Joel
Coen
dan Ethan Coen memulai Fargo hampir dua dekade yang lalu dengan
sebuah pemberitahuan bahwa film yang akan penonton saksikan didasarkan pada
sebuah kisah nyata meskipun nama-nama telah di ubah sebagai upaya melindungi
mereka yang tidak bersalah. Sebuah tindakan yang licik memang karena kemudian
terungkap bahwa “based on true story”
yang Coen Brothers pakai itu tidak
benar. Lantas apakah dengan begitu semua penonton akan menilai Fargo sebagai film dengan kisah fiktif?
Tidak, dan Kumiko, the Treasure Hunter
akan mencoba membawa kamu menyaksikan obsesi dari seorang wanita yang mencoba
mencari uang tebusan yang terkubur di salju pada bagian akhir Fargo. Haunting and hilarious lost in Minnesota.
Review: While We're Young (2015)
"Life never gets old."
Wes Anderson, Noah Baumbach, dan Spike Jonze, tiga pria tadi lahir di tahun yang sama tapi ternyata kesamaan mereka tidak hanya sampai di situ saja. Anderson, Baumbach, dan Jonze akan mengingatkan kamu pada beberapa kata serupa di setiap karya mereka: unik, ringan, charming, dan thoughtful. Film terbaru dari Noah Baumbach ini masih bermain-main di kata-kata tadi, tidak lagi bermain di black and white seperti Frances Ha namun melalui While We're Young ia kembali memberikan sebuah drama komedi yang akan menjadi sebuah kenangan yang menarik bagi penontonnya. Insightful and joyful dramedy.
Review: Spring (2015)
"Are you a vampire, werewolf, zombie, witch or alien?"
Horror,
sci-fi, hingga romance,
Spring mungkin merupakan hiburan
langka dimana kamu dapat menemukan tiga elemen tadi dalam kualitas dan
kuantitas yang sama menariknya. Kesan misterius akan membuat kamu terus merasa
waspada tapi disisi lain ia akan memberikan kamu sebuah hal yang sulit
dilakukan oleh kebanyakan film horror, keintiman yang menyenangkan, hal yang
juga membawa kejutan menarik lainnya pada elemen romance yang pada awalnya
seperti malu-malu ketika drama masih berbicara namun akan meninggalkan memori
yang kuat ketika ia berakhir.
Review: Buzzard (2015)
Terkadang hal yang
membuat kita gagal adalah tidak mampunya kita sadar bahwa kegagalan tersebut
datang dari kita sendiri. Ada orang yang punya ambisi yang besar tapi tidak
pernah berhenti bermimpi sambil bermalas ria, ada pula yang merasa tidak
bahagia dan menganggap semua orang selain dirinya adalah sosok yang berengsek
padahal tanpa ia sadari alasan utama dari rasa tidak bahagia yang ia alami
adalah dirinya sendiri. Buzzard
memberikan observasi yang menarik terkait hal tersebut.
Review: The Gunman (2015)
Apakah Sean Penn mencoba memanfaatkan ruang
kosong yang ditinggalkan Liam Neeson setelah menyatakan akan pensiun dari Taken
bahkan film action? The Gunman
seperti sengaja di ciptakan khusus buat Penn agar ia dapat menunjukkan kepada
kamu tampilan badass yang ia miliki, tapi celakanya sudahlah memilih
menggunakan formula yang tidak lagi segar yang ia lakukan justru terjebak
didalam arena bermain yang ia ciptakan sendiri. An impotent action.
Review: Insurgent (2015)
Ketika saya hendak menonton
film ini saya bertanya pada teman yang sudah terlebih dahulu menyaksikan Insurgent dan juga sebelumnya juga telah
membaca novel karya Veronica Roth
itu. Jawaban darinya adalah: “apakah layak berharap banyak dari
Insurgent?” Sebuah jawaban yang
sederhana memang namun bukan hanya 50 atau 70 persen namun saya setuju
sepenuhnya dengan pernyataannya teman saya tadi. Insurgent, baik itu dari sisi
novel maupun film, merupakan korban dari masalah yang bukan hanya sekarang
namun mungkin akan kita saksikan beberapa tahun kedepan, sebuah trilogi dengan
bagian kedua yang hanya menjadi sebuah jembatan penghubung dengan daya tarik
yang lemah.
