sayangnya menghasilkan boomerang baginya.
Review: The Water Diviner (2014)
Penonton mana yang
tidak suka ketika mereka dibawa berjalan oleh sebuah film untuk kemudian
bertemu dengan banyak warna variatif, dari gelap menuju terang kemudian bertemu
dengan warna yang sedikit sendu. Tapi hal tersebut tidak lantas justru membuat
film tersebut merasa santai dan tenang karena keputusan untuk menjadi tampak
berwarna harus ia sokong pula dengan tanggung jawab agar semua warna tadi dapat
bercampur dengan baik dan saling mendukung satu dengan lainnya, karena
kesalahan kecil dapat menghasilkan dampak yang signifikan. Nah, itu yang akan
kamu temukan pada The Water Diviner.
Review: Adult Beginners (2015)
"Some people just can't handle growing up."
Saya selalu kesal jika
ada orang atau sosok yang dari segi umur lebih dewasa dari saya lalu menganggap
remeh pendapat bahkan posisi saya dalam sebuah percakapan misalnya hanya
dikarenakan umur saya yang lebih muda. Apakah umur menjadi satu-satunya patokan
bagi tingkat kedewasaan seseorang? Tidak, karena kamu juga pasti banyak
menemukan orang dewasa yang bertindak dan berpikir tidak sama dewasanya dengan
umur mereka, begitupula sebaliknya. Itu isu menarik dari film ini, Adult Beginners, bagaimana orang dewasa
tidak selamanya otomatis lepas dari status pemula.
Review: The Riot Club (Posh) (2015)
Kamu pasti pernah
menemukan kalimat dengan inti seperti berikut ini, “kita tidak hanya belajar
menjadi sosok yang lebih baik dari hal-hal positif yang kita temui, karena
hal-hal negatif juga punya power yang sama besar untuk membawa kita menjadi
individu yang lebih baik lagi.” Secara garis besar hal tersebut yang coba di
sajikan oleh The Riot Club (Posh) kepada
penontonnya, membuat kamu semakin mencintai kehidupan dengan menyaksikan para
pria yang mencintai kehidupan mereka dengan cara yang “rotten”.
Review: Get Hard (2015)
"When life throws you Dick you make Dick-ade!"
Get
Hard
sesungguhnya punya potensi yang terbilang besar sebagai sebuah komedi meskipun
sinopsisnya memang tetap saja bermain-main di pola super klasik. Alasannya? Ia
punya dua aktor yang punya power oke di genre ini, Will Ferrell dengan ciri khasnya serta Kevin Hart yang tahun lalu membuat kejutan bersama Ride Along. Kombinasi dua aktor komedi
dengan basis penggemar yang besar ini semakin menjadikan Get Hard menarik
karena mereka punya style yang berbeda, tapi celakanya hal tersebut ternyata
tidak cukup mampu untuk membuat Get Hard
sebagai sebuah komedi yang menyenangkan.
Review: Paul Blart: Mall Cop 2 (2015)
"Always bet on Blart."
Ada yang mengatakan
bahwa salah satu kunci kesuksesan sebuah film dalam menghibur adalah mampu atau
tidak ia menampilkan hiburan yang ia miliki secara total, tapi bukan berarti
hal itu ia tampilkan tanpa disertai control yang sama totalnya. Film ini
mencoba begitu keras untuk membuat penonton tertawa dengan berbagai hal konyol
super klasik dari sebuah komedi, tapi sayangnya tidak mampunya ia memberikan control
yang sama baiknya justru menjadikan Paul
Blart: Mall Cop 2 sebagai komedi yang menyiksa.
Movie Review: Love Forecast (2015)
"They are very similiar and are in weird relationship."
It feels like you’re
mine, it seems like you’re mine, but not. It feels like I’m yours, it seems
like I’m yours, but not. It feels like we’re lovers, it seems like we’re
lovers, but not. Whenever you see me, you act so vague to me. I hate hearing
that I’m just like a friend. Di Korea
sana kondisi yang familiar tadi dikenal dengan sebutan some (썸),
situasi percintaan dimana I don’t love you but I only have you, teman tapi
mesra yang buta pada perasaan karena friendzone yang kelewat nyaman. Love Forecast (Oneului Yeonae): an effective
comedy about how complicated the thing we called love.