Review: ’71 (2014)
Salah satu hal paling
menyakitkan jika berbicara tentang kekerasan atau hal-hal brutal adalah ketika
mereka di tampilkan kepada kita secara tenang, rasa sakit yang dihasilkan kerap
lebih besar ketimbang jika kekerasan tersebut di kemas dengan cepat dan
kemudian berlalu. Yann Demange seperti mencoba menerapkan konsep tersebut dalam
film debutnya ini, '71, mencoba
mengurung penonton bersama karakter yang sedang dalam kondisi terkurun untuk
kemudian berjuang hingga merasakan sakit yang ia alami. Well, itu cukup
berhasil.
Review: Wild Canaries (2014)
Banyak film yang
mencoba menggabungkan beberapa genre kedalam satu wadah bermain kerap menerima
boomerang akibat tidak mampunya ia mengolah warna-warni materi yang ia punya.
Faktor penyebabnya beragam, dari yang kewalahan mengatur susunan antar genre
hingga mereka yang tidak mampu mempertahankan daya tarik masing-masing bagian.
Film berjudul Wild Canaries ini
dengan berani mencoba menggabungkan drama bersama komedi, romance, hingga
misteri, dan meskipun ia tidak memberikan penontonnya kemasan penuh aksi
boom-boom-boom setidaknya ia mampu menghindar dari hantaman boomerang yang
telah ia lempar.
Komentar "siluman" dari rorypnm
Pada awalnya saya
beranggapan hal ini merupakan sesuatu yang tidak akan menjadi begitu besar
ketika mengetahui bahwa ada satu akun yang “mengatasnamakan” dirinya sebagai rorypnm untuk kemudian memberikan
komentar yang “menyerang” dan “menyudutkan” penulis di sebuah tulisan dengan
judul “Bisakah Senyap Dipercaya?”
pada website bernama cinemapoetica.com.
Namun ketika saya kembali ke tulisan tersebut satu hari (28/3) setelah mengetahui
“kasus” tersebut saya terkejut karena menemukan dua hal: yang pertama image
buruk terhadap rorypnm telah
terbentuk, berikutnya ada akun baru yang kali ini menggunakan nama saya dan
kemudian tanpa tahu malu justru mencoba meminta maaf atas komentar dari rorypnm
di bagian awal. Oh my God!!!
Review: Tracers (2015)
"It's not a crime if they can't catch you."
Ketika dua rekannya
sesama jebolan “Akademi Twilight”
perlahan namun pasti mulai membuka mata dunia bahwa mereka tidak menarik di
film vampire tersebut bukan berarti kualitas akting mereka yang buruk, Taylor Lautner justru masih terus
berusaha untuk menemukan jalan agar dapat mengikuti jejak serupa dengan Robert Pattinson dan Kristen Stewart. Masalah utama bagi
Lautner adalah ia belum memperoleh proyek yang menantang, jika tidak
mengandalkan fisik (Valentine's Day,
Grown Ups 2) karakter yang ia mainkan selalu berlari, dari Abduction, kemudian yang terbaru ini Tracers, bahkan proyek selanjutnya punya
potensi tampil serupa. Good luck for you
Taylor Lautner.
Review: Kidnapping Mr. Heineken (2015)
"It was the perfect crime until they got away with it."
Semua genre film
memiliki sesuatu yang sensitif dimana jika hal tersebut tidak dapat ia olah
dengan baik dan benar maka dampak yang akan ia peroleh akan besar. Apakah
dampaknya seburuk itu? Memang jika hal sensitif tadi bersifat minor ia bisa
saja tidak akan menghasilkan masalah yang begitu berarti, namun bagaimana jika
bersifat major? Contoh terbarunya adalah film Kidnapping Mr. Heineken, karya terbaru dari sutradara The Girl Who Played with Fire dan The Girl Who Kicked the Hornets' Nest,
sebuah film yang seharusnya memberikan penonton sajian crime drama namun justru
berubah menjadi sebuah piknik atau tamasya yang dilakukan sekelompok pria. The boys who rob like a picnic.
Review: The Cobbler (2015)
"Leave your life
in someone else's shoes.”
Mungkin teka-teki
apakah Adam Sandler masih punya
starpower sekarang sama menariknya dengan misteri apakah segitiga Bermuda benar-benar punya kekuatan
magis, bahkan jika harus dibandingkan dengan pertanyaan apakah alien itu ada?
Alasannya adalah karena Adam Sandler
seperti perahu yang terombang-ambing di lautan lepas dan terus berhadapan
dengan terjangan ombak besar tapi anehnya ia masih tetap bisa berlayar. Hal
pertama yang terlintas setiap kali hendak menyaksikan film terbarunya (termasuk
The Cobbler) adalah apakah film
tersebut mampu membawa Adam Sandler keluar filmography monoton miliknya yang
semakin lesu dalam hal kualitas? Impresi awal yang sangat menyedihkan.
Review: It Follows (2015)
“It could look like
someone you know, or it could be a stranger in a crowd, whatever helps it get
close to you.”
Hype itu sebenarnya
sebuah kata yang manis tapi juga pahit dalam movie experience dan dampak yang ia hasilkan kerap begitu besar
terutama pada genre horror dimana range antara ekspektasi dan hasil dilapangan
yang tercipta dapat dengan mudah tampil begitu ekstrim. Contohnya seperti Insidious, dan saya juga semakin waspada
apakah Sinister 2 dapat mencapai
level yang sama dengan pendahulunya. Horor Indie berjudul "It Follows" ini juga punya potensi besar untuk membuat
kamu terjebak kedalam hype, they even
called it “one of the most striking American horror films in years.” Apakah
itu benar? Absolutely yes. It Follows is
one of the “sweetest” horror in a decade who can still be delicious one maybe even two or more decades from now. This thing, it's going to follow you!!
Review: Cymbeline (2015)
“Where is our daughter?”
Membentuk kembali Shakespeare's
plays kedalam tampilan baru merupakan sebuah pekerjaan yang tidak mudah
apalagi ketika ia tidak hanya dibentuk ulang namun diterjemahkan dan di
modifikasi kedalam bentuk yang sedikit berbeda. Perlu sensitifitas yang begitu
tinggi untuk dapat berhasil melakukan hal tersebut dengan baik, Kenneth Branagh berhasil melakukan itu
di Henry V dan Hamlet, Joss Whedon
dengan Much Ado About Nothing, serta Ralph Fiennes juga oke membentuk kembali
Coriolanus, meskipun disisi lain
tidak sedikit pula yang gagal atau kurang berhasil salah satunya play Romeo and Juliet, dan yang terbaru, Cymbeline.
Movie Review: Run All Night (2015)
“One night, and you’ll
never have to see me again.”
Film action terbaru
dari Liam Neeson setelah menyatakan
pensiun sebagai pria yang berulang kali kehilangan anggota keluarganya ini
merupakan kemasan yang ambigu. Diawal ia akan mampu menaikkan ekspektasi anda
padanya, membuat anda bergumam “wah, ternyata cukup menarik,” sebuah perpaduan
berbagai elemen klasik action thriller
dan membentuk kekacauan yang cukup menyenangkan, a good enough mess. Namun
sayangnya perlahan ia justru berubah dan menampilkan hasil yang kontradiktif
sajian di bagian pembuka itu. Run All
Night: like Joker trying to
look thoughtful but ends quite dull.
Movie Review: The Divergent Series: Insurgent (2015)
“Mankind wait for you, with hope, beyond the wall.”