Review: Home (2015)
"I do not fit in. I fit out."
DreamWorks
Animation sepertinya masih berusaha untuk tidak menciptakan
kesan terombang-ambing dari makna sesungguhnya dibalik nama yang mereka miliki,
dimana film karya studio animasi yang menjadi pesaing serius bagi Disney dan Pixar ini masih belum mampu menciptakan image bagi penonton “film
Dreamworks, pasti menawan.” Mimpi yang mereka ciptakan tidak selalu berhasil
menciptakan hit di titik tertinggi, terlepas dari Shrek, Kung Fu Panda, dan How
to Train Your Dragon, Dreamworks
lebih sering menelurkan animasi standard yang akan dikenang karena warna-warna
indah yang mereka berikan. Home,
satu-satunya rilisan Dreamworks tahun ini, bergabung kedalam kelas tadi.
Review: Avengers: Age of Ultron [2015]
"Isn't that the why we fight? So we can end the fight and go home?"
Perjuangan yang sedang
dilakukan oleh Marvel sebenarnya
bukan cuma pada usaha untuk memperluas cinematic universe milik mereka yang
tahun ini resmi mengakhiri fase keduanya, tapi disisi lain Marvel juga terus
berusaha mempertahankan standard yang telah mereka raih untuk kemudian naik ke
level selanjutnya. Usaha tersebut yang terasa menarik karena ciri khas sebagai
fun superhero yang telah lekat dengan mereka justru menjadikan film-film
rilisan Marvel perlahan terasa serupa tapi tak sama. Avengers: Age of Ultron seperti sebuah déjà vu yang celakanya masih mampu berdiri tegak karena diramu
dengan cermat.
Review: Ex Machina (2015)
"To erase the line between man and machine is to obscure the line between men and gods."
Perkembangan teknologi
semakin hari sebenarnya bukan hanya semakin membantu dan memudahkan manusia
dalam berbagai aktifitas yang mereka lakukan, karena disisi lain pertumbuhan
mereka juga seperti spy atau bahkan alien yang sedang mengintai para manusia
untuk suatu saat melakukan invasi dan berada di posisi yang lebih tinggi.
Kecemasan pada digital dan teknologi itu yang coba digambarkan oleh Alex Garland dalam debutnya sebagai
sutradara, Ex Machina, sebuah sci-fi thriller dengan ide dan materi
yang sangat familiar namun sejak awal hingga akhir tidak pernah membuat
penontonnya duduk tanpa ditemani provokasi yang bergelora. Well, it’ll leave you breathless.
Movie Review: Filosofi Kopi (2015)
"Kopi yang enak akan selalu menemukan penikmatnya."
Seperti kopi yang mampu
membuat anda merasa segar kembali setelah selesai meminumnya, begitupula pula
impresi yang berhasil diberikan oleh Filosofi
Kopi. Judul yang ia miliki memang akan menghadirkan penilaian awal sebuah
film yang tampak berat pada para calon penontonnya, namun karya terbaru dari
sutradara Cahaya Dari Timur: Beta Maluku
ini secara mengejutkan justru berhasil menghadirkan terang dan gelap dari
sebuah kehidupan dengan bermain-main bersama perpaduan antara rasa manis dan
pahit pada secangkir kopi. Filosofi Kopi:
imperfecto searching for perfecto.
Movie Review: Fast & Furious 7 (2015)
"This time it ain't just about being fast."
Sebagai pembuka mari
simak beberapa kalimat dari bintang utama Fast
& Furious berikut ini: “Universal is going to have the biggest movie in
history with this movie”, “It will probably win best picture at the Oscars,
unless the Oscars don’t want to be relevant ever”, “This will win best
picture”, “There is nothing that will ever come close to the power of this
thing.” Well, cara yang sangat baik untuk membangun hype Mister Vin, tapi jika
pernyataan tersebut anda kemukakan pada tanggal 1 April mungkin “boomerang”
yang hadir akan dengan sangat mudah untuk anda tangkap kembali. Fast & Furious 7: one last ride who love
to be rushing, and love to be dragging.