Tahun lalu saya menyebut Divergent
sebagai film tentang pemberontakan yang terlalu lembut, kurang bergairah,
monoton, dan sedikit membosankan. Tidak hanya itu ia juga tidak memiliki
petualangan dalam gerak cekatan sehingga tampak seperti membangun drama dengan
bumbu adegan sci-fi dan action, ketimbang menjadi kodratnya
sebagai sebuah film sci-fi action dengan dukungan drama. Well, hal tersebut
yang kemudian meninggalkan saya speechless
ketika melangkah keluar sesaat setelah kejutan dari Naomi Watts yang berdiri dibelakang Kate Winslet. The Divergent
Series: Insurgent: when kids from Nickelodeon start a rebellion.
Review: Cinderella (2015)
Ada satu kalimat dari Lady Tremaine yang sepertinya sudah
cukup untuk dapat mewakili cara film ini membawa kamu berpetualang kedalam
kisah yang sangat familiar ini. Bunyinya adalah: this thing is so old-fashioned. Ya, semoga film ini dapat menjadi
awal untuk membuat para filmmaker di Hollywood
sana untuk berpikir ulang dalam mengubah sebuah dongeng klasik kedalam bentuk live-action, perlahan mengurangi
modifikasi sana-sini yang lebih sering menciptakan kesan kurang impresif dan
mulai mencoba membentuk kembali dongeng tersebut dengan treat yang lebih lembut
untuk membawa penonton merasakan kekuatan utama dari sebuah dongeng: magic. Please welcome, Cinderella: Or (The Virtue of Have Courage And Be
Kind).
Movie Review: Cinderella (2015)
“A dream is a wish your
heart makes.”
Salah satu trend modern di industri perfilman yang
sesungguhnya tidak pula dapat dikatakan sebagai sesuatu yang selalu pasti akan
memberikan hasil positif adalah ketika sebuah film yang menggunakan materi
“lama” wajib memberikan presentasi dengan sedikit sentuhan yang berbeda, dari
upaya menunjukkan keberanian visi hingga menghasilkan sebuah “true refreshing”. Tapi disamping itu
ada kisah tradisional dan klasik yang tidak perlu hal-hal semacam itu, tanpa
perlu menawarkan sebuah sentuhan dan perubahan eksplisit yang berlebihan dan
berpotensi mengganggu. Film ini punya keberanian untuk menjadi kemasan yang
taat pada sumber aslinya namun tetap berhasil menampilkan kembali dongeng
populer itu kedalam sebuah presentasi lembut dan kokoh yang modest, thoughtful, funny, playful,
charming, and magical. Cinderella:
beauty fairy story when Shakespeare meet Disney.
Movie Review: Chappie (2015)
"You’re my maker. Why did you make me so I could die?"
Sebuah kalimat klasik mengatakan bahwa mempertahankan sesuatu yang telah
berhasil anda dapatkan akan selalu lebih sulit ketimbang perjuangan ketika anda
sedang berupaya untuk meraihnya. Hal tersebut yang kini sedang dialami oleh Neill Blomkamp ketika enam tahun lalu
pria asal Afrika Selatan itu berhasil mencuri perhatian skala besar lewat District 9 (empat nominasi Oscars) yang merupakan debut feature
film Blomkamp, namun empat tahun kemudian kualitasnya mulai dipertanyakan
ketika Elysium hanya sebatas menjadi
sebuah sci-fi standard yang kurang dinamis. So, bagaimana dengan film ketiganya
ini? Chappie: charming and pall
pandemonium pie.
Review: The Second Best Exotic Marigold Hotel (2015)
The Best Exotic Marigold Hotel dapat dikatakan merupakan sebuah
kejutan ketika ia muncul tahun 2012 yang lalu, di prediksi hanya akan menjadi
ajang kumpul bagi aktor dan aktris kawakan British
namun pada akhirnya berhasil menciptakan hit dengan pencapaian box-office 13 kali lipat dari budget
awal dan berujung meraih nominasi Golden
Globes kategori Best Picture dan Best Actress. Tapi salah satu hal yang
kala itu saya rasakan ketika film tersebut berakhir adalah ia tidak akan
memperoleh sekuel karena komposisi dan hasil akhir yang ia hasilkan telah
sangat tepat. Well, please welcome The
Second Best Exotic Marigold Hotel.
Review: The Lazarus Effect (2015)
Bercerita itu bukanlah
sesuatu yang mudah bagi semua orang, kamu bisa ambil contoh merangkai kata
dalam menulis sebuah review misalnya, atau contohnya lainnya seperti sedang
memberikan sebuah presentasi. Masalah utama yang sering kita hadapi adalah
hadirnya sebuah dinding yang kemudian membuat alur yang telah kita bangun
seketika stuck, dan semakin kacau ketika kita sudah terjebak kita juga mulai
bingung dan akhirnya kewalahan bagaimana cara melewati dinding tersebut. The Lazarus Effect adalah sebuah film
horror yang mengalami hal tersebut, doesn't
have much but trying so hard to looks smart.
Review: Unfinished Business (2015)
Sebagai informasi awal
bahwa ini merupakan film komedi, tapi setelah selesai menonton hal pertama yang
berhasil membuat saya tertawa justru bagaimana judul yang ia gunakan seperti
cerminan secara langsung kualitas yang ia miliki. Unfinished Business sebenarnya memiliki potensi untuk menjadi
komedi bodoh berisikan pria-pria melakukan petualangan yang menyenangkan, tapi
ternyata hasil yang ia berikan benar-benar terasa seperti sebuah bisnis yang
belum selesai. Unfinished Business is an
unfinished business.
Movie Review: The Con Artists (2014)
"Turning fake into real or turning real into fake?"
Tugas sebuah film
memang sederhana, mampu menghibur penonton dengan berbagai metode sepanjang
durasi yang ia miliki, tapi ada hal lain yang sesungguhnya juga inginkan
dicapai oleh semua film, mampu meninggalkan penonton dengan impresi yang kuat
ketika mereka berpisah dengan karakter dan juga cerita. Anda pasti pernah menyaksikan film yang mampu
menghibur anda meskipun dalam kualitas yang sebatas cukup namun ketika ia telah berakhir anda hanya bergumam kecil, “oh,
begitu, okay.” Hal tersebut yang terjadi pada film Korea yang meraup kesuksesan
box-office di negeri asalnya tahun lalu ini. The Con Artists (Gisooljadeul): just a show-off arena for Kim Woo-Bin.
Movie Review: Focus (2015)
“Congratulations, you’re
a criminal.”
Tema yang ia bawa
memang tidak begitu istimewa terlebih dengan sokongan sinopsis yang dapat dikatakan cukup sulit untuk dengan mudah
menarik atensi penonton, namun dibalik itu justru ada fokus lain yang terasa
lebih menarik dari film terkait dua bintang utamanya. Apakah Will Smith dapat kembali kedalam trek
yang “sehat”? Apakah Margot Robbie
berhasil memanfaatkan kesempatan yang ia miliki untuk terus bergerak maju
setelah The Wolf of Wall Street?
Uniknya fokus yang kurang fokus tadi ternyata tidak hanya menjadi sajian
pembuka bagi film ini. Focus: an
undynamic trick picnic.
Review: The SpongeBob Movie: Sponge Out of Water (2015)
"Welcome to the apocalypse, Mr. Squidward. I hope you like leather."
Tidak bisa dipungkiri
memang hal utama yang menjadikan film ini berhasil meraih atensi yang sangat
besar adalah pilihannya untuk menghadirkan karakter-karakter yang sudah sangat
familiar itu kedalam bentuk live action, memberikan penonton kesempatan untuk menyaksikan
SpongeBob, Patrick, Squidward, Mr. Krabs,
hingga Plankton tidak hanya melakukan
aksi gila mereka di Bikini Bottom namun masuk ke dunia di atas mereka,
menciptakan kekacauan yang lebih besar dengan wujud yang juga lebih besar. The SpongeBob Movie: Sponge Out of Water is
a good entertainment with crazy good explosion. "Hilarious